“Menikahlah dengannya Nadina, bapak dan ibu sudah mengetahui bagaimana pemuda itu juga dengan keluarganya. Ia pemuda yang baik yang bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi,” tutur pria berusia 60 tahunan yang telah tampak lemah di atas brankar rumah sakit.
“Nadina tidak mau menikahinya! Nadina tidak mengenal siapa pemuda itu! Bahkan lingkungannya sangat monoton! Nadina pasti akan menjadi seorang wanita dapur di sana! Selalu mengenakan hijab seharian! Nadina tidak akan menyetujui pernikahan ini!” tolak seorang gadis berusia 23 tahun yang tak lama ini menyandang gelar sarjana bahasa asing—Nadina Hafisa Rahmi.
Seorang wanita tua yang tak jauh berbeda usianya dengan si bapak tampak merangkul Nadina sambil lirih mengucapkan istigfar.
“Hijab itu kewajiban, Nadina! Kamu tidak boleh menolak seperti ini. Lagi pula kamu sudah belajar mengenakan hijab selama kuliah satu tahun terakhir ini bukan? Kamu sudah mulai terbiasa. Nadhif juga pemuda yang baik. Ibu dan bapak yakin dia bisa membimbingmu, Nak!” bujuk sang ibu.
Harun—ayah Nadina, meraih tangan putri semata wayangnya itu sementara Nadina masih saja menekuk mukanya dan memalingkan wajah cantiknya dari sang ayah.
“Nadina mencintai pemuda lain! Siapa suruh bapak dan ibu menjodohkan Nadina tanpa sepengetahuan Nadina? Sekarang, kalau Nadina menolak, apa itu kesalahan Nadina?!” bentak Nadina.
“Bapak tidak tahu sampai kapan usia bapak ini, Nak! Bapak tidak mau putri bapak yang istimewa ini salah memilih pasangan hidup.” Harun kembali mengelus tangan putrinya meskipun di tangan keriputnya masih tertancap jarum infus.
“Nadina mencintai pemuda lain, Bapak! Nadina tidak akan bisa mencintai pemuda pilihan bapak! Nadina bahkan tidak pernah melihat bagaimana wajahnya! Bagaimana jika dia hanya terlihat baik tetapi aslinya sebaliknya?!” sergah Nadina.
“Jaga bicaramu, Nadina!” pekik sang ayah namun suara kencangnya itu tak serta merta membuat keadaan tenang. Pria itu malah tampak terbatuk kencang hingga darah keluar dari mulut keriputnya.
“Bapak!”
“Ya Allah, Bapak! Nadina panggil dokter cepat!!” pekik Khoiri—ibu Nadina.
Nadina segera berlari pergi keluar ruangan. Gadis yang telah beranjak usia matang itu berlari dengan kencang ke arah salah satu meja penjaga. Air matanya mengalir deras tatkala kembali mengingat ayahnya yang terbatuk hingga mengeluarkan darah yang menurutnya tak sedikit itu.
“Bapak tidak boleh kenapa-napa, maafkan Nadina, Pak!” rintih Nadina di dalam hatinya.
Nadina terduduk di kursi tunggu yang berada di depan ruangan Harun yang saat itu sedang dalam pemeriksaan dokter.
“Ibu tahu ini berat untukmu, Sayang. Ibu tahu kamu memiliki pernikahan impianmu sendiri. Tapi bagaimana jika Nadhif benar jodohmu? Bukankah lebih baik membuat pernikahan impian bersama dengan orang yang kita tahu baik buruknya, Sayang?” bisik Khoiri sembari mengelus pundak Nadina yang masih melamun ke arah pintu rumah sakit itu.
“Kita tidak pernah tahu sampai kapan umur orang-orang yang kita sayang. Bapakmu tidak meminta hal yang buruk darimu, Sayang. Bapak sudah memastikan pemuda itu benar baik untukmu. Bagaimana jika ini permintaan terakhir bapak? Tidakkah kamu ingin membalas dengan bakti?” lanjut Khoiri.
Nadina menoleh ke arah sang ibu. Matanya masih sedikit berbinar akan tangisannya yang belum benar-benar mengering.
“Tapi Nadina mencintai pemuda lain, Bu! Nadina sudah lama memimpikannya. Bagaimana bisa tiba-tiba Nadina menikah dengan pemuda lain?” tolak Nadina.
“Pemuda mana yang kamu cintai, Nak? Apa kamu yakin dia baik untukmu? Mengapa tak segera memintanya meminangmu? Hubungan apa yang kalian miliki hingga kamu terus menolak?” Nadina terdiam.
Semua yang dikatakan Khoiri benar adanya, ia tak memiliki hubungan apapun dengan pemuda pujaan hatinya itu. Bahkan ia tak tahu apakah pemuda itu mengenalnya. Bagaimana mungkin ia meminta pemuda itu datang ke rumah dan meminangnya?
“Temui saja pemuda pilihan bapakmu dulu, Nak! Ibu yakin dia yang terbaik untukmu.”
Hari itu, saat keadaan Harun masih drop hingga belum bisa sadarkan diri, ruangannya sedikit ramai akan kehadiran seorang pemuda bersama kedua orang tuanya.
Muhammad Nadhif, putra tunggal salah satu kiai pemilik pondok besar di kota tersebut. Pemuda dengan pandangan teduh itu terus menundukkan pandangannya semenjak masuk ke ruang rawat inap Harun dan setelah sedetik bertemu pandang dengan mata Nadina.
“Pemuda macam apa yang bapak pilihkan untukku ini? Dia bahkan tidak berani menatap wajah calon istrinya sendiri. Memang aku seperti hantu?!” sergah Nadina dalam hatinya.
“Bagaimana kondisi Bapak Harun, Ibu Khoiri? Apakah beliau baru saja mengalami penurunan?” tanya Ali—ayah Nadhif.
“Iya, Pak. Baru saja kondisinya menurun. Kami hanya bisa meminta pertolongan dari Allah agar memberinya kesehatan seperti sedia kala selain mengusahakan pengobatan untuknya.” Khoiri menoleh ke arah sang suami sambil sebentar mengelus punggung tangan pria paruh baya itu.
“Maaf jika saya dan keluarga saya lancang mengatakan hal ini. Tapi Bapak Harun telah berpesan kepada saya untuk memastikan pernikahan putra putri kita. Beliau sangat menginginkan mendengar kalimat akad atas putrinya Nadina,” papar Ali langsung membuat Nadina menatap tajam dan sedikit mengerutkan dahi.
“Kami akan segera memberi kabarnya, Pak, Bu! Maaf jika kami terlalu lama menggantung keputusan ini,” ujar Khoiri.
Tiba-tiba tangan Harun bergerak bersamaan dengan suara serak yang sedikit terdengar dari ujung tenggorokan pria paruh baya itu.
“Tidak perlu menunggu lagi, Bu! Bapak rasa sekarang waktu yang tepat. Bapak mau melihat dan mendengar sendiri anak kita berpindah tangan pada pemuda yang baik dan bertanggung jawab,” lirih Harun.
Baru saja mulut Harun mengatup, batuknya kembali memecah ruangan. Napasnya bahkan beberapa kali tersengal seolah malaikat maut sedang bermain-main dengannya.
“Bapak, jangan seperti ini, Pak!” rengek Nadina terus merintih sembari mengelus tangan keriput sang ayah.
“Sekarang ya, Nak!” lirih Harun. Nadina tak mampu berucap. Di hadapannya sang ayah tampak memohon dengan wajah tuanya yang telah pucat. Gadis itu tak bisa berbuat banyak, ia hanya menunduk sebagai jawaban kepasrahannya.
“Saya berjanji akan mencintai kamu dan menjadikan kamu sebaik-baiknya wanita yang ada dihati saya, Nadina!” lirih Nadhif sambil masih menundukkan kepalanya.
Beberapa perawat dipanggil sebagai saksi dan sore itu juga akad diucap.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Muhammad Nadhif bin Ali Basir dengan putri kandung saya, Nadina Hafisa Rahmi binti Harun Suteno dengan mas kawin uang senilai dua ratus ribu rupiah dibayar tunai!” pekik Harun menjabat tangan Nadhif mantap.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nadina Hafisa Rahmi binti Harun Suteno dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!”
“Sah!!” pekikan para saksi dan keluarga di sana sontak langsung membuat Nadina meneteskan air matanya deras. Habis mimpinya menikahi sang pujaan hati. Entah takdir apa yang dibuat sesemesta untuknya hingga dalam sehari ia melepas masa lajangnya itu.
“Alhamdulillah,” lirih Harun sebelum akhirnya tak sadarkan diri kembali.
“BAPAK!”
Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.“Ehm!
Keesokan paginya, Nadina terbangun dari tidurnya dengan menyingkap selimut yang menutup tubuhnya itu.“Semalam aku tidur di sebelah bapak, kenapa sekarang aku bangun di sofa?” gumam Nadina lalu mengubah pandangannya ke arah depan.Tampak Nadhif duduk di sebelah sang ayah sambil melipat tangan di depan dada dengan kepala yang tertunduk karena kantuk.“Kamu sudah bangun, Nadina? Sebentar lagi subuh, segera ambil air wudu, kamu mesti berjamaah dengan suamimu bukan?” tutur Khoiri yang tiba-tiba muncul di sana sambil menyodorkan tas mukena pada Nadina.“Semalam Nadina tidur di posisi Nadhif, kenapa sekarang Nadina terbangun di sofa?” sergah Nadina tampak sedikit kesal.“Itu artinya ada yang peduli dan menyayangimu. Dia tak ingin kamu sakit punggung setelah tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Sudahlah, segera bersih diri!” Khoiri segera menarik Nadina agar putrinya itu segera bersiap untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai umat muslim.Sambil masih sedikit kebingungan, Nadina
Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Ma
“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif
Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah. “Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu. Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu. Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet. “Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendeka
Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari
“Mas Sadewa! Nadina rasa kita tidak harus membahas perihal ini sekarang. Kita harus segera mengatur konsep pemotretan sebelum waktunya tiba bukan?” sela Nadina saat Nadhif baru saja hendak menarik napas dan menjawab pertanyaan Sadewa barusan. “Ahh, iya! Itu benar. Maaf ya Pak Nadhif, saya terlalu antusias dengan pernikahan kalian hingga melupakan tugas saya di sini.” Nadhif hanya bisa sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk. Pemaparan pun dilakukan oleh Sadewa dengan tampangnya yang serius juga profesional. Sementara Nadhif mendengar dengan saksama agar urusan dengan pria di hadapannya itu segera berakhir, Nadina malah tampak terus tersenyum memandang ciptaan Tuhan lainnya itu. “Ehm, Nadina!” panggil Nadhif tanpa menoleh kepada Nadina hingga membuat sang istri sedikit tersentak hingga akhirnya menoleh dengan kerutan nyata di dahinya. “Ada apa?” sahut Nadina singkat dan terkesan sedikit ketus. “Saya rasa saya bisa membahas ini dengan Sadewa berdua saja. Lebih baik kamu menemui um
Sadewa segera membalik badannya dengan ekspresi yang cukup terkejut sementara Nadina seolah muka bebek tak peduli dengan kedatangan sang suami yang memergokinya berduaan dengan pria lain. “Maaf, Pak! Saya mohon jangan berpikiran yang tidak-tidak! Saya hanya membantu Nadina melepas benang hijab yang menyangkut pada gaunnya. Saya bersumpah tidak melakukan apapun!” papar Sadewa cepat dengan raut khawatir jika suami adik tingkatnya itu akan mengamuk saat ini juga. “Terima kasih sudah membantu. Tapi sekarang anda bisa kembali, saya yang akan membantu istri saya jika masalah itu belum selesai,” tutur Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina dan Sadewa. “B-baiklah, saya permisi!” putus Sadewa lalu sedikit melirik ke arah Nadina sebentar sebelum akhirnya benar keluar dari ruangan itu. Nadhif terdiam di hadapan Nadina yang seolah tak ingin menjelaskan apapun. Wanita itu malah terus memegangi pundaknya yang tersangkut benang hijab. “Jika kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa memanggil saya, Nad
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan