Home / Pernikahan / Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati / 5. Seseorang yang Dicintainya

Share

5. Seseorang yang Dicintainya

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.

“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.

“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.

Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.

“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.

“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.

“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif, Nadina menyadari sesuatu.

“Okey! Mas Nadhif! Mas dapat selebaran ini dari mana?” ulang Nadina kini berlaga lembut.

“Umi yang memberinya barusan. Besok dia yang akan memotret kita di acara resepsi. Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” jelas Nadhif beserta mengulang pertanyaan yang belum ia dapatkan jawabannya.

Nadina bisu sejenak. Ia bingung hendak mengatakan apa. Namun jauh di dalam hatinya ia senang jika mendengar nama itu.

“Ehm, bukan siapa-siapa!” sahut Nadina lalu hendak berbalik.

“Apa dia pemuda yang kau cintai dan kau kagumi itu, Nadina? Apakah pemuda itu Arif Sadewa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Nadhif itu seketika membuat gerakan Nadina berhenti.

Gadis itu tak jadi melanjutkan langkahnya dan masih berhenti dengan selangkah berbalik meninggalkan Nadhif. Sementara itu Nadhif berjalan mendekati Nadina.

Pemuda itu tampak telah bersiap dengan segala kemungkinan yang akan ia dengar dari mulut istrinya. Nadhif kini telah berada di hadapan Nadina yang kala itu sedikit menunduk sambil masih menggenggam selebaran fotografer itu.

“Nadina, saya sedang bicara denganmu. Barusan saya bertanya bukan memberi tahu. Itu bukan berita. Itu pertanyaan yang memerlukan jawaban, Nadina.” Nadhif kembali berucap.

“Apakah jika aku menyebut nama seorang pemuda itu berarti aku mencintainya, Nadhif?!” sergah Nadina lalu kini berjalan melewati Nadhif.

“Kamu tidak perlu menyembunyikan perasaanmu dari saya, Nadina. Saya tahu kamu sedang mengagumi pemuda lain saat pernikahan kita diputuskan. Apakah dia pemuda yang kamu maksud?” tanya Nadhif tanpa membalik badannya.

“Ya! Dia orangnya! Dia yang selama tujuh tahun selalu aku harapkan menjadi suamiku suatu saat nanti! Arif Sadewa! Pemuda pertama yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali memandang matanya bahkan hingga detik ini! Apa aku salah jika aku masih mencintainya?! Pernikahan antara aku dan Mas Nadhif bukan pernikahan yang aku harapkan, Mas! Bukan pernikahan seperti ini yang aku impikan! Bukan!!” teriak Nadina memberontak.

Dada gadis itu tampak kembang kempis usai mengucapkan semua kalimat yang ia rasa mengganjal di dalam hatinya selama putusan pernikahannya itu. Bahkan ia tak tahu seberapa menyakitkan setiap kalimatnya yang masuk ke telinga suaminya.

“Mas Nadhif terkejut?! Kecewa?! Ah, sudahlah! Akhiri saja hubungan kita! Ceraikan aku! Toh tidak akan ada yang bahagia juga ‘kan, Mas?!” Nadina menarik lengan Nadhif yang berbalut baju koko itu hingga membuatnya kembali berhadapan dengan suaminya.

“Istigfar, Nadina! Perkataanmu sangat dibenci Allah! Pernikahan kita bukan permainan yang bisa kamu akhiri kapan saja! Kita telah diikat secara sah dengan janji sehidup semati yang sakral! Jangan kamu nodai makna pernikahan dengan mengucapkan permintaan perceraian.” Nadhif kali ini berucap tegas. Kalimatnya yang terkesan tegas dan pas mengena langsung membuat Nadina membisu.

Napas Nadina tampak sedikit kasar. Gadis itu bahkan mulai mengeluarkan air matanya di ujung mata. Entah apa yang ia rasakan. Entah penyesalan karena membentak sang suami atau penyesalan karena tak bisa meminta cerai dari Nadhif.

“Maafkan saya karena telah membentakmu. Tidak semestinya saya bicara kasar padamu, Nadina.” Nadhif memelankan nada dan volume suaranya.

“Saya tak akan masalah jika kamu masih mengagumi pria lain selagi itu masih dalam batas yang wajar. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat Nadina. Kamu telah menjadi istri saya sekarang. Dan saya harap kamu tahu apa saja yang baik dilakukan dan apa yang tidak baik untuk dilakukan,” imbuh Nadhif memandang Nadina sendu.

“Aku mau istirahat. Mas Nadhif boleh keluar kamar tidak?” celetuk Nadina tanpa membalas semua petuah Nadhif tadi dan tanpa menatap mata pria di hadapannya itu.

“Baiklah.” Tak ada balasan lainnya, Nadhif langsung pergi begitu saja bahkan Nadina sempat membalik tubuhnya memandang pemuda itu seolah menangkap hawa kekecewaan dari suaminya itu.

Hari semakin sore, saat itu pukul lima di mana Nadhif mengetuk pintu kamar tiga kali dan tak mendapat balasan dari dalam. Pemuda itu lanjut membuka pintu kamarnya karena memanglah itu kamarnya sendiri.

“Assalamualaikum, Nadina!” pekik Nadhif lalu memasuki ruangan.

Nadina tak ada di atas ranjang. Nadhif beranggapan bahwa istrinya itu telah terlebih dahulu keluar kamar untuk persiapan sholat maghrib.

Pemuda itu pun berjalan menuju sebuah koper yang ada di sebelah lemari. Dibukanya koper itu namun ia tak mendapati pakaiannya di sana. Dibukanya lemari dan ia sedikit terkejut saat pakaiannya telah tertata rapi di sebelah pakaian Nadina.

“Ibu Khoiri benar, sebenarnya hatimu baik, Nadina!” bisik Nadhif.

Pemuda itu lalu mengambil salah satu pakaian kokonya. Sambil berbalik dan hendak berjalan menuju toilet, ia tampak melepaskan satu persatu kancing pakaian koko yang tadi masih ia kenakan sepulang dari rumah sakit.

Namun di saat yang bersamaan, dari arah toilet, Nadina baru selesai membasuh wajahnya dan keluar tanpa mengenakan hijab yang ia tanggalkan di atas ranjang.

Mata Nadina terperanjat saat melihat suaminya itu sedikit bertelanjang dada menunduk dan berjalan hendak menabraknya.

“Aaa!!” teriak Nadina sontak langsung membuat Nadhif berhenti dan mendongakkan kepala.

Mata mereka saling bertemu dan saat itu adalah saat pertama Nadhif melihat Nadina tanpa menggunakan hijab yang menutup kepalanya.

“Astagfirullah!” celetuk Nadhif langsung memalingkan wajahnya.

“Mas Nadhif kenapa masuk ke sini?! Kenapa juga membuka kancing pakaian di sini?!” sergah Nadina langsung berlari menuju ranjang dan mengenakan kembali hijabnya.

“Kamu sendiri juga kenapa keluar dari toilet tanpa hijab, Nadina?” lirih Nadhif kembali mengancingkan pakaiannya cepat.

“Astagfirullah! Kamu istriku, Nadina! Tidak apa aku melihat rambutmu sekarang ini, begitu pun denganmu,” tutur Nadhif langsung membuat Nadina memberikan tatapan canggung.

“Aku mau keluar bertemu umi. Pasti umi sudah menungguku sekarang!” Nadina dengan cepat meraih mukenanya dan pergi keluar kamar dengan sedikit berlari.

“Lucu sekali istriku itu!” kekeh Nadhif.

Sementara Nadhif masuk ke dalam toilet, Nadina telah bertemu dengan Aminah di serambi masjid.

“Apa kamu sudah sempat beristirahat, Nak?” tanya Aminah. Nadina mengangguk kecil.

“Umi punya satu rahasia yang hanya umi dan Nadhif yang mengetahuinya. Kamu pasti sebentar lagi juga akan mengetahuinya. Malam nanti pasti kamu akan mengetahui hal itu. Lihat saja, nanti!” bisik Aminah.

“Rahasia apa Umi?” Nadina mengerutkan dahinya.

“Nanti malam saat kamu tidur bersanding dengan Nadhif, kamu akan mengetahuinya, Sayang! Apa kamu sudah tidak sabar menunggu malam itu datang?” kekeh Aminah langsung membuat Nadina terdiam kaku.

Rahasia?

Related chapters

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   6. Malam Sebelum Resepsi

    Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah. “Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu. Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu. Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet. “Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendeka

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   7. Masa Lalunya

    Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   8. Pemotretan Dua Mempelai

    “Mas Sadewa! Nadina rasa kita tidak harus membahas perihal ini sekarang. Kita harus segera mengatur konsep pemotretan sebelum waktunya tiba bukan?” sela Nadina saat Nadhif baru saja hendak menarik napas dan menjawab pertanyaan Sadewa barusan. “Ahh, iya! Itu benar. Maaf ya Pak Nadhif, saya terlalu antusias dengan pernikahan kalian hingga melupakan tugas saya di sini.” Nadhif hanya bisa sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk. Pemaparan pun dilakukan oleh Sadewa dengan tampangnya yang serius juga profesional. Sementara Nadhif mendengar dengan saksama agar urusan dengan pria di hadapannya itu segera berakhir, Nadina malah tampak terus tersenyum memandang ciptaan Tuhan lainnya itu. “Ehm, Nadina!” panggil Nadhif tanpa menoleh kepada Nadina hingga membuat sang istri sedikit tersentak hingga akhirnya menoleh dengan kerutan nyata di dahinya. “Ada apa?” sahut Nadina singkat dan terkesan sedikit ketus. “Saya rasa saya bisa membahas ini dengan Sadewa berdua saja. Lebih baik kamu menemui um

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   9. Tragedi Toilet Berdua

    Sadewa segera membalik badannya dengan ekspresi yang cukup terkejut sementara Nadina seolah muka bebek tak peduli dengan kedatangan sang suami yang memergokinya berduaan dengan pria lain. “Maaf, Pak! Saya mohon jangan berpikiran yang tidak-tidak! Saya hanya membantu Nadina melepas benang hijab yang menyangkut pada gaunnya. Saya bersumpah tidak melakukan apapun!” papar Sadewa cepat dengan raut khawatir jika suami adik tingkatnya itu akan mengamuk saat ini juga. “Terima kasih sudah membantu. Tapi sekarang anda bisa kembali, saya yang akan membantu istri saya jika masalah itu belum selesai,” tutur Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina dan Sadewa. “B-baiklah, saya permisi!” putus Sadewa lalu sedikit melirik ke arah Nadina sebentar sebelum akhirnya benar keluar dari ruangan itu. Nadhif terdiam di hadapan Nadina yang seolah tak ingin menjelaskan apapun. Wanita itu malah terus memegangi pundaknya yang tersangkut benang hijab. “Jika kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa memanggil saya, Nad

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   10. Air Mata Pernikahan

    “Mencium?!” pekik Nadina kencang hingga langkahnya terhenti seketika. Pekiknya yang sudah jelas tidak lirih itu tentu mengundang perhatian manusia lain di koridor itu. Nadhif terlebih Aminah kini menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Nadina. “Astaga! Kenapa harus teriak?!” umpat Nadina dalam hatinya. “Nadina?” panggil sang umi langsung membuat Nadina menoleh dengan patahan. “Ehm, Umi! Maaf, anu itu, ehm–” ujar Nadina terpotong-potong. “Maaf Umi, Nadina hanya sedikit terkejut dan risau karena mesti melakukan itu di depan para keluarga dan tamu undangan nantinya,” jelas Nadhif cepat sementara Nadina malah tampak terkejut atas jawaban sang suami yang terang-terangan itu. “Mas!” bisik Nadina sambil menarik lengan jas Nadhif ke dekatnya. Aminah berjalan ke arah Nadina sambil sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu kini meraih tangan Nadina dan menghadapkan sang menantu ke arahnya. Dielusnya pucuk kepala Nadina lalu ia berucap lirih. “Umi dulu juga s

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   11. Awal Dusta

    Acara akhirnya usai tepat dua jam sebelum adzan dhuhur berkumandang di masjid besar pondok tersebut. Nadina dan Nadhif yang baru saja mengantarkan kedua orang tua Nadina pamit pulang akhirnya kembali bertemu dengan Sadewa untuk membicarakan beberapa hasil foto jika dirasa kurang puas dan ingin melakukan pemotretan ulang. “Itu saja tidak apa-apa, Mas! Aku yakin hasil jepretan Mas Sadewa yang terbaik!” pekik Nadina dengan cepat seolah terang-terangan ingin memberi tahu jika tak akan ada pemotretan ulang antara dirinya dengan Nadhif. “Tidak apa kita lihat dulu, Nadina. Silakan Sadewa,” tutur Nadhif lalu mempersilakan pemuda itu duduk di ruang tamu dalem. Beberapa lirikan sering ditujukan Sadewa pada Nadina usai mendapati hawa tak menyenangkan datang dari adik tingkatnya itu. “Sudah aku bilang hasilnya bagus. Mas yang tidak percaya bukan?” sindir Nadina saat Nadhif sedang memeriksa beberapa berkas foto mereka. “Ya, Nadina benar. Semuanya tampak baik. Terima kasih telah bekerja keras

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   12. Melepas di Depan Miliknya

    Nadina melepas satu persatu hiasan hijabnya juga memoles riasan yang melapisi wajahnya, dilihatnya wajahnya sendiri di dalam kaca itu. Beberapa detik ia terdiam lalu menghela napas kasar. “Baru sehari aku di sini, tapi semuanya tampak menyebalkan. Aku harus terus berusaha berpura-pura bahagia atas pernikahan ini. Kenapa abi, umi, maupun Mas Nadhif tidak memberi tahu saja kepada warga pondok jika pernikahan ini hanyalah bentuk bakti kepada orang tua kami? Aku lelah harus selalu tersenyum dan bersikap manis atas hal yang tidak aku sukai dan malah sangat aku benci!” gumam Nadina lalu menjatuhkan kepalanya ke meja rias. Dilepasnya hijab yang menutup rapat rambut hitam indah miliknya lalu diletakkannya di sisi sofa. Ia tersenyum sedikit sebelum akhirnya mengelus rambutnya sedikit dan pergi ke toilet. Tak lama setelahnya, terdengar suara kecil dari pintu utama kamar yang terbuka. Nadhif masuk dengan membawa beberapa paperbag yang tentu saja ia dapat dari kawan-kawan semasa kuliahnya tadi

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   13. Belum Seutuhnya

    “Ehkm, maksud saya bukan seperti itu juga, Nadina. Maksud saya itu, saya lupa mengunci pintu. Tidak mungkin saya membiarkannya terbuka hanya untuk mengundang orang melihat saya mengganti pakaian,” papar Nadhif dengan tempo yang cukup cepat untuk membuat Nadina paham jika ia tak berniat mengasingkan istrinya itu. “Terserah deh, Mas. Apapun itu. Aku capek, mau tidur sebentar boleh ‘kan?” tanya Nadina. “Ehm, baiklah. Jika kamu sudah bangun nanti, itu ada hadiah dari beberapa kawan kampus saya dulu. Kamu bisa membukanya nanti,” tutur Nadhif sebelum akhirnya keluar dari ruang kamarnya meninggalkan Nadina yang kembali berbaring di ranjangnya. Pemuda itu kini berjalan dengan cukup tertatih malu jika kembali mengingat kejadian beberapa detik yang amat mengejutkannya itu. Hingga ia sampai pada ruang keluarga dalem dan menyaksikan beberapa pengurus pondok mengatur ruangan tersebut dengan beberapa sofa yang tertata rapi. Melihat sang umi tengah merapikan gorden, Nadhif memutuskan untuk meng

Latest chapter

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status