Perlahan-lahan rumor itu mulai menghilang, entah mereka sendiri yang bosan bergunjing di belakangku atau karena kemesraan yang selalu ditampakkan oleh Husniah padaku saat kami hendak pulang atau sedang makan siang. Kami benar-benar jadi karyawan yang istimewa, bisa berduaan di luar jam kerja sebagai pasangan suami istri. Husniah yang memang memiliki kuasa dan aku yang menutup telinga. Aku berniat untuk memenuhi semua kenangannya tentang Ayahnya sebagai ganti dari semua yang dia lakukan akhir-akhir ini.Wisnu maupun Papanya juga tak terlalu banyak ikut campur dengan utusan pribadi kami. Malah sepertinya pria paruh baya itu mulai membuka diri. Mengundang kami-aku dan Husniah- makan malam di rumahnya, lebih tepatnya rumah orang tuanya, kakeknya Husniah.Malam ini aku dan Husniah datang ke rumah mewah tersebut untuk memenuhi undangan. Rumah dua lantai yang terlihat megah menjulang, di dominasi oleh warna putih dan gold dibeberapa bagian. Pagar tinggi dan tak kalah megah mengelilingi rumah
"Saya terima nikah dan kawinnya Husniah ...."Arasy berguncang, karena beratnya perjanjian yang dibuat olehnya di depan Allah, dengan disaksikan para malaikat dan manusia. Pria itu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak atas istri dan anak-anaknya. Detik itu juga tumbuh rasa cintaku padanya meskipun aku tidak mengenalnya. Cinta yang tak kumengerti, yang aku tahu, tanggung jawab yang ada ditangan ayah berpindah ke tangannya. Dan aku berharap dia selembut dan sebaik ayahku saat memperlakukanku nanti.Aku pikir dia menikahiku karena ingin, suka rela dan akan menjagaku seperti kata Bunda, nyatanya itu semua hanya anganku saja. Dia tidak menyukaiku, tapi kenapa hatiku tetap terpaut padanya, hanya karena dia lelaki pertama yang menghalalkanku, yang mungkin akan dekat denganku setelah ayah. Dengan bodohnya aku tetap tinggal bersamanya meskipun dia tak pernah menganggapku ada. Mulutku selalu mengatakan akan pergi tapi hatiku menginginkan sebaliknya. Aku bersikeras tak ingin saling
Pria itu tergeletak tak sadarkan diri di ruang ICU dengan beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Pada akhirnya, Kak Wisnu mau mengantarkan aku menemui Mas Hanan. Hanya sebentar aku berada di ruangan itu, dan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi padanya. Aku belum dapat penjelasan apapun sama sekali dari Kakak sepupuku itu, katanya dokter masih melakukan pemeriksaan dan observasi."Kita akan mengobatinya sampai dia sembuh lagi seperti sediakala," ucap Kak Wisnu menghiburku.Aku hanya diam di atas ranjang pasien dengan air mata terus mengalir. Andai saja Mas Hanan tidak mencoba melindungiku mungkin dia tidak akan terluka separah ini. Mungkin tubuhnya terbentur sana sini karena tidak menggunakan seat belt. Dia melepasnya saat mobil itu melaju tanpa kendali. Dasar bod0h. Kenapa dia melakukan itu, biar aku semakin terluka kalau dia benar-benar pergi.Aku sendiri tidak mendapatkan luka yang serius, hanya lecet dan goresan, juga shock berat pasca kecelakaan. Mobil itu menabrak pohon d
"Tanyalah pada Papamu, kenapa aku seperti ini. Tidak memiliki sopan santun padanya," sahutku, masih dengan penuh emosi.Kak Wisnu tampak mengalihkan pandangannya pada sang ayah, seolah meminta penjelasan."Kamu mengira aku yang menyebabkan kecelakaan ini?" tanya Om Candra tanpa basa-basi.Aku langsung menatap ke arah kakak dari ayahku tersebut. Dia seakan tidak ingin berpura-pura, dan langsung pada topiknya. "Itu benar?" Tanya Kak Wisnu padaku. "Iya," jawabku tanpa basa-basi. "Mas Hanan tidak pernah lalai menservis mobilnya, bagaimana tiba-tiba rem tidak berfungsi kalau bukan ada yang sengaja mensabotase. Kami tidak memiliki musuh sama sekali, hanya Om Candra yang patut kucurigai," sambungku menjelaskan letak kecurigaan itu."Apa alasannya kamu mencurigai Papa?" Aku terdiam, bingung hendak mengatakan apa. Haruskan aku katakan pada Kak Wisnu kalau Papanya pernah mengantarkanku ke kampung dan memintaku tinggal diam di sana. "Kamu gak curiga pada wanita yang dulu mengusir kami dari r
"Selamat pagi, Bu Nia," sapa Pak Abbas begitu aku memasuki ruangannya. Datang ke kantor pertama kali, tujuanku malah ruang kerja Mas Hanan. Aku ingin mengingat saat dia duduk dengan sehat di kursi itu."Pagi, Pak," sahutku sambil tersenyum. "Ada yang bisa dibantu?" Tanya Pak Abbas. "Tidak, Pak. Saya hanya ingin melihat meja kerja di mana dulu Mas Hanan bekerja." Kata Kak Wisnu sudah ada penggantinya, aku hanya merindukan tempat melihat tempat itu. Berharap suatu saat nanti suamiku akan kembali sehat dan bekerja. Tak mau membuat suasana ruangan tak nyaman, aku memilih kembali ke tempat di mana seharusnya aku berada. Tak jauh dari pintu masuk, aku bertemu dengan Mbak Lita. Wanita itu berjalan ke arahku dan menyapa. "Bagaimana kabar Mas Hanan?" "Masih begitu-begitu saja, Mbak," sahutku apa adanya. Sebenarnya aku malas meladeni wanita ini, hanya saja aku tak ingin dianggap sombong jika mengabaikannya di kantor ini. "Kasian ya Mas Hanan. Mungkin harusnya bukan dia yang kecelakaan
Bangunan mungil yang berada di bagian paling belakang, terpisah dengan rumah utama itu di jaga oleh seorang pria dengan perawakan tegap, seperti bodyguard yang dulu pernah kulihat di televisi. "Enak betul jadi tawanan Kak Wisnu, disimpan di rumah, bukan di gudang atau rumah kosong seperti di film-film laga," celetukku begitu kami sampai di tempat Kak Wisnu menahan pria yang menyebabkan kami kecelakaan. Bangunan itu memang terlihat terawat, bukan bangunan tua dan kotor tempat menyekap tawanan. Bangunan itu berada di bagian belakang rumah mewah yang di tempati Om Candra sekeluarga.Aku memintanya untuk bertemu dengan pria itu, ingin bertanya padanya. Memastikan jika dia salah sasaran atau memang dibayar orang. Gara-gara ucapan Mbak Lita pagi itu, membuatku jadi mencurigainya juga. Apa dia masih ingin menyingkirkanku?"Kamu juga penjahat, pencuri. Tapi mau kusimpan di hatiku, tak bisa," sahut Kak Wisnu. Aku mengerucutkan bibir mendengar kalimatnya. Dia terus saja mengatakan hal-hal ab
"Kamu masih sangat muda, masih bisa membuat lagi. Ah! Suamimu sudah tua, tapi tenang saja kakek-kakek pun bisa menabur benih, beda dengan wanita. Ada masanya wanita tak lagi berproduksi. Sekarang suamimu masih keenakan tidur, nanti aku akan--" "Kak ...." Dengan linangan air mata aku menyela ucapnya yang tanpa jeda itu. Aku tahu Kak Wisnu sedang berusaha menghiburku. Saat tadi dia mengendongku dan membawaku ke dalam mobil, dia berteriak panik karena tangannya basah oleh cairan berwarna merah. Kakak sepupuku itu mengira aku terluka. Ternyata darah itu berasal dari bagian intimku. Kupikir itu hanya darah haid biasa, ternyata ada kehidupan baru di dalam rahimku. Tapi karena benturan cukup keras terjadi padaku, dia tidak tertolong, aku keguguran. Aku tidak menyadari kehamilan ini. Entah sejak kapan aku mulai mengandung. Sejak kecelakaan, aku tak memperhatikan diriku, tak mengingat jadwal menstruasi, bahkan tak ingat sudah tidak datang bulan lagi. "Kamu diapakan wanita itu?" Tanya Kak
Kubuka pintu kamarku setelah dokter memberikan ijin. Dokter tadi bilang, Mas Hanan sudah sadar, semua alat vitalnya berfungsi dengan baik, hanya saja tidak serta merta suamiku itu akan bangun dari tempat tidur, berbicara dengan lancar dan melakukan aktifitas layaknya orang sehat. Kesadaran dan kesembuhan pasca koma terjadi secara bertahap. Pemilik tubuh itu menoleh padaku saat aku membuka pintu, matanya terbuka, ada kehidupan di sana. Kebahagianku meluap, menutupi semua rasa sakit yang sesaat lalu sempat bertahta di hatiku. Aku menghambur padanya, memeluk tubuh itu dengan erat. "Aku rindu," bisikku. "Maaf." Satu kata terdengar di telingaku. Terdengar begitu merdu meskipun hanya kata maaf. Lebih merdu, lebih menyenangkan, dan begitu berharga dari semua kalimat cinta yang pernah dia ucapkan. Suara itu yang tak pernah kudengar sama sekali selama beberapa minggu ini. "Terima kasih sudah kembali dan bertahan," ucapku sambil terisak. Bukan karena kesedihan, tapi karena rasa bahagia. K