"Mas, kamu udah dengar selentingan di kantor?" Husniah bertanya saat kami berada di mobil, pulang kerja. Akhirnya ... Dia buka suara juga setelah mengabaikanku sejak kemarin. "Yang mana?" Aku bertanya, pura-pura tidak mengerti. "Pasangan suami-istri yang merahasiakan pernikahan.""Sudah, abaikan saja." Aku memang belum mengatakan sudah mengajukan surat pengunduran diri padanya."Tapi, Mas ...." "Gak usah terlalu dipikirkan, kamu fokus saja bekerja. Itu kan impianmu sejak dulu, bekerja di kantor setelah lulus kuliah." Kupotong perkataannya.Husniah diam tidak menyangkal lagi, mobil berhati di lampu merah. Seorang gadis kecil tampak menawarkan bunga mawar yang dijual per batang pada setiap mobil yang berhenti. Tumben ada yang jualan bunga, hari apa ini? Valentine? Kuturunkan kaca jendela saat gadis kecil itu mengetuknya. Wajah polos itu terlihat kelelahan. "Bunga Om," ucapnya menawarkan. Kuulurkan satu lembar uang kertas berwarna merah padanya. "Semuanya, Om?""Iya.""Tapi bung
Sudah dua bulan lamanya aku jadi pengangguran di rumah. Mencari pekerjaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi lowongan yang didapat hanya bermodalkan iklan di internet bukan atas rekomendasi orang. Banyak yang benar, tapi ada juga yang hanya tipuan. Saat datang bukannya diinterview kerja tapi diprospek oleh team jaringan penjualan berjenjang. Kadang kala benar-benar penipuan, biasanya targetnya orang-orang yang baru terjun mencari kerja. Selama menunggu panggilan dari lamaran yang mungkin saja nyangkut di sebuah perusahaan, kusibukkan diri mengurusi tanaman. Sejak dulu aku memang suka berkebun, makanya di atas rumah sengaja kubuat tempat yang cukup lega. Bahkan di bagian teras, di samping carport juga ada taman tempat menyimpan tanaman. Hanya saja sudah lama tak kugunakan dan urus. Bunga-bunga mawar itu mulai aku perbanyak, bahkan ada yang sengaja kustek dengan jenis mawar yang lain. Tumbuhan yang berbunga banyak sengaja aku pindahkan ke taman yang ada di depan
Mataku enggan terpejam, tak sabar menunggu hari segera berganti. Harusnya aku minta alamat rumah Wisnu pada Husniah, harusnya aku minta juga nomer telepon pria itu pada Hunsiah. Ah, bodoh kau Hanan. Aku mengutuk diriku sendiri. "Ada apa sih, Han? Kenapa dengan Husniah, kemana dia pergi. Kamu bilang ke rumah saudaranya. Apa hubungan dengan Pak Wisnu, kenapa kamu malah ingin ke sana," cecar Abbas tadi siang. Pria itu penasaran saat aku kebingungan tak bisa menghubungi istriku. "Nanti aku ceritakan kalau aku sudah memastikan." Aku salah percaya begitu saja pada Husniah, harusnya aku lebih protektif menjaganya. Terlepas dulu aku tak peduli padanya, dia masih istriku. Aku masih bisa memintanya kembali ke sini bukan malah membiarkan dia berkeliaran di luar sana. Sekarang kalau sudah begini aku harus bagaimana. Aku hanya bisa berharap dia baik-baik saja. Sampai tengah malam begini, nomornya masih tak bisa dihubungi. Pesanku pun tidak ada yang masuk ke ponselnya. ***Segera kuparkir mob
Selepas Ashar aku baru sampai, mendarat dengan selamat di depan rumah dengan halaman yang cukup luas itu. Rumah kampung yang khas tanpa pagar seperti halnya rumah-rumah di kota. Kuparkir mobil di bawah pohon mangga yang menjulang cukup tinggi. Aku membayangkan akan menemukan istriku itu sendiri dan kesepian seperti dulu saat kutinggalkan di kampus. Nyatanya rumahnya terlihat ramai dengan anak-anaknya yang memakai pakaian tertutup semua. Anak-anak perempuan dengan kerudung dan anak laki-laki dengan peci di kepalanya. Aku seperti melihat sebuah TPA, bukan rumah yang sepi tanpa penghuni. Rumah kedua orang tuanya tidak dijual meskipun tidak ada yang menempati sejak Husniah tinggal bersamaku. Mungkin saja sengaja tidak dijual dan digunakan anak-anak untuk mengaji. Aku memutuskan untuk tidak turun dari mobil, lagi pula mereka terlihat tidak terganggu sama sekali dengan kedatanganku. Baik Husniah maupun anak-anak itu, mereka terlihat tetap fokus mengantre di depan beberapa orang dewasa, s
"Mas, sekarang kita pengangguran." Ucapanku sukses membuat tangannya yang bergerilya dengan jahil mencoba mengenal anatomi tubuhku berhenti. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa dia takut tidak biasa membiayai anak-anaknya seperti kata Mbak Lita waktu itu. Padahal aku hanya ingin mengalihkan fokusnya."Aku minta maaf tiba-tiba berhenti dari tempat itu, tidak menghargai pengorbananmu." "Kamu bilang akan bercerita lain kali, ya sudahlah lupakan saja. Besok baru bercerita, atau saat kita kembali ke kota. Sekarang aku ingin tidur denganmu."Tidur katanya, sejak kapan orang tidur aktif seperti ini. "Aku senang tinggal di sini, banyak anak-anak. Bersama mereka hidup terasa menyenangkan tanpa beban." "Kita bisa punya anak sendiri di kota, mau berapa? Satu, tiga, lima, sembilan. Aku sanggup berapapun kamu minta," ucapnya tanpa beban. Mentang-mentang kuijinkan dia menyentuhku lantas mulutnya bicara tanpa rem juga.Tangannya mulai usil lagi, bukankah harusnya tidak begini. Ah, dia bilang
"Kamu seperti ayahmu, dia penyayang, sabar dan baik hati. Selalu telaten menjaga orang sakit. Kakek rindu padanya, sudah sangat lama kami berpisah. Entah kenapa tiba-tiba dia menghilang dari kehidupan kami." Lelaki dengan rambut hampir memutihkan semuanya itu berbicara sambil menatap padaku. Dia seakan melihat seseorang yang dirindukannya. Sudah beberapa hari ini aku tinggal bersamanya. Meskipun pagi hari aku tetap bekerja di kantor, namun setelah pulang kerja aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar ini. Menemani orang tua dari ayahku, yang baru saja aku temui setelah aku dewasa. Kakek orang yang baik, dia juga terlihat pengertian dan penyayang. Selain itu dia juga terlihat cerdas, dan berwawasan luas. Meskipun dalam keadaan sakit seperti ini, dia gemar berdiskusi denganku. Banyak bercerita saat kami bersama, mengenang masa kecil ayah dan aku juga menceritakan masa-masa saat ayah sudah menjadi seorang bapak buatku. Masa dimana saat itu terlewatkan oleh pria tua yang lebih banya
"Aku turun ya," pamitku pada Husniah.Sebentar lagi sudah waktunya jam kerja, tidak mungkin juga aku berbuat semauku meskipun istriku orang istimewa di sini. Bahkan aku malah menghawatirkan sesuatu dengan keistimewaannya.Husniah dan Wisnu, memintaku kembali ke kantor ini. Alasan Wisnu, karena belum ada penggantinya, aku rasa alasan ini mengada-ada saja. Orang berebut mencari pekerjaan, mana mungkin susah mencari pengganti. Kalau alasan Husniah, dia ingin aku tetap bersamanya di tempat ini. Meskipun beda ruangan, tapi bisa ketemu saat makan siang dan bisa pulang pergi bersama. "Pengen ikut turun," rengek Husniah manja. Lah."Aku seperti berada di tempat yang tidak seharusnya," sambungnya sambil memegang pergelangan tanganku. Persis seperti anak TK yang hendak ditinggal orang tuanya pertama kali di kelas. "Kalau ada apa-apa, sebut namaku tiga kali. Aku akan langsung datang ke sini." Sebuah pukulan mendarat di dadaku sebagai reaksi dari ucapanku. Ah, aku mulai menyukai pukulan-pukul
Hingga kini aku memang tidak pernah secara langsung mendengar seperti apa yang dibicarakan Abbas. Tapi aku tahu, mereka menggunjing di belakangku. Itu sangat terlihat dari tatapan mereka saat melihatku, berbisik-bisik saat aku melintas, tidak karyawan laki-laki maupun wanita, semua terlihat seperti itu. Aku seakan pria yang tidak punya kharisma, pecundang tak tau malu yang mengincar harta dan hendak menumpang hidup pada istrinya. Jika bukan karena Husniah, ingin rasanya aku keluar lagi dari kantor ini. Lebih baik aku menjadi tukang bunga daripada di pandang sebelah mata oleh rekan-rekan kerja. Hanya Abbas yang tidak seperti itu, karena dia sudah tahu segalanya sejak awal. "Maafkan aku ya, Mas. Aku terlalu sibuk hingga mengabaikanmu beberapa minggu ini. Bahkan aku tidak tahu kamu dalam masalah. Pak Abbas yang mengatakan padaku semuanya saat tadi dia menyerahkan data karyawan baru padaku," tutur Husniah panjang lebar saat kami bersama dalam perjalanan pulang kerja. "Untuk apa kamu mi