Semua Bab Tukang Bakso Jadi Miliarder: Bab 41 - Bab 50

97 Bab

41-Rasa Lapar

Rakit kayu Korot yang sangat sederhana itu melaju perlahan di atas aliran sungai yang tenang. Okok Keang dan rombongannya duduk di atasnya, sebagian bersandar pada kayu gelondongan yang menjadi dasar rakit.Mata mereka terpaku pada hilir sungai, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan manusia. Namun, yang terlihat hanya hutan lebat dan pepohonan tinggi yang membentuk dinding alami di kedua sisi sungai.Angin sore berhembus lembut, membawa serta aroma dedaunan basah dan tanah lembab. Cahaya keemasan dari matahari yang hampir tenggelam menyelinap melalui celah dedaunan, menciptakan bayangan panjang di permukaan air. Keindahan alam ini bertolak belakang dengan kondisi rombongan yang kelelahan dan lapar."Kita sudah berjam-jam di sungai ini," keluh seorang pria kurus dengan kulit yang gelap terbakar matahari. Ia memegang perutnya yang kosong sambil menghela napas berat."Sabarlah, Mara," ujar Okok Keang, pemimpin mereka. "Kita pasti akan menemukan sesuatu."Mara menatap Okok dengan mata
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-26
Baca selengkapnya

42-Bertemu Lagi

Hari sudah menjelang sore, ketika rombongan Okok Keang ditemukan oleh laki-laki misterius itu. Mereka mengikutinya dengan harapan di beri makan, karena mereka sangat lapar. Desy yang matanya sangat awas tertegun ketika matanya menangkap sosok yang begitu familiar. Hatinya mencelos. Langkahnya terhenti.Tidak mungkin... Itu... Genadie?Sekejap, pikirannya berusaha mencari alasan. Mungkin hanya seseorang yang mirip. Namun, postur itu, cara berdiri itu, bahkan jaket hitam favoritnya yang dulu sering dipakainya, semua terlalu cocok untuk sekadar kebetulan.Detik berlalu seperti tetesan air yang jatuh perlahan dari ujung daun. Jantung Desy berdebar semakin kencang, dan ketika lelaki itu menoleh sedikit, memperlihatkan garis wajahnya yang lembut namun tegas, keyakinan itu menyeruak.Itu benar-benar Genadie!Jadi orang mereka mereka cari itu sudah ketemu di sini, jauh dari peradaban. Sesuatu yang terasa mustahil.Tanpa sempat berpikir panjang, tubuhnya bergerak sendiri. Kakinya melangkah ce
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-27
Baca selengkapnya

43-Sengaja Mengasingkan Diri

Di dalam pondok kayu yang sederhana, cahaya lampu minyak berpendar lembut, melemparkan bayangan samar di dinding. Di luar, malam mulai menyelimuti ladang yang luas, hanya ditemani suara jangkrik dan desir angin yang menyapu dedaunan.Di dalam ruangan kecil itu, sekelompok orang duduk bersila mengelilingi hidangan sederhana di atas tikar anyaman. Nasi yang sebenarnya hanya jatah tiga orang, tetapi sayurnya yang berlimpah.Uap hangat dari nasi yang hanya seporsi kecil melayang di udara, bercampur dengan aroma ikan asap dan sayuran ladang dan sambal cabai yang memenuhi piring-piring kayu. Meski hidangan ini tampak sederhana, setiap suapan terasa begitu memuaskan setelah seharian menempuh perjalanan panjang.“Rasanya seperti kembali ke masa kecil,” ujar Mara, seorang pria berusia empat puluhan dengan wajah lelah, tetapi matanya bersinar saat merasakan kenikmatan makanan itu. “Dulu nenek saya sering memasak seperti ini.”Hovek, sang tuan rumah, tersenyum kecil. Pria itu tampak lebih muda d
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-28
Baca selengkapnya

44-Hutan Pengayau

Malam itu, rombongan Okok Keang beristirahat di pondok Hovek yang rupanya terletak dekat sungai kecil. Airnya jernih, mengalir tenang, membisikkan lagu alam yang menenangkan.Namun, ketenangan itu tidak serta-merta mengusir keresahan dalam hati Okok Keang.Ia menatap Hovek, yang duduk bersandar pada salah satu tiang pondoknya yang terbuat dari kayu bulat."Kau bilang pondok ladangmu hanya dua hari perjalanan desa terdekat. Mengapa kamu malah memilih untuk tinggal jauh dari peradaban?" tanya Okok Keang, suaranya terdengar sangat penasaran.Hovek tersenyum tipis, matanya menerawang ke kejauhan. "Aku tidak suka melihat kelakuan manusia yang serakah, suka menipu dan munafik, tetapi mengatas-namakan agama."Salah satu murid, seorang pemuda bernama Yuni, mengernyitkan dahi. "Terus, kalau kamu sakit bagaimana?"Hovek tertawa pendek, suaranya seperti angin yang berdesir di antara dedaunan. "Itu jangan dipikirkan. Manusia itu suatu saat pasti mati, jadi untuk apa dijadikan beban pikiran?"Okok
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-28
Baca selengkapnya

45-Pilihan Lain Daripada Yang Lain

Sambil tersenyum, mereka berjalan keluar dari kompleks ladang Hovek. Dia juga ikut pergi, karena selain pondok ladangnya tidak aman lagi, dia juga menjadi penunjuk jalan bagi mereka.Angin pagi berembus lembut, membawa aroma embun dan tanah basah ke serambi pondok Hovek. Di sekelilingnya, hamparan ladang yang tertata rapi tampak subur, dihiasi dengan tanaman padi yang menguning.Hovek berdiri dengan tangan di pinggang, memandang ladang kecilnya dengan ekspresi sedih karena sebentar lagi merekaa meninggalkannya.Tadi pagi-pagi sekali Okok Keang dan rombongannya bersama Ghnadie dan Hovek mulai berkemas. Okok Keang mengangkat ranselnya, sementara Desy membantu menyiapkan wadah untuk menyimpan bekal perjalanan. Mereka sudah menghabiskan tiga hari di pondok ini, dan kini tiba waktunya untuk melanjutkan perjalanan.“Aku masih tidak percaya kau memilih hidup seperti ini, Hovek,” kata Ghenadie, menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar kayu. “Kita semua dulu bercita-cita menjadi sesuatu yan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-28
Baca selengkapnya

46-Sampai Kampung Terdekat

Langkah kaki mereka terus menyusuri jalur setapak yang tertutup dedaunan kering. Rombongan Okok Keang bergerak perlahan, menyatu dengan bayangan pepohonan hutan yang menjulang tinggi. Cahaya matahari sore menembus sela-sela kanopi, menciptakan corak keemasan yang menari di atas tanah lembap.Okok Keang berjalan paling depan, matanya tajam meneliti setiap jengkal tanah yang mereka lalui. Di belakangnya, Desy menarik napas panjang, bahunya turun naik menahan lelah.Ghenadie dan Hovek berjalan berdampingan, sesekali melontarkan gurauan untuk menghibur diri. Karmizi membawa sebilah parang di pinggangnya, siap digunakan jika semak belukar menghalangi jalan.Mara, Yudi, dan Yuni mengikuti dengan langkah berat, sedangkan beberapa anggota lain berusaha tetap terjaga meski kelelahan mendera.Mereka telah berjalan seharian penuh tanpa menemukan pondok atau tempat beristirahat yang layak. Ketika matahari mulai merunduk di balik pepohonan, Okok Keang mengangkat tangannya memberi isyarat untuk ber
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-28
Baca selengkapnya

47-Di Desa Hyiang

Malam belum terlalu larut ketika rombongan Okok Keang tiba di kampung Hyiang. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka bisa merasakan tanah keras di bawah kaki mereka, bukan jalan berlumpur yang penuh tantangan.Kampung ini terpencil, tersembunyi di balik perbukitan yang seolah melindunginya dari hiruk-pikuk dunia luar.Lampu-lampu rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin menyala redup, menggambarkan kehidupan yang sederhana namun penuh kehangatan. Beberapa penduduk desa keluar dari rumah mereka, menyambut kedatangan rombongan dengan tatapan ingin tahu.Meskipun jauh dari kota, ternyata beberapa warga sudah menggunakan internet melalui jaringan Starlink, sesuatu yang mengejutkan bagi Okok Keang."Jadi di sini nggak ada IndiHome?" tanya Bram, salah satu anggota rombongan, sambil mengusap keringat di lehernya.Seorang pria tua yang duduk di bangku kayu tersenyum. "Jaringan kabel belum sampai ke sini, Nak. Tapi kami sudah bisa internetan berkat Starlink-nya Elon Musk
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-29
Baca selengkapnya

48-Kubangan Lumpur

Hujan gerimis mengguyur tanah berlumpur yang semakin dalam, seolah menguji batas kesabaran mereka. Mobil pertama bergerak pelan, roda belakangnya nyaris terpelanting saat melintasi lubang pertama.Tanah kuning melekat seperti perangkap, mengisap setiap putaran ban dengan rakus. Hanya satu kilometer dari Kampung Hyiang, dan jalan negara selebar empat meter itu sudah berubah menjadi medan licin, berlubang, dan bertingkat, seolah alam sengaja menertawakan usaha manusia untuk menaklukkannya.Di dalam kabin, Burhan mencengkeram setir hingga buku-buku jarinya memucat. "Ini baru awal," gumannya, matanya tak lepas dari jalur berlumpur di depan.Desy meremas jendela, "Kok baru mulai sudah begini? Ini beneran bisa dilewatin?"Ghenadie berkeringat dingin, "Kalau tidak, kita sudah mati sejak tadi."Okok Keang menghela napas, "Diam saja anak-anak, Orng kampung hanya punya jalan ini ke kota. Ini memang tidak mudah bagi yang pertama kali."Mobil kedua, yang dikemudikan oleh salah satu anggota rombon
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-29
Baca selengkapnya

49-Sopir Truk Yang Arogan

Tidak lama kemudian dari balik tikungan yang cukup jauh, terlihat sebuah truk besar melaju perlahan. Anggota rombongan merasa senang, sebab dia mustahil tidak mau menolong.Namun harapan tinggal harapan, ternyata sopir truk besar itu menolehpun tidak, dia terus melaju dan bahkan hampir menyenggol mobil mereka karena jalan memang sempit.Truk itu meninggalkan Okok Keang dan rombongannya dalam keputusasaan yang semakin dalam. Mereka berdiri kaku di dekat mobil yang masih terbenam lumpur, wajah mereka dipenuhi ekspresi campur aduk antara kemarahan, kekecewaan, dan kelelahan.“Kurang ajar! Orang macam apa yang bisa pura-pura buta begini?!” teriak Okok Keang sambil menendang genangan lumpur di dekat kakinya.“Truk sebesar itu, tidak mungkin sopirnya tidak melihat kita! Bahkan nyaris menyenggol mobil kita!” geram pak Karmizi, salah satu anggota rombongan yang sedari tadi memegang selalu siap membantu yang lain.Matahari semakin siang, angin berdesir melewati dedaunan yang basah. Mereka suda
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-29
Baca selengkapnya

50-Masak Dulu

50-Masak DuluDi bawah langit siang yang mulai panas, Okok Keang berdiri di tepi sungai kecil, tangannya bertolak pinggang sementara matanya mengamati sekeliling. Udara siang yang cukup panas membawa aroma daun basah dan tanah yang lembab, sementara suara gemericik air sungai berbaur dengan kicauan burung yang pulang ke sarang."Kita memasak dulu, perutku sudah mulai menaagih" kata Okok Keang dengan suara penuh semangat. "Ada yang cari daun pakis, ada yang menjala ikan, dan ada yang menyiapkan api. Kita bekerja sama supaya cepat."Burhan, yang memang dari awal ada membawa jala di dalam mobil, tersenyum tipis. "Aku urus ikan. Kalian jangan sampai bikin api dulu sebelum aku balik, biar kita bisa masak dengan ikan yang segar."Sementara Burhan melangkah menuju tepian yang lebih dalam, dua orang lainnya, Mara dan Yudi , berjalan menyusuri pinggiran sungai mencari daun pakis. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorotkan kilauan keemasan pada riak air, menciptakan suasana yang hampir mag
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-29
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
10
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status