Langkah kaki mereka terus menyusuri jalur setapak yang tertutup dedaunan kering. Rombongan Okok Keang bergerak perlahan, menyatu dengan bayangan pepohonan hutan yang menjulang tinggi. Cahaya matahari sore menembus sela-sela kanopi, menciptakan corak keemasan yang menari di atas tanah lembap.Okok Keang berjalan paling depan, matanya tajam meneliti setiap jengkal tanah yang mereka lalui. Di belakangnya, Desy menarik napas panjang, bahunya turun naik menahan lelah.Ghenadie dan Hovek berjalan berdampingan, sesekali melontarkan gurauan untuk menghibur diri. Karmizi membawa sebilah parang di pinggangnya, siap digunakan jika semak belukar menghalangi jalan.Mara, Yudi, dan Yuni mengikuti dengan langkah berat, sedangkan beberapa anggota lain berusaha tetap terjaga meski kelelahan mendera.Mereka telah berjalan seharian penuh tanpa menemukan pondok atau tempat beristirahat yang layak. Ketika matahari mulai merunduk di balik pepohonan, Okok Keang mengangkat tangannya memberi isyarat untuk ber
Malam belum terlalu larut ketika rombongan Okok Keang tiba di kampung Hyiang. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka bisa merasakan tanah keras di bawah kaki mereka, bukan jalan berlumpur yang penuh tantangan.Kampung ini terpencil, tersembunyi di balik perbukitan yang seolah melindunginya dari hiruk-pikuk dunia luar.Lampu-lampu rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin menyala redup, menggambarkan kehidupan yang sederhana namun penuh kehangatan. Beberapa penduduk desa keluar dari rumah mereka, menyambut kedatangan rombongan dengan tatapan ingin tahu.Meskipun jauh dari kota, ternyata beberapa warga sudah menggunakan internet melalui jaringan Starlink, sesuatu yang mengejutkan bagi Okok Keang."Jadi di sini nggak ada IndiHome?" tanya Bram, salah satu anggota rombongan, sambil mengusap keringat di lehernya.Seorang pria tua yang duduk di bangku kayu tersenyum. "Jaringan kabel belum sampai ke sini, Nak. Tapi kami sudah bisa internetan berkat Starlink-nya Elon Musk
Hujan gerimis mengguyur tanah berlumpur yang semakin dalam, seolah menguji batas kesabaran mereka. Mobil pertama bergerak pelan, roda belakangnya nyaris terpelanting saat melintasi lubang pertama.Tanah kuning melekat seperti perangkap, mengisap setiap putaran ban dengan rakus. Hanya satu kilometer dari Kampung Hyiang, dan jalan negara selebar empat meter itu sudah berubah menjadi medan licin, berlubang, dan bertingkat, seolah alam sengaja menertawakan usaha manusia untuk menaklukkannya.Di dalam kabin, Burhan mencengkeram setir hingga buku-buku jarinya memucat. "Ini baru awal," gumannya, matanya tak lepas dari jalur berlumpur di depan.Desy meremas jendela, "Kok baru mulai sudah begini? Ini beneran bisa dilewatin?"Ghenadie berkeringat dingin, "Kalau tidak, kita sudah mati sejak tadi."Okok Keang menghela napas, "Diam saja anak-anak, Orng kampung hanya punya jalan ini ke kota. Ini memang tidak mudah bagi yang pertama kali."Mobil kedua, yang dikemudikan oleh salah satu anggota rombon
Tidak lama kemudian dari balik tikungan yang cukup jauh, terlihat sebuah truk besar melaju perlahan. Anggota rombongan merasa senang, sebab dia mustahil tidak mau menolong.Namun harapan tinggal harapan, ternyata sopir truk besar itu menolehpun tidak, dia terus melaju dan bahkan hampir menyenggol mobil mereka karena jalan memang sempit.Truk itu meninggalkan Okok Keang dan rombongannya dalam keputusasaan yang semakin dalam. Mereka berdiri kaku di dekat mobil yang masih terbenam lumpur, wajah mereka dipenuhi ekspresi campur aduk antara kemarahan, kekecewaan, dan kelelahan.“Kurang ajar! Orang macam apa yang bisa pura-pura buta begini?!” teriak Okok Keang sambil menendang genangan lumpur di dekat kakinya.“Truk sebesar itu, tidak mungkin sopirnya tidak melihat kita! Bahkan nyaris menyenggol mobil kita!” geram pak Karmizi, salah satu anggota rombongan yang sedari tadi memegang selalu siap membantu yang lain.Matahari semakin siang, angin berdesir melewati dedaunan yang basah. Mereka suda
50-Masak DuluDi bawah langit siang yang mulai panas, Okok Keang berdiri di tepi sungai kecil, tangannya bertolak pinggang sementara matanya mengamati sekeliling. Udara siang yang cukup panas membawa aroma daun basah dan tanah yang lembab, sementara suara gemericik air sungai berbaur dengan kicauan burung yang pulang ke sarang."Kita memasak dulu, perutku sudah mulai menaagih" kata Okok Keang dengan suara penuh semangat. "Ada yang cari daun pakis, ada yang menjala ikan, dan ada yang menyiapkan api. Kita bekerja sama supaya cepat."Burhan, yang memang dari awal ada membawa jala di dalam mobil, tersenyum tipis. "Aku urus ikan. Kalian jangan sampai bikin api dulu sebelum aku balik, biar kita bisa masak dengan ikan yang segar."Sementara Burhan melangkah menuju tepian yang lebih dalam, dua orang lainnya, Mara dan Yudi , berjalan menyusuri pinggiran sungai mencari daun pakis. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorotkan kilauan keemasan pada riak air, menciptakan suasana yang hampir mag
Hujan sudah mulai rintik-rintik lagi, membasahi jalanan tanah yang sudah licin sejak siang tadi. Langit semakin gelap, awan tebal bergelayut rendah, menutup segala sisa cahaya senja. Di jalanan sepi pinggir hutan, ban mobil mereka mulai terlihat basah."Sial! Kita benar-benar terjebak!" ujar Burhan, mencoba menyalakan mesin dan menginjak gas, tapi hanya suara dengungan roda yang berputar tanpa hasil.Desy yang duduk di kursi penumpang menggigit bibirnya cemas. "Apa yang kita lakukan sekarang? Tidak ada sinyal di sini, dan... aku tidak melihat satu pun kendaraan sejak tadi.""Kita turun lagi, lihat kondisinya," usul Mara, yang duduk di kursi belakang. Mereka bertiga keluar, kaki langsung terbenam dalam lumpur yang lengket dan licin.Mobil itu memang terbenam di dalam lumpur dan betul-betul tidaak bisa menolong dirinya, memperlihatkan bagaimana roda belakang benar-benar terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. Okok Keang menghela napas. “Kita butuh bantuan, tapi dari mana?”Desy mel
Burhan menekan pedal gas, membuat mobil Hilux 4x4-nya itu meraung melawan beban jalanan yang semakin buruk. Ban depan tergelincir sebentar sebelum kembali menggigit tanah becek yang lunak.Hujan sejak siang tadi hanya membuat kondisi makin parah, menciptakan genangan yang menipu dan lubang-lubang kecil yang bisa berubah menjadi jebakan mematikan jika tak diwaspadai."Sial! Jalannya makin nggak bisa ditebak!" Burhan menggerutu, tangannya erat menggenggam kemudi."Tenang, Han. Kita hampir sampai," sahut Kazimir, yang duduk di kursi penumpang, dengan suara yang berusaha terdengar optimis meski nada cemasnya tak bisa disembunyikan.Burhan menatap langit yang sudah mulai memerah keunguan. Waktu semakin menipis, dan mereka belum juga sampai di dermaga. Mobil berguncang hebat ketika melewati lubang besar, membuat Yudi hampir membentur atap mobil."Awas, pelan sedikit! Kita nggak bisa ngebut di jalan kayak gini!"Burhan mendengus. "Kalau kita nggak ngebut, kita nggak bakal sampai sebelum mala
Hujan deras menari di atas atap mobil, menciptakan simfoni yang memenuhi malam yang gelap. Udara di dalam mobil terasa hangat meskipun mesin mati, dan setiap hembusan napas membentuk embun tipis di kaca jendela yang sedikit terbuka.Ghenadie duduk di sudut, bahunya menempel pada Desy yang hanya berjarak beberapa senti. Mereka tidak punya pilihan lain, tempat berlindung satu-satunya dari badai adalah di dalam mobil sempit ini, bersama dengan beberapa anggota rombongan lain yang sudah terlelap dalam posisi yang tidak nyaman.“Dingin?” Ghenadie berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.Desy menggeleng perlahan, tapi bibirnya melengkung nakal. “Enggak... malah agak panas.”Tangannya yang ramping menyusuri lengan Ghenadie dengan sentuhan nyaris tak terasa. Kulit mereka bersentuhan, mengirimkan sengatan halus yang menjalar hingga ke tengkuknya.Ghenadie menelan ludah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kehangatan yang menggoda itu.Dia harus menahan diri. Ini tidak boleh terjad
Angin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu
Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,
Hanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha
Langit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum
Liana menggenggam tangannya. Hangat. Nyata. Di tengah hutan dan gelap malam, mereka punya satu sama lain.Karenaa Hana tidak bisa dihubungi, sementar dia sekarang berama Liana, Ghenadie berpikir, adalah kehendak semesta dia bersama dengan Liana sekarang.Waktu terus berjalan. Minggu demi minggu. Liana mulai batuk. Awalnya ringan. Tapi makin hari makin parah. Ghenadie mencoba segala cara, merebus daun-daun hutan sebisanya, mencarikan air bersih lebih banyak, bahkan mencoba membuat ramuan dari tanaman liar.Tapi kondisi Liana memburuk.Suatu pagi, saat kabut belum sepenuhnya mengangkat dari tanah, Liana tergeletak lemas. Ghenadie duduk di sampingnya, memegangi tangan yang semakin dingin."Ghen..." suara Liana nyaris tak terdengar."Ya, aku di sini," Ghenadie membelai rambutnya yang kusut."Aku... menyesal," kata Liana pelan."Jangan begitu. Kamu nggak salah apa-apa.""Aku... harusnya bilang dari awal. Harusnya aku jawab waktu kamu bilang itu...""Aku tahu," Ghenadie menahan tangis. "Dan
“Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa setiap langkahku di sini, kamu ada di dalamnya.”Kata-kata itu masih terpatri di benak Liana. Ia mengulangnya dalam pikirannya berkali-kali, seolah menjadi doa yang terucap diam-diam di antara keramaian kabin pesawat.Dua bulan telah berlalu sejak Ghenadie mengucapkan kalimat itu di café kecil di Sydney. Dua bulan penuh kebingungan, ragu, dan diam.Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan di bawah langit biru Australia, tapi di ketinggian 35.000 kaki di udara. Sebuah kebetulan yang terlalu mustahil jika hanya disebut kebetulan.Ghenadie sebenarnya pulang mau mencari Hana dan memastikan keberadaan gadis itu. Juga mau bicar dengan ayahnya secara langsung tentang rencananya di Australia itu.Liana, yang bertugas sebagai pramugari di penerbangan itu, tak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat Ghenadie masuk ke dalam kabin dengan senyum tipis."Hei..." Ghenadie menyapa pelan saat ia melihat Liana menyambut pe
Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap