Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah.
“Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu.
Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu.
Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet.
“Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendekat pada pintu.
Di saat yang bersamaan, Nadhif membuka pintu toilet dan membuat Nadina sedikit terhuyung karena kehilangan sandarannya. Dengan sigap sang suami menangkap tubuh Nadina dengan mencekal lembut kedua lengan tangan wanita itu.
“Nadina, kamu baik-baik saja?” sergah Nadhif bersamaan dengan Nadina yang memejamkan mata saat tubuhnya jatuh di dekapan sang suami.
Mata Nadina terbuka lebar dan ia segera menegakkan tubuhnya sembari menjauhi Nadhif. Pria itu sedikit menyunggingkan senyuman dibl balik menunduknya wajah.
“Mas Nadhif jangan berpikiran macam-macam! Aku mau pakai toiletnya tapi mas lama di dalam! Mana tidak ada suaranya! Mas tidur di dalam sana?!” sergah Nadina lalu matanya menunjuk toilet tajam.
“Maaf ya, lain kali kamu bisa ketuk kalau memang kamu terburu ke toilet dan saya tak segera keluar. Saya akan berusaha selesaikan urusan saya agar kamu bisa segera menggunakan toilet,” tutur Nadhif.
“Penjelasannya kelamaan! Minggir!” Nadina langsung sedikit menepikan lengan Nadhif dan mendorong tubuhnya sendiri masuk ke dalam toilet.
Pintu itu tertutup dengan lumayan kencang menandakan jantung Nadina yang berdegup sama kencangnya akibat terpergok tadi.
“Astaga! Kenapa bisa pas begini, sih?!” omel Nadina dalam hatinya. Tak hanya di situ, Nadina yang sedari awal memang tak berniat ke toilet akhirnya hanya memainkan air di bak mandi agar terdengar sedang beraktivitas di sana.
Tak lama kemudian gadis itu keluar, ia melihat Nadhif tengah mengatur bantal dan selimut di atas sofa. Dirinya pun langsung melengos hendak ke ranjang. Saat dirinya bersiap membenamkan diri di balik selimut tebal itu, Nadhif memanggilnya.
“Apa kamu tidak ingin melepas hijabmu, Nadina? Di sini kamu bisa membukanya. Setidaknya itu akan membuat tidurmu lebih nyaman. Kamu bisa mengenakannya lagi besok saat berada di luar kamar,” tutur Nadhif memandang punggung Nadina yang membelakanginya.
“Aku ingin begini saja. Aku masih nyaman mengenakannya seharian,” dusta Nadina tanpa membalik badannya.
“Baiklah.” Nadhif tampak memasang posisi berbaring lalu menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut dan memejamkan mata.
Sementara Nadhif mulai fokus pada rasa kantuknya, Nadina malah membalik tubuhnya dan mulai mengamati pria itu.
“Umi bilang akan ada sebuah rahasia! Rahasia apa? Tidak terjadi apapun padanya selain keanehannya di dalam bilik toilet tadi!” gumam Nadina sembari menarik selimutnya ke separuh mata untuk menutupi lirikannya pada Nadhif.
“Nadina, apa kamu sudah tidur?” Suara Nadhif tiba-tiba mengejutkan Nadina hingga ia langsung memejamkan matanya.
Nadhif tampak bangkit dari tidurnya lalu berjalan ke arah ranjang tempat Nadina berbaring. Wanita itu tampak sedikit gemetar saat melirik Nadhif yang berjalan ke arahnya.
“Astaga, mau apa dia?!” sergah dalam hati Nadina.
“Nadina? Apa kamu benar sudah tidur? Bisa saya bicara sebentar saja denganmu?” tanya Nadhif lirih sembari membungkukkan badannya lalu berjongkok tepat di tepi ranjang tempat Nadina memejamkan matanya.
Tak ada sahutan dari Nadina. Wanita itu tetap bersikukuh bahwa dirinya telah tertidur. Ia takut jika suaminya itu meminta sesuatu yang aneh atau mengungkap sebuah rahasia yang tak akan bisa ia terima.
“Baiklah, maaf karena saya terlambat mengatakan ini, Nadina.” Napas Nadhif sedikit terembus ke arah wajah Nadina meskipun jarak wajah mereka cukup renggang.
“Maafkan semua kesalahan saya hari ini maupun sebelumnya, Nadina. Maaf jika perkataan atau perbuatan saya telah menyakiti kamu di hari ini ataupun di hari sebelumnya. Semoga besok menjadi hari yang lebih baik untuk kita berdua, Nadina. Assalamualaikum, Nadina. Selamat tidur calon bidadari surga!” bisik Nadhif memandang wajah Nadina lalu bangkit dan kembali ke sofa tempatnya tidur.
“Aamiin,” gumam Nadina lalu membuka matanya perlahan. Dilihatnya Nadhif telah berbaring membelakanginya di sofa. Gadis itu sedikit menghela napas.
“Ya, bapak benar. Sepertinya kamu orang yang baik, Mas Nadhif! Tapi sayang, bukan kamu yang aku inginkan. Dan sampai kapan pun, sesempurna apapun kamu, aku akan tetap sulit menerimamu. Karena bukan kamu yang aku mau. Aku mau Mas Sadewa. Bukan Mas Nadhif,” imbuh Nadina lalu kembali memejamkan matanya.
“Suatu hari nanti, saya yakin atas izin Allah, kamu akan mengubah kalimatmu itu, Nadina. Saya yakin jika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi. Suatu saat saya harap kamu bangga memiliki saya sebagai pasangan hidupmu dan bukan pemuda lain,” batin Nadhif yang ternyata mendengar penuturan Nadina barusan.
Malam itu berakhir begitu saja. Mentari kembali hadir menelisik sela-sela gorden yang terpasang menutup jendela.
“Nadina, bangun. Ayo bersiap. Semua sudah menunggumu di luar!” bisik Nadhif sembari menepuk lembut pundak sang istri.
Shubuh tadi keduanya telah terbangun dan menunaikan sholat shubuh berjamaah di masjid. Meskipun begitu, rupanya Nadina memilih tidur kembali dengan mukena yang masih ia kenakan meskipun sekarang ia terbangun tanpa menggunakannya.
“Hueueemphh!” Nadina menggeliat lalu meraba kepalanya. Disadarinya jika yang ia pegang bukanlah kain mukena melainkan rambutnya sendiri. Wanita itu segera terjungkat dan menarik mukena kembali menutup kepalanya.
“Mas Nadhif yang melepas mukena Nadina?!” sergah Nadina mengamuk.
“Saya tidak menyentuhnya sedikit pun. Kamu yang melepasnya sendiri saat tertidur tadi. Mungkin kamu merasa gerah jadi kamu melepasnya?” tutur Nadhif.
Nadina mengerutkan dahi. Kejadian ini tak satu dua kali terjadi. Ia pernah melakukannya juga dulu, jadi sudah bisa dipastikan jika bukan Nadhif yang membuka mukenanya.
Suara pintu diketuk membuat keduanya langsung menoleh ke arah pintu. Tak mau berlama-lama dengan rasa canggung itu, Nadina langsung bangkit dari ranjang dan bergegas membuka pintu kamarnya.
Mata wanita itu membulat sempurna saat melihat siapa tamu paginya itu.
“Mas Sadewa?”
“Lho, Nadina?”
Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari
“Mas Sadewa! Nadina rasa kita tidak harus membahas perihal ini sekarang. Kita harus segera mengatur konsep pemotretan sebelum waktunya tiba bukan?” sela Nadina saat Nadhif baru saja hendak menarik napas dan menjawab pertanyaan Sadewa barusan. “Ahh, iya! Itu benar. Maaf ya Pak Nadhif, saya terlalu antusias dengan pernikahan kalian hingga melupakan tugas saya di sini.” Nadhif hanya bisa sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk. Pemaparan pun dilakukan oleh Sadewa dengan tampangnya yang serius juga profesional. Sementara Nadhif mendengar dengan saksama agar urusan dengan pria di hadapannya itu segera berakhir, Nadina malah tampak terus tersenyum memandang ciptaan Tuhan lainnya itu. “Ehm, Nadina!” panggil Nadhif tanpa menoleh kepada Nadina hingga membuat sang istri sedikit tersentak hingga akhirnya menoleh dengan kerutan nyata di dahinya. “Ada apa?” sahut Nadina singkat dan terkesan sedikit ketus. “Saya rasa saya bisa membahas ini dengan Sadewa berdua saja. Lebih baik kamu menemui um
Sadewa segera membalik badannya dengan ekspresi yang cukup terkejut sementara Nadina seolah muka bebek tak peduli dengan kedatangan sang suami yang memergokinya berduaan dengan pria lain. “Maaf, Pak! Saya mohon jangan berpikiran yang tidak-tidak! Saya hanya membantu Nadina melepas benang hijab yang menyangkut pada gaunnya. Saya bersumpah tidak melakukan apapun!” papar Sadewa cepat dengan raut khawatir jika suami adik tingkatnya itu akan mengamuk saat ini juga. “Terima kasih sudah membantu. Tapi sekarang anda bisa kembali, saya yang akan membantu istri saya jika masalah itu belum selesai,” tutur Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina dan Sadewa. “B-baiklah, saya permisi!” putus Sadewa lalu sedikit melirik ke arah Nadina sebentar sebelum akhirnya benar keluar dari ruangan itu. Nadhif terdiam di hadapan Nadina yang seolah tak ingin menjelaskan apapun. Wanita itu malah terus memegangi pundaknya yang tersangkut benang hijab. “Jika kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa memanggil saya, Nad
“Mencium?!” pekik Nadina kencang hingga langkahnya terhenti seketika. Pekiknya yang sudah jelas tidak lirih itu tentu mengundang perhatian manusia lain di koridor itu. Nadhif terlebih Aminah kini menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Nadina. “Astaga! Kenapa harus teriak?!” umpat Nadina dalam hatinya. “Nadina?” panggil sang umi langsung membuat Nadina menoleh dengan patahan. “Ehm, Umi! Maaf, anu itu, ehm–” ujar Nadina terpotong-potong. “Maaf Umi, Nadina hanya sedikit terkejut dan risau karena mesti melakukan itu di depan para keluarga dan tamu undangan nantinya,” jelas Nadhif cepat sementara Nadina malah tampak terkejut atas jawaban sang suami yang terang-terangan itu. “Mas!” bisik Nadina sambil menarik lengan jas Nadhif ke dekatnya. Aminah berjalan ke arah Nadina sambil sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu kini meraih tangan Nadina dan menghadapkan sang menantu ke arahnya. Dielusnya pucuk kepala Nadina lalu ia berucap lirih. “Umi dulu juga s
Acara akhirnya usai tepat dua jam sebelum adzan dhuhur berkumandang di masjid besar pondok tersebut. Nadina dan Nadhif yang baru saja mengantarkan kedua orang tua Nadina pamit pulang akhirnya kembali bertemu dengan Sadewa untuk membicarakan beberapa hasil foto jika dirasa kurang puas dan ingin melakukan pemotretan ulang. “Itu saja tidak apa-apa, Mas! Aku yakin hasil jepretan Mas Sadewa yang terbaik!” pekik Nadina dengan cepat seolah terang-terangan ingin memberi tahu jika tak akan ada pemotretan ulang antara dirinya dengan Nadhif. “Tidak apa kita lihat dulu, Nadina. Silakan Sadewa,” tutur Nadhif lalu mempersilakan pemuda itu duduk di ruang tamu dalem. Beberapa lirikan sering ditujukan Sadewa pada Nadina usai mendapati hawa tak menyenangkan datang dari adik tingkatnya itu. “Sudah aku bilang hasilnya bagus. Mas yang tidak percaya bukan?” sindir Nadina saat Nadhif sedang memeriksa beberapa berkas foto mereka. “Ya, Nadina benar. Semuanya tampak baik. Terima kasih telah bekerja keras
Nadina melepas satu persatu hiasan hijabnya juga memoles riasan yang melapisi wajahnya, dilihatnya wajahnya sendiri di dalam kaca itu. Beberapa detik ia terdiam lalu menghela napas kasar. “Baru sehari aku di sini, tapi semuanya tampak menyebalkan. Aku harus terus berusaha berpura-pura bahagia atas pernikahan ini. Kenapa abi, umi, maupun Mas Nadhif tidak memberi tahu saja kepada warga pondok jika pernikahan ini hanyalah bentuk bakti kepada orang tua kami? Aku lelah harus selalu tersenyum dan bersikap manis atas hal yang tidak aku sukai dan malah sangat aku benci!” gumam Nadina lalu menjatuhkan kepalanya ke meja rias. Dilepasnya hijab yang menutup rapat rambut hitam indah miliknya lalu diletakkannya di sisi sofa. Ia tersenyum sedikit sebelum akhirnya mengelus rambutnya sedikit dan pergi ke toilet. Tak lama setelahnya, terdengar suara kecil dari pintu utama kamar yang terbuka. Nadhif masuk dengan membawa beberapa paperbag yang tentu saja ia dapat dari kawan-kawan semasa kuliahnya tadi
“Ehkm, maksud saya bukan seperti itu juga, Nadina. Maksud saya itu, saya lupa mengunci pintu. Tidak mungkin saya membiarkannya terbuka hanya untuk mengundang orang melihat saya mengganti pakaian,” papar Nadhif dengan tempo yang cukup cepat untuk membuat Nadina paham jika ia tak berniat mengasingkan istrinya itu. “Terserah deh, Mas. Apapun itu. Aku capek, mau tidur sebentar boleh ‘kan?” tanya Nadina. “Ehm, baiklah. Jika kamu sudah bangun nanti, itu ada hadiah dari beberapa kawan kampus saya dulu. Kamu bisa membukanya nanti,” tutur Nadhif sebelum akhirnya keluar dari ruang kamarnya meninggalkan Nadina yang kembali berbaring di ranjangnya. Pemuda itu kini berjalan dengan cukup tertatih malu jika kembali mengingat kejadian beberapa detik yang amat mengejutkannya itu. Hingga ia sampai pada ruang keluarga dalem dan menyaksikan beberapa pengurus pondok mengatur ruangan tersebut dengan beberapa sofa yang tertata rapi. Melihat sang umi tengah merapikan gorden, Nadhif memutuskan untuk meng
Nadhif dengan seluruh tenaganya mendorong sofa itu ke arah pintu kamarnya. Ia sengaja memutuskan untuk mendorong sofa itu keluar kamar sendirian karena tak tega membangunkan Nadina untuk bisa mengundang dua santri lain masuk. “Gus, kami bantu saja, ya! Sofanya pasti berat!” pekik salah satu santri yang berdiri di depan pintu menghadap koridor di depan kamar itu. “Tidak perlu! Kalian tetaplah di luar dan jangan menoleh ke dalam!” pekik Nadhif dari dalam kamar yang langsung dipahami oleh kedua santri itu. Tak lama setelahnya, sofa itu berhasil di dorong keluar kamar. Nadhif segera kembali menutup pintunya dan mempersilakan santri itu untuk membawanya ke ruang keluarga dalem. “Maaf Gus, apa tidak berat memindah sofa ini sendiri?” celetuk santri lain sambil meringis. Nadhif sedikit menyunggingkan senyumnya lalu melirik ke arah pintu kamar yang baru saja ia tutup itu. “Istri saya sedang istirahat di dalam. Tidak mungkin saya membangunkannya terlebih mengizinkan kalian masuk ke dalam,
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan