Semua Bab Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati: Bab 1 - Bab 10

228 Bab

1. Akad Mendadak

“Menikahlah dengannya Nadina, bapak dan ibu sudah mengetahui bagaimana pemuda itu juga dengan keluarganya. Ia pemuda yang baik yang bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi,” tutur pria berusia 60 tahunan yang telah tampak lemah di atas brankar rumah sakit.“Nadina tidak mau menikahinya! Nadina tidak mengenal siapa pemuda itu! Bahkan lingkungannya sangat monoton! Nadina pasti akan menjadi seorang wanita dapur di sana! Selalu mengenakan hijab seharian! Nadina tidak akan menyetujui pernikahan ini!” tolak seorang gadis berusia 23 tahun yang tak lama ini menyandang gelar sarjana bahasa asing—Nadina Hafisa Rahmi.Seorang wanita tua yang tak jauh berbeda usianya dengan si bapak tampak merangkul Nadina sambil lirih mengucapkan istigfar.“Hijab itu kewajiban, Nadina! Kamu tidak boleh menolak seperti ini. Lagi pula kamu sudah belajar mengenakan hijab selama kuliah satu tahun terakhir ini bukan? Kamu sudah mulai terbiasa. Nadhif juga pemuda yang baik. Ibu dan bapak yakin dia bisa membimbingmu, N
Baca selengkapnya

2. Bukan yang Diharapkan

Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.“Ehm!
Baca selengkapnya

3. Dijemput Mertua

Keesokan paginya, Nadina terbangun dari tidurnya dengan menyingkap selimut yang menutup tubuhnya itu.“Semalam aku tidur di sebelah bapak, kenapa sekarang aku bangun di sofa?” gumam Nadina lalu mengubah pandangannya ke arah depan.Tampak Nadhif duduk di sebelah sang ayah sambil melipat tangan di depan dada dengan kepala yang tertunduk karena kantuk.“Kamu sudah bangun, Nadina? Sebentar lagi subuh, segera ambil air wudu, kamu mesti berjamaah dengan suamimu bukan?” tutur Khoiri yang tiba-tiba muncul di sana sambil menyodorkan tas mukena pada Nadina.“Semalam Nadina tidur di posisi Nadhif, kenapa sekarang Nadina terbangun di sofa?” sergah Nadina tampak sedikit kesal.“Itu artinya ada yang peduli dan menyayangimu. Dia tak ingin kamu sakit punggung setelah tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Sudahlah, segera bersih diri!” Khoiri segera menarik Nadina agar putrinya itu segera bersiap untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai umat muslim.Sambil masih sedikit kebingungan, Nadina
Baca selengkapnya

4. Kedatangan sang Menantu

Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Ma
Baca selengkapnya

5. Seseorang yang Dicintainya

“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif
Baca selengkapnya

6. Malam Sebelum Resepsi

Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah. “Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu. Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu. Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet. “Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendeka
Baca selengkapnya

7. Masa Lalunya

Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari
Baca selengkapnya

8. Pemotretan Dua Mempelai

“Mas Sadewa! Nadina rasa kita tidak harus membahas perihal ini sekarang. Kita harus segera mengatur konsep pemotretan sebelum waktunya tiba bukan?” sela Nadina saat Nadhif baru saja hendak menarik napas dan menjawab pertanyaan Sadewa barusan. “Ahh, iya! Itu benar. Maaf ya Pak Nadhif, saya terlalu antusias dengan pernikahan kalian hingga melupakan tugas saya di sini.” Nadhif hanya bisa sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk. Pemaparan pun dilakukan oleh Sadewa dengan tampangnya yang serius juga profesional. Sementara Nadhif mendengar dengan saksama agar urusan dengan pria di hadapannya itu segera berakhir, Nadina malah tampak terus tersenyum memandang ciptaan Tuhan lainnya itu. “Ehm, Nadina!” panggil Nadhif tanpa menoleh kepada Nadina hingga membuat sang istri sedikit tersentak hingga akhirnya menoleh dengan kerutan nyata di dahinya. “Ada apa?” sahut Nadina singkat dan terkesan sedikit ketus. “Saya rasa saya bisa membahas ini dengan Sadewa berdua saja. Lebih baik kamu menemui um
Baca selengkapnya

9. Tragedi Toilet Berdua

Sadewa segera membalik badannya dengan ekspresi yang cukup terkejut sementara Nadina seolah muka bebek tak peduli dengan kedatangan sang suami yang memergokinya berduaan dengan pria lain. “Maaf, Pak! Saya mohon jangan berpikiran yang tidak-tidak! Saya hanya membantu Nadina melepas benang hijab yang menyangkut pada gaunnya. Saya bersumpah tidak melakukan apapun!” papar Sadewa cepat dengan raut khawatir jika suami adik tingkatnya itu akan mengamuk saat ini juga. “Terima kasih sudah membantu. Tapi sekarang anda bisa kembali, saya yang akan membantu istri saya jika masalah itu belum selesai,” tutur Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina dan Sadewa. “B-baiklah, saya permisi!” putus Sadewa lalu sedikit melirik ke arah Nadina sebentar sebelum akhirnya benar keluar dari ruangan itu. Nadhif terdiam di hadapan Nadina yang seolah tak ingin menjelaskan apapun. Wanita itu malah terus memegangi pundaknya yang tersangkut benang hijab. “Jika kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa memanggil saya, Nad
Baca selengkapnya

10. Air Mata Pernikahan

“Mencium?!” pekik Nadina kencang hingga langkahnya terhenti seketika. Pekiknya yang sudah jelas tidak lirih itu tentu mengundang perhatian manusia lain di koridor itu. Nadhif terlebih Aminah kini menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Nadina. “Astaga! Kenapa harus teriak?!” umpat Nadina dalam hatinya. “Nadina?” panggil sang umi langsung membuat Nadina menoleh dengan patahan. “Ehm, Umi! Maaf, anu itu, ehm–” ujar Nadina terpotong-potong. “Maaf Umi, Nadina hanya sedikit terkejut dan risau karena mesti melakukan itu di depan para keluarga dan tamu undangan nantinya,” jelas Nadhif cepat sementara Nadina malah tampak terkejut atas jawaban sang suami yang terang-terangan itu. “Mas!” bisik Nadina sambil menarik lengan jas Nadhif ke dekatnya. Aminah berjalan ke arah Nadina sambil sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu kini meraih tangan Nadina dan menghadapkan sang menantu ke arahnya. Dielusnya pucuk kepala Nadina lalu ia berucap lirih. “Umi dulu juga s
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
23
DMCA.com Protection Status