"Mas, sekarang kita pengangguran." Ucapanku sukses membuat tangannya yang bergerilya dengan jahil mencoba mengenal anatomi tubuhku berhenti. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa dia takut tidak biasa membiayai anak-anaknya seperti kata Mbak Lita waktu itu. Padahal aku hanya ingin mengalihkan fokusnya."Aku minta maaf tiba-tiba berhenti dari tempat itu, tidak menghargai pengorbananmu." "Kamu bilang akan bercerita lain kali, ya sudahlah lupakan saja. Besok baru bercerita, atau saat kita kembali ke kota. Sekarang aku ingin tidur denganmu."Tidur katanya, sejak kapan orang tidur aktif seperti ini. "Aku senang tinggal di sini, banyak anak-anak. Bersama mereka hidup terasa menyenangkan tanpa beban." "Kita bisa punya anak sendiri di kota, mau berapa? Satu, tiga, lima, sembilan. Aku sanggup berapapun kamu minta," ucapnya tanpa beban. Mentang-mentang kuijinkan dia menyentuhku lantas mulutnya bicara tanpa rem juga.Tangannya mulai usil lagi, bukankah harusnya tidak begini. Ah, dia bilang
Baca selengkapnya