Selepas Ashar aku baru sampai, mendarat dengan selamat di depan rumah dengan halaman yang cukup luas itu. Rumah kampung yang khas tanpa pagar seperti halnya rumah-rumah di kota. Kuparkir mobil di bawah pohon mangga yang menjulang cukup tinggi. Aku membayangkan akan menemukan istriku itu sendiri dan kesepian seperti dulu saat kutinggalkan di kampus. Nyatanya rumahnya terlihat ramai dengan anak-anaknya yang memakai pakaian tertutup semua. Anak-anak perempuan dengan kerudung dan anak laki-laki dengan peci di kepalanya. Aku seperti melihat sebuah TPA, bukan rumah yang sepi tanpa penghuni. Rumah kedua orang tuanya tidak dijual meskipun tidak ada yang menempati sejak Husniah tinggal bersamaku. Mungkin saja sengaja tidak dijual dan digunakan anak-anak untuk mengaji. Aku memutuskan untuk tidak turun dari mobil, lagi pula mereka terlihat tidak terganggu sama sekali dengan kedatanganku. Baik Husniah maupun anak-anak itu, mereka terlihat tetap fokus mengantre di depan beberapa orang dewasa, s
"Mas, sekarang kita pengangguran." Ucapanku sukses membuat tangannya yang bergerilya dengan jahil mencoba mengenal anatomi tubuhku berhenti. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa dia takut tidak biasa membiayai anak-anaknya seperti kata Mbak Lita waktu itu. Padahal aku hanya ingin mengalihkan fokusnya."Aku minta maaf tiba-tiba berhenti dari tempat itu, tidak menghargai pengorbananmu." "Kamu bilang akan bercerita lain kali, ya sudahlah lupakan saja. Besok baru bercerita, atau saat kita kembali ke kota. Sekarang aku ingin tidur denganmu."Tidur katanya, sejak kapan orang tidur aktif seperti ini. "Aku senang tinggal di sini, banyak anak-anak. Bersama mereka hidup terasa menyenangkan tanpa beban." "Kita bisa punya anak sendiri di kota, mau berapa? Satu, tiga, lima, sembilan. Aku sanggup berapapun kamu minta," ucapnya tanpa beban. Mentang-mentang kuijinkan dia menyentuhku lantas mulutnya bicara tanpa rem juga.Tangannya mulai usil lagi, bukankah harusnya tidak begini. Ah, dia bilang
"Kamu seperti ayahmu, dia penyayang, sabar dan baik hati. Selalu telaten menjaga orang sakit. Kakek rindu padanya, sudah sangat lama kami berpisah. Entah kenapa tiba-tiba dia menghilang dari kehidupan kami." Lelaki dengan rambut hampir memutihkan semuanya itu berbicara sambil menatap padaku. Dia seakan melihat seseorang yang dirindukannya. Sudah beberapa hari ini aku tinggal bersamanya. Meskipun pagi hari aku tetap bekerja di kantor, namun setelah pulang kerja aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar ini. Menemani orang tua dari ayahku, yang baru saja aku temui setelah aku dewasa. Kakek orang yang baik, dia juga terlihat pengertian dan penyayang. Selain itu dia juga terlihat cerdas, dan berwawasan luas. Meskipun dalam keadaan sakit seperti ini, dia gemar berdiskusi denganku. Banyak bercerita saat kami bersama, mengenang masa kecil ayah dan aku juga menceritakan masa-masa saat ayah sudah menjadi seorang bapak buatku. Masa dimana saat itu terlewatkan oleh pria tua yang lebih banya
"Aku turun ya," pamitku pada Husniah.Sebentar lagi sudah waktunya jam kerja, tidak mungkin juga aku berbuat semauku meskipun istriku orang istimewa di sini. Bahkan aku malah menghawatirkan sesuatu dengan keistimewaannya.Husniah dan Wisnu, memintaku kembali ke kantor ini. Alasan Wisnu, karena belum ada penggantinya, aku rasa alasan ini mengada-ada saja. Orang berebut mencari pekerjaan, mana mungkin susah mencari pengganti. Kalau alasan Husniah, dia ingin aku tetap bersamanya di tempat ini. Meskipun beda ruangan, tapi bisa ketemu saat makan siang dan bisa pulang pergi bersama. "Pengen ikut turun," rengek Husniah manja. Lah."Aku seperti berada di tempat yang tidak seharusnya," sambungnya sambil memegang pergelangan tanganku. Persis seperti anak TK yang hendak ditinggal orang tuanya pertama kali di kelas. "Kalau ada apa-apa, sebut namaku tiga kali. Aku akan langsung datang ke sini." Sebuah pukulan mendarat di dadaku sebagai reaksi dari ucapanku. Ah, aku mulai menyukai pukulan-pukul
Hingga kini aku memang tidak pernah secara langsung mendengar seperti apa yang dibicarakan Abbas. Tapi aku tahu, mereka menggunjing di belakangku. Itu sangat terlihat dari tatapan mereka saat melihatku, berbisik-bisik saat aku melintas, tidak karyawan laki-laki maupun wanita, semua terlihat seperti itu. Aku seakan pria yang tidak punya kharisma, pecundang tak tau malu yang mengincar harta dan hendak menumpang hidup pada istrinya. Jika bukan karena Husniah, ingin rasanya aku keluar lagi dari kantor ini. Lebih baik aku menjadi tukang bunga daripada di pandang sebelah mata oleh rekan-rekan kerja. Hanya Abbas yang tidak seperti itu, karena dia sudah tahu segalanya sejak awal. "Maafkan aku ya, Mas. Aku terlalu sibuk hingga mengabaikanmu beberapa minggu ini. Bahkan aku tidak tahu kamu dalam masalah. Pak Abbas yang mengatakan padaku semuanya saat tadi dia menyerahkan data karyawan baru padaku," tutur Husniah panjang lebar saat kami bersama dalam perjalanan pulang kerja. "Untuk apa kamu mi
"Kamu jadi ikut digunjingkan," ucapku pada Husniah saat lift kembali membawa kami ke atas. "Harusnya kamu tadi gak ikut makan di kantin, lebih baik seperti biasanya saja," sambungku, menyesali kebersamaan kami hari ini. Mungkin mereka menggunjing Husniah karena melihatnya tadi makan bersama denganku. Jika kami terlihat sendiri-sendiri, orang akan beranggapan hanya aku saja yang masih ingin pernikahan kami bertahan karena apa yang mereka pikirkan, harta. "Kamu menyesal makan bersamaku, Mas?"Gadis itu seakan tak suka dengan perkataanku barusan."Bukan begitu, Sayang. Aku hanya tak ingin kamu ikut jadi bahan omongan.""Selama ini, kamu sering mendengar mereka membicarakan kamu, Mas?" Husniah kembali bertanya. "Enggak, aku tak pernah mendengarnya secara langsung.""Bohong!""Bener, Nia. Aku memang tidak pernah memergoki mereka membicarakanku seperti tadi. Besok-besok, gak usah makan di kantin lagi.""Ngapain dengerin ocehan mereka, Mas. Kita ini hidup bukan untuk menyenangkan orang l
Perlahan-lahan rumor itu mulai menghilang, entah mereka sendiri yang bosan bergunjing di belakangku atau karena kemesraan yang selalu ditampakkan oleh Husniah padaku saat kami hendak pulang atau sedang makan siang. Kami benar-benar jadi karyawan yang istimewa, bisa berduaan di luar jam kerja sebagai pasangan suami istri. Husniah yang memang memiliki kuasa dan aku yang menutup telinga. Aku berniat untuk memenuhi semua kenangannya tentang Ayahnya sebagai ganti dari semua yang dia lakukan akhir-akhir ini.Wisnu maupun Papanya juga tak terlalu banyak ikut campur dengan utusan pribadi kami. Malah sepertinya pria paruh baya itu mulai membuka diri. Mengundang kami-aku dan Husniah- makan malam di rumahnya, lebih tepatnya rumah orang tuanya, kakeknya Husniah.Malam ini aku dan Husniah datang ke rumah mewah tersebut untuk memenuhi undangan. Rumah dua lantai yang terlihat megah menjulang, di dominasi oleh warna putih dan gold dibeberapa bagian. Pagar tinggi dan tak kalah megah mengelilingi rumah
"Saya terima nikah dan kawinnya Husniah ...."Arasy berguncang, karena beratnya perjanjian yang dibuat olehnya di depan Allah, dengan disaksikan para malaikat dan manusia. Pria itu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak atas istri dan anak-anaknya. Detik itu juga tumbuh rasa cintaku padanya meskipun aku tidak mengenalnya. Cinta yang tak kumengerti, yang aku tahu, tanggung jawab yang ada ditangan ayah berpindah ke tangannya. Dan aku berharap dia selembut dan sebaik ayahku saat memperlakukanku nanti.Aku pikir dia menikahiku karena ingin, suka rela dan akan menjagaku seperti kata Bunda, nyatanya itu semua hanya anganku saja. Dia tidak menyukaiku, tapi kenapa hatiku tetap terpaut padanya, hanya karena dia lelaki pertama yang menghalalkanku, yang mungkin akan dekat denganku setelah ayah. Dengan bodohnya aku tetap tinggal bersamanya meskipun dia tak pernah menganggapku ada. Mulutku selalu mengatakan akan pergi tapi hatiku menginginkan sebaliknya. Aku bersikeras tak ingin saling
Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg
Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel
Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat
Pesona Istri Season 3 "Nggak gitu juga kali konsepnya Kak Yuan," ucap Queena dengan nada sebal.Sepertinya dia tak suka dengan perkataan yang dilontarkan oleh Yuanita barusan, siapa yang suka dengan perkataan seperti itu. Aku pun tak suka, Queena adalah istriku tak ada yang boleh memilikinya selain diriku. "Aku cuma bercanda mengimbangi perkataan Liam barusan," sahut Yuanita, membela diri.Dua wanita ini nampaknya sulit akur sekarang, Queena yang cemburu pada Yuanita karena dulu kami pernah dekat, dan Yuanita yang cemburu pada Queena karena Liam begitu perhatian pada istriku. Kami berbasa-basi beberapa saat, kurang lebih hanya empat puluh lima menit. Karena kami harus segera pergi ke restoran. William pergi sendiri mengendarai mobilnya, sedangkan aku dan Yuanita akan berkendara di mobil yang sama seperti yang kami katakan tadi. "Aku pergi dulu ya, Sayang," pamitku pada Queena. "Kok Kak Yuanita ikut dengan Abang?" tanya Queena, seperti tak suka. "Liam akan langsung ke kantornya,
Pesona Istri Season 3Aku sudah mulai aktif kembali bekerja di restoran bersama dengan Yuanita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu lagi, bagaimana hubungan dia dengan William. Kulihat mereka baik-baik saja namun hingga detik ini sepertinya tak ada kemajuan dalam hubungan mereka entah kapan mereka akan memutuskan untuk menikah. Biarlah itu bukan urusanku, mereka adalah dua orang dewasa yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. "Bagaimana keadaan Queena?" Tanya William saat aku hendak pulang. "Alhamdulillah sehat dan baik," jawabku. Sejak kejadian Yuanita melihatnya memeluk Queena dan dia marah-marah tidak jelas itu, William lebih banyak menahan diri. Dia tak lagi ingin dekat dengan Queena. Ditambah lagi aku dan istriku pergi ke luar kota, pindah ke rumah Mama dan Papa dalam beberapa bulan. Kupikir, membuat kedekatan Queena dan William tak lagi seperti dulu. "Mau ke sana, kita tengok Mama dan bayinya." Yuanita datang menghampiri kami dengan sebuah usulan. "Kamu mau?" Wil
Pesona Istri Season 3 Aku terbangun saat terdengar suara azan dari ponselku. Malam tadi kami masih tidur dengan nyenyak, Queena juga tidak membangunkanku. Bayi kami pun tidak di bawa ke sini. Perawat bilang, bayi yang baru lahir tidak langsung lapar dan ingin menyusu dari mamanya saat kutanya apa bayi kami tak kelaparan. Aku segera bangun, membersihkan diri dan sholat subuh, setelah itu membangunkan Queena. "Sayang, mau mandi gak?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Sudah jam berapa?" Queena bertanya. "Jam lima lewat." Queena terlihat susah payah saat ingin bangun dari posisinya. Tentu saja, pasti dia masih kesakitan di bagian intimnya. "Ayo abang bopong," kataku sembari mengambil posisi hendak mengangkat tubuhnya. Queena menatap padaku. "Iya deh," sahutnya sambil memamerkan barisan giginya. Kenapa tak minta tolong saja dari tadi. Dengan hati-hati, kuangkat tubuhnya dan kubawa ke kamar mandi. "Mau dimandiin?" tanyaku. "Apaan sih Abang, aku bisa mandi sendiri." Dia menolak
Pesona Istri Season 3 POV Nata Wajah lelah namun tampak bahagia itu tersenyum bahagia saat menatapku. Aku baru saja mengazani bayi kami yang ada di ruang bayi. Sedangkan Queena masih berada di ruang bersalin tadi saat aku tinggalkan untuk melihat bayi kami. Queena melahirkan tanpa persiapan, kami sedang asyik jalan-jalan di mall tapi tiba-tiba dia pecah ketuban. Lalu saat di bawa ke rumah sakit ternyata sudah pembukaan 4 dan semua berjalan dengan cepat. "Bukannya anak pertama katanya perlu lama kontraksi untuk pembukaan." Itu yang aku tanyakan pada dokter saat dikatakan Queena sudah siap melahirkan. "Aku udah mulas dari kemarin, Abang. Tapi aku tahan, makanya tadi sengaja aku ajak Abang jalan-jalan biar rasa sakitnya teralihkan." Ah, Queena, ada-ada saja. Kuat juga dia menahan rasa sakit itu. Tapi mungkin aku dan kedua mertuaku akan jauh lebih khawatir jika tahi sejak kemarin dia mulas tapi bayi baru lahir hari ini. Kembali kukecup kening Queena yang sudah berada di atas kursi
Pesona Istri Season 3POV Hulya Pengantin baru, rumah baru. Begitu pulang dari hotel, aku hanya menginap di rumah Papa dan Mama dua malam. Lalu hanya semalam berada di rumah mertuaku, kemudian suamiku langsung membawaku pergi ke rumah yang dia inginkan untuk menjadi tempat tinggal kami. Sejauh ini, keluarga mertuaku semuanya baik dan sayang padaku. Termasuk adik iparku yang merupakan adik Mas Aslam. Mereka hanya dua bersaudara. Pantas saja kalau suamiku itu begitu memanjakan adik perempuannya. Aku hanya bisa menurut saat Mas Aslam mengajakku tinggal berdua saja, dia memilih rumah minimalis modern untuk menjadi tempat tinggal kami. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, di rumah yang tak terlalu luas sehingga aku bisa selalu melihat keberadaanmu setiap saat. Selain itu, agar kamu tak kesepian jika sendiri karena rumah tak terlalu besar." Itu yang dikatakan Mas Asalm saat pertama kali kami menginjakkan kaki di rumah ini. Terhitung sudah satu minggu kami tinggal
Pesona Istri Season 3 Suasana pagi terasa mulai ramai oleh orang-orang yang hendak pergi bekerja. Dengan senyum lebar, aku menanti kedatangan moda transportasi umum yang sangat ingin aku coba, kereta listrik. Aku dan Mas Aslam akan naik kendaraan umum itu berbarengan dengan orang-orang yang berangkat ke kantor. "Senangnya akhirnya kita bisa naik kereta ini bareng," ucapku seraya menatap ke arah lintasan kereta. Menunggu alat transportasi tersebut datang. "Kenapa harus di jam segini sih, lihat ramai sekali. Kita ini baru menikah, harusnya bersantai di hotel menikmati kebersamaan bukannya malah ikutan berdesakan dengan para karyawan," omel Mas Aslam.Sebenarnya dia tak setuju aku melakukan ini saat ini, khawatir masih lelah setelah kemarin kami sibuk di acara pernikahan. "Ini letak serunya, ikutan berdesakan dengan penumpang lainnya. Kalau sepi mana seru, biar tahu bagaimana hidup sulit," jawabku sekenanya. Mas Aslam hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. "Memangnya gak