Nadina melebarkan senyumnya lalu menghapus air matanya cepat. “Umi bikin Nadina khawatir saja. Nadina kira umi benar-benar marah,” ujar wanita itu sambil terkekeh ringan. “Mana mungkin umi marah dengan putri sebaik ini? Tapi umi ada satu pertanyaan, dan kali ini Nadina harus menjawabnya dengan tegas! Bisa?” ujar Ulfah. Nadina mengangguk setuju dan paham. Kini ia menatap Ulfah seolah siap dengan pertanyaan apa saja yang akan wanita itu tanyakan padanya. Sama dengan Nadina yang tengah menatapnya, Ulfah kini pun sedang menatap wanita muda yang ada di hadapannya itu. Samar-samar raut antusias dan cemas menyatu dalam wajah Nadina. Degup jantungnya mulai bertambah kencang, meskipun begitu ia mencoba bersikap sewajarnya saja. “Sampai kapan Nadina hendak memenjarakan Nadhif di dalam hati, Nadina? Sampai kapan kamu ingin hidup di bawah bayang-bayang mendiang suamimu, Nadina?” Raut muka Nadina seketika berubah, dari senyuman tipis yang awalnya ada pada wajahnya, kini ia malah memandang k
Keesokan paginya, Adnan telah berada di sekolah. Ia berjalan sedikit gontai di koridor yang mengarah ke dalam kelasnya. Namun tiba-tiba sebuah suara memekik memanggil namanya. “Adnan!!” Bocah itu segera berhenti dan berbalik. Raut murungnya tiba-tiba berubah menjadi raut bahagia. Tangannya dengan cepat melambai, kakinya melompat senang melihat siapa yang memanggilnya barusan. “Azif!!” pekik Adnan. Dua bocah cilik itu kini saling melakukan tos hantam yang mereka lalukan setiap bertemu kawan kelas lain. “Baru datang juga, ya? Hari ini main gasing, yuk!” pekik Azif sembari berjalan di sebelah Adnan menuju kelas mereka berdua. “Yahh, harusnya kamu bilang kemarin. Jadi aku bawa gasingnya. Kalau sekarang aku nggak bawa, Zif! Besok gimana?” tanya Adnan dengan raut penasaran akan jawaban Azif. “Ahh, begitu! Oke deh! Nggak apa-apa! Nanti kita main bola aja sama temen-temen lain! Oiya, kemarin tempat duduk yang aku pake punya kamu, ya? Maaf ya! Aku enggak tahu, kemarin waktu aku datang,
Hari berganti hari, kondisi Rayyan perlahan kembali pulih, meskipun begitu pemuda itu tampak belum ingin pergi dari sana. Mungkin tiga hari berada di sana telah membuatnya merasakan kehangatan keluarga yang selama ini tak ia dapatkan semenjak kematian orang tuanya. Rayyan mulai kembali mengajar di sekolah dan kembali berinteraksi dengan Adnan. Guru itu juga tahu jika sekarang Adnan tampak semakin bersemangat karena kehadiran murid baru yang menurut bocah itu sangat unik. Hingga hari ini, Adnan berencana mengundang Azif untuk bermain di rumahnya. Nadina telah menyiapkan segalanya berharap kawan putranya itu akan merasa nyaman nantinya. Saking tak sabarnya akan pertemuan itu, Adnan bahkan sampai menunggu di depan gerbang pondok untuk menjemput Azif. Sementara Nadina yang merasa rawan karena putranya berada di tepi jalan pun akhirnya turut mengikuti. “Kamu sangat senang sepertinya, Sayang! Ibu yakin temanmu tidak akan tersesat saat menuju kemari. Kita bisa menunggu di dalam, kok!” uj
Nadina menyiapkan makanan ringan untuk Adnan dan Azif sembari keduanya tengah bersama-sama bermain di ruang tamu dalem saat itu. “Adnan, ajak Azif untuk makan jajanannya, ya! Jangan dibiarin saja!” tutur Nadina sembari menata makanan dan minuman yang ia bawa ke meja. “Siap, Ibu!” pekik Adnan. “Terima kasih, Tante!” sahut Azif dan tersenyum lebar. Nadina balas tersenyum. Namun sekelebat senyuman Azif seolah mengingatkan Nadina dengan seseorang, namun ia bingung siapa orang yang senyumnya memiliki getaran yang sama dengan senyum bocah itu. Tak ingin mengambil pusing tentang hal itu, Nadina akhirnya segera bangkit dan pergi dari sana. Seperti yang ia janjikan, ia bertemu dengan Rayyan di aula terbuka. Pemuda itu tampak telah berada di sana dan duduk menantinya. Saat Nadina mendekat, Rayyan segera bangkit dan menyambut Nadina dengan sedikit menunduk. “Maaf telah membuatmu lama menunggu,” ujar Nadina. “Tidak, aku juga baru saja tiba. Mau langsung duduk saja?” Keduanya pun lanjut du
Nadina segera keluar dari kawasan pondok, menoleh ke kana dan ke kiri berusaha mencari ke mana kurir yang membawa surat antah berantah itu. Namun sayangnya, lagi-lagi tak ada informasi. Kurir itu menghilang. “Nadina, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berlari??” sergah Rayyan yang turut menyusul Nadina saat itu. Wajah Nadina jelas menunjukkan kepanikan, ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri seolah tengah kehilangan sesuatu dan berusaha mencarinya. Tak sabar dengan jawaban yang akan Nadina berikan, Rayyan akhirnya meraih kertas itu dan turut membacanya. “Surat apa ini? Maksudnya motor tadi?” ujar Rayyan. Nadina memandang Rayyan cemas dan menarik kembali surat itu dari tangan pemuda itu. Nadina tak membalas dan malah pergi meninggalkan Rayyan ke arah ruang kesekretariatan. “Ya Tuhan, apalagi ini? Apa itu surat ancaman? Tapi dari siapa? Atau mungkin...,” gumam Rayyan sebelum akhirnya kembali menyusul Nadina. “Assalamualaikum! Afwan, siapa yang tadi menerima surat ini dari kurir lepas?”
Hari itu juga, Rayyan pergi dari kawasan pondok usai mendapatkan pernyataan dan sedikit cerita dari Melati mengenai ancaman yang beberapa hari ini Nadina terima. Pemuda itu tampak tergesa dengan mobilnya. Pikirannya terus melanglang buana seolah sedang memikirkan hal terpenting di dunia ini. Tak hanya itu, ia bahkan menjadi sering menoleh ke spion dan kaca tengah agar ia bisa dengan segera menginjak pedal gasnya. Tak ada tujuan lain hang akan ia datangi kecuali satu. Kediaman Regina. Ya! Siapa yang tak akan mengira bahwa Reginalah dalang dari segala kerusuhan bangkai tikus dan surat ancaman itu? Jika menilik dari latar belakang Regina mengenal Nadina, bukankah itu sangat masuk akal? “Lihat saja Regina, jika benar kau yang melakukan semua ini terhadap Nadina, aku tak akan tinggal diam! Akan kupastikan kau mendekam di penjara! Kriminal sepertimu tak akan pantas untuk hidup bebas bersama manusia normal lainnya!” sergah Nadina. Mobil hitam milik Rayyan kini telah memasuki kawasan peru
Raut muka Regina berubah menjadi tajam saat menuturkan semua pertanyaannya kepada sang lawan bicara. Samar-samar suara seseorang muncul membalas tuduhannya. [“Kau bicara apa, Regina! Kita baru saja hendak bertemu! Dengar, kau sudah terlambat, jangan membuatku marah dengan membuatku menunggu lagi! Segeralah tiba atau semua kesepakatan kita berakhir dan kau yang akan menjadi targetku selanjutnya!”] Suara dari seberang itu membuat Regina segera memadamkan panggilan. Kepalan tangannya dengan cepat menghantam stir mobilnya. Wajah wanita itu seketika berubah kesal. Umpatan demi umpatan terus melejit seolah ia tak mengerti apa dosa di balik seluruh umpatan yang ia tuturkan itu. “Apa-apaan ini! Belum saja kami bekerja sama dan ia telah mengancamku?! Dasar bajingan! Dia pikir dia siapa?! Dia tak tahu saja aku bisa melakukan semua hal untuk membunuhnya!” sergah Regina. Bsru saja emosi wanita itu sedikit meredam dan kembali fokus dengan apa yang ada di hadapannya, ia kembali teringat denga
Jauh sebelum itu, Nadina yang pergi dari hadapan Rayyan memutuskan untuk masuk ke dalem. Ia duduk di kamarnya dan memandang surat yang ia terima. “Apa maksud surat ini? Siapa dia? Siapa yang sengaja membuatku ketakutan seperti ini? Haruskah aku melaporkannya? Tetapi melaporkan siapa? Ya Tuhan, kenapa sekarang ujiannya semakin sulit? Jangan buat aku berprasangka buruk!” gumam Nadina. Nadina menyandarkan punggungnya di sofa yang ada di kamar itu. Setiap ia merasa jenuh, bingung, sedih, kesal, atau apapun itu, ketika ia duduk di sofa itu, akan ada satu memori yang terlintas. Dulu, saat Nadhif masih bersamanya, setiap ia merasa lelah dan suntuk, entah sebelum atau setelah memiliki Adnan kecil, Nadina selalu memilih meringkuk di sofa itu dan menangis. Dan secara ajaib tiba-tiba Nadhif berada di sebelahnya. Pemuda itu menepuk pundaknya perlahan sebelum akhirnya mengelus pucuk kepala Nadian sembari bertutur lembut, “Ada apa, Nadina? Ingin membaginya dengan saya? Katakan, saya siap menden
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan