Mataku enggan terpejam, tak sabar menunggu hari segera berganti. Harusnya aku minta alamat rumah Wisnu pada Husniah, harusnya aku minta juga nomer telepon pria itu pada Hunsiah. Ah, bodoh kau Hanan. Aku mengutuk diriku sendiri. "Ada apa sih, Han? Kenapa dengan Husniah, kemana dia pergi. Kamu bilang ke rumah saudaranya. Apa hubungan dengan Pak Wisnu, kenapa kamu malah ingin ke sana," cecar Abbas tadi siang. Pria itu penasaran saat aku kebingungan tak bisa menghubungi istriku. "Nanti aku ceritakan kalau aku sudah memastikan." Aku salah percaya begitu saja pada Husniah, harusnya aku lebih protektif menjaganya. Terlepas dulu aku tak peduli padanya, dia masih istriku. Aku masih bisa memintanya kembali ke sini bukan malah membiarkan dia berkeliaran di luar sana. Sekarang kalau sudah begini aku harus bagaimana. Aku hanya bisa berharap dia baik-baik saja. Sampai tengah malam begini, nomornya masih tak bisa dihubungi. Pesanku pun tidak ada yang masuk ke ponselnya. ***Segera kuparkir mob
Selepas Ashar aku baru sampai, mendarat dengan selamat di depan rumah dengan halaman yang cukup luas itu. Rumah kampung yang khas tanpa pagar seperti halnya rumah-rumah di kota. Kuparkir mobil di bawah pohon mangga yang menjulang cukup tinggi. Aku membayangkan akan menemukan istriku itu sendiri dan kesepian seperti dulu saat kutinggalkan di kampus. Nyatanya rumahnya terlihat ramai dengan anak-anaknya yang memakai pakaian tertutup semua. Anak-anak perempuan dengan kerudung dan anak laki-laki dengan peci di kepalanya. Aku seperti melihat sebuah TPA, bukan rumah yang sepi tanpa penghuni. Rumah kedua orang tuanya tidak dijual meskipun tidak ada yang menempati sejak Husniah tinggal bersamaku. Mungkin saja sengaja tidak dijual dan digunakan anak-anak untuk mengaji. Aku memutuskan untuk tidak turun dari mobil, lagi pula mereka terlihat tidak terganggu sama sekali dengan kedatanganku. Baik Husniah maupun anak-anak itu, mereka terlihat tetap fokus mengantre di depan beberapa orang dewasa, s
"Mas, sekarang kita pengangguran." Ucapanku sukses membuat tangannya yang bergerilya dengan jahil mencoba mengenal anatomi tubuhku berhenti. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa dia takut tidak biasa membiayai anak-anaknya seperti kata Mbak Lita waktu itu. Padahal aku hanya ingin mengalihkan fokusnya."Aku minta maaf tiba-tiba berhenti dari tempat itu, tidak menghargai pengorbananmu." "Kamu bilang akan bercerita lain kali, ya sudahlah lupakan saja. Besok baru bercerita, atau saat kita kembali ke kota. Sekarang aku ingin tidur denganmu."Tidur katanya, sejak kapan orang tidur aktif seperti ini. "Aku senang tinggal di sini, banyak anak-anak. Bersama mereka hidup terasa menyenangkan tanpa beban." "Kita bisa punya anak sendiri di kota, mau berapa? Satu, tiga, lima, sembilan. Aku sanggup berapapun kamu minta," ucapnya tanpa beban. Mentang-mentang kuijinkan dia menyentuhku lantas mulutnya bicara tanpa rem juga.Tangannya mulai usil lagi, bukankah harusnya tidak begini. Ah, dia bilang
"Kamu seperti ayahmu, dia penyayang, sabar dan baik hati. Selalu telaten menjaga orang sakit. Kakek rindu padanya, sudah sangat lama kami berpisah. Entah kenapa tiba-tiba dia menghilang dari kehidupan kami." Lelaki dengan rambut hampir memutihkan semuanya itu berbicara sambil menatap padaku. Dia seakan melihat seseorang yang dirindukannya. Sudah beberapa hari ini aku tinggal bersamanya. Meskipun pagi hari aku tetap bekerja di kantor, namun setelah pulang kerja aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar ini. Menemani orang tua dari ayahku, yang baru saja aku temui setelah aku dewasa. Kakek orang yang baik, dia juga terlihat pengertian dan penyayang. Selain itu dia juga terlihat cerdas, dan berwawasan luas. Meskipun dalam keadaan sakit seperti ini, dia gemar berdiskusi denganku. Banyak bercerita saat kami bersama, mengenang masa kecil ayah dan aku juga menceritakan masa-masa saat ayah sudah menjadi seorang bapak buatku. Masa dimana saat itu terlewatkan oleh pria tua yang lebih banya
"Aku turun ya," pamitku pada Husniah.Sebentar lagi sudah waktunya jam kerja, tidak mungkin juga aku berbuat semauku meskipun istriku orang istimewa di sini. Bahkan aku malah menghawatirkan sesuatu dengan keistimewaannya.Husniah dan Wisnu, memintaku kembali ke kantor ini. Alasan Wisnu, karena belum ada penggantinya, aku rasa alasan ini mengada-ada saja. Orang berebut mencari pekerjaan, mana mungkin susah mencari pengganti. Kalau alasan Husniah, dia ingin aku tetap bersamanya di tempat ini. Meskipun beda ruangan, tapi bisa ketemu saat makan siang dan bisa pulang pergi bersama. "Pengen ikut turun," rengek Husniah manja. Lah."Aku seperti berada di tempat yang tidak seharusnya," sambungnya sambil memegang pergelangan tanganku. Persis seperti anak TK yang hendak ditinggal orang tuanya pertama kali di kelas. "Kalau ada apa-apa, sebut namaku tiga kali. Aku akan langsung datang ke sini." Sebuah pukulan mendarat di dadaku sebagai reaksi dari ucapanku. Ah, aku mulai menyukai pukulan-pukul
Hingga kini aku memang tidak pernah secara langsung mendengar seperti apa yang dibicarakan Abbas. Tapi aku tahu, mereka menggunjing di belakangku. Itu sangat terlihat dari tatapan mereka saat melihatku, berbisik-bisik saat aku melintas, tidak karyawan laki-laki maupun wanita, semua terlihat seperti itu. Aku seakan pria yang tidak punya kharisma, pecundang tak tau malu yang mengincar harta dan hendak menumpang hidup pada istrinya. Jika bukan karena Husniah, ingin rasanya aku keluar lagi dari kantor ini. Lebih baik aku menjadi tukang bunga daripada di pandang sebelah mata oleh rekan-rekan kerja. Hanya Abbas yang tidak seperti itu, karena dia sudah tahu segalanya sejak awal. "Maafkan aku ya, Mas. Aku terlalu sibuk hingga mengabaikanmu beberapa minggu ini. Bahkan aku tidak tahu kamu dalam masalah. Pak Abbas yang mengatakan padaku semuanya saat tadi dia menyerahkan data karyawan baru padaku," tutur Husniah panjang lebar saat kami bersama dalam perjalanan pulang kerja. "Untuk apa kamu mi
"Kamu jadi ikut digunjingkan," ucapku pada Husniah saat lift kembali membawa kami ke atas. "Harusnya kamu tadi gak ikut makan di kantin, lebih baik seperti biasanya saja," sambungku, menyesali kebersamaan kami hari ini. Mungkin mereka menggunjing Husniah karena melihatnya tadi makan bersama denganku. Jika kami terlihat sendiri-sendiri, orang akan beranggapan hanya aku saja yang masih ingin pernikahan kami bertahan karena apa yang mereka pikirkan, harta. "Kamu menyesal makan bersamaku, Mas?"Gadis itu seakan tak suka dengan perkataanku barusan."Bukan begitu, Sayang. Aku hanya tak ingin kamu ikut jadi bahan omongan.""Selama ini, kamu sering mendengar mereka membicarakan kamu, Mas?" Husniah kembali bertanya. "Enggak, aku tak pernah mendengarnya secara langsung.""Bohong!""Bener, Nia. Aku memang tidak pernah memergoki mereka membicarakanku seperti tadi. Besok-besok, gak usah makan di kantin lagi.""Ngapain dengerin ocehan mereka, Mas. Kita ini hidup bukan untuk menyenangkan orang l
Perlahan-lahan rumor itu mulai menghilang, entah mereka sendiri yang bosan bergunjing di belakangku atau karena kemesraan yang selalu ditampakkan oleh Husniah padaku saat kami hendak pulang atau sedang makan siang. Kami benar-benar jadi karyawan yang istimewa, bisa berduaan di luar jam kerja sebagai pasangan suami istri. Husniah yang memang memiliki kuasa dan aku yang menutup telinga. Aku berniat untuk memenuhi semua kenangannya tentang Ayahnya sebagai ganti dari semua yang dia lakukan akhir-akhir ini.Wisnu maupun Papanya juga tak terlalu banyak ikut campur dengan utusan pribadi kami. Malah sepertinya pria paruh baya itu mulai membuka diri. Mengundang kami-aku dan Husniah- makan malam di rumahnya, lebih tepatnya rumah orang tuanya, kakeknya Husniah.Malam ini aku dan Husniah datang ke rumah mewah tersebut untuk memenuhi undangan. Rumah dua lantai yang terlihat megah menjulang, di dominasi oleh warna putih dan gold dibeberapa bagian. Pagar tinggi dan tak kalah megah mengelilingi rumah