50-Masak DuluDi bawah langit siang yang mulai panas, Okok Keang berdiri di tepi sungai kecil, tangannya bertolak pinggang sementara matanya mengamati sekeliling. Udara siang yang cukup panas membawa aroma daun basah dan tanah yang lembab, sementara suara gemericik air sungai berbaur dengan kicauan burung yang pulang ke sarang."Kita memasak dulu, perutku sudah mulai menaagih" kata Okok Keang dengan suara penuh semangat. "Ada yang cari daun pakis, ada yang menjala ikan, dan ada yang menyiapkan api. Kita bekerja sama supaya cepat."Burhan, yang memang dari awal ada membawa jala di dalam mobil, tersenyum tipis. "Aku urus ikan. Kalian jangan sampai bikin api dulu sebelum aku balik, biar kita bisa masak dengan ikan yang segar."Sementara Burhan melangkah menuju tepian yang lebih dalam, dua orang lainnya, Mara dan Yudi , berjalan menyusuri pinggiran sungai mencari daun pakis. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorotkan kilauan keemasan pada riak air, menciptakan suasana yang hampir mag
Hujan sudah mulai rintik-rintik lagi, membasahi jalanan tanah yang sudah licin sejak siang tadi. Langit semakin gelap, awan tebal bergelayut rendah, menutup segala sisa cahaya senja. Di jalanan sepi pinggir hutan, ban mobil mereka mulai terlihat basah."Sial! Kita benar-benar terjebak!" ujar Burhan, mencoba menyalakan mesin dan menginjak gas, tapi hanya suara dengungan roda yang berputar tanpa hasil.Desy yang duduk di kursi penumpang menggigit bibirnya cemas. "Apa yang kita lakukan sekarang? Tidak ada sinyal di sini, dan... aku tidak melihat satu pun kendaraan sejak tadi.""Kita turun lagi, lihat kondisinya," usul Mara, yang duduk di kursi belakang. Mereka bertiga keluar, kaki langsung terbenam dalam lumpur yang lengket dan licin.Mobil itu memang terbenam di dalam lumpur dan betul-betul tidaak bisa menolong dirinya, memperlihatkan bagaimana roda belakang benar-benar terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. Okok Keang menghela napas. “Kita butuh bantuan, tapi dari mana?”Desy mel
Burhan menekan pedal gas, membuat mobil Hilux 4x4-nya itu meraung melawan beban jalanan yang semakin buruk. Ban depan tergelincir sebentar sebelum kembali menggigit tanah becek yang lunak.Hujan sejak siang tadi hanya membuat kondisi makin parah, menciptakan genangan yang menipu dan lubang-lubang kecil yang bisa berubah menjadi jebakan mematikan jika tak diwaspadai."Sial! Jalannya makin nggak bisa ditebak!" Burhan menggerutu, tangannya erat menggenggam kemudi."Tenang, Han. Kita hampir sampai," sahut Kazimir, yang duduk di kursi penumpang, dengan suara yang berusaha terdengar optimis meski nada cemasnya tak bisa disembunyikan.Burhan menatap langit yang sudah mulai memerah keunguan. Waktu semakin menipis, dan mereka belum juga sampai di dermaga. Mobil berguncang hebat ketika melewati lubang besar, membuat Yudi hampir membentur atap mobil."Awas, pelan sedikit! Kita nggak bisa ngebut di jalan kayak gini!"Burhan mendengus. "Kalau kita nggak ngebut, kita nggak bakal sampai sebelum mala
Hujan deras menari di atas atap mobil, menciptakan simfoni yang memenuhi malam yang gelap. Udara di dalam mobil terasa hangat meskipun mesin mati, dan setiap hembusan napas membentuk embun tipis di kaca jendela yang sedikit terbuka.Ghenadie duduk di sudut, bahunya menempel pada Desy yang hanya berjarak beberapa senti. Mereka tidak punya pilihan lain, tempat berlindung satu-satunya dari badai adalah di dalam mobil sempit ini, bersama dengan beberapa anggota rombongan lain yang sudah terlelap dalam posisi yang tidak nyaman.“Dingin?” Ghenadie berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.Desy menggeleng perlahan, tapi bibirnya melengkung nakal. “Enggak... malah agak panas.”Tangannya yang ramping menyusuri lengan Ghenadie dengan sentuhan nyaris tak terasa. Kulit mereka bersentuhan, mengirimkan sengatan halus yang menjalar hingga ke tengkuknya.Ghenadie menelan ludah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kehangatan yang menggoda itu.Dia harus menahan diri. Ini tidak boleh terjad
Hujan deras turun dari langit malam yang gelap pekat, membasahi jalanan berbatu di depan mobil mereka yang parkir. Desy dan Ghenadie duduk sangat rapat, mereka saling mengelus dan meremas dangan intens.Ghenadie, nama yang selalu terpatri di hatinya, tengah berjuang menahan hasrat yang begitu menggebu, namun begitu nyata dalam dekapannya.Dia merasakan benda itu keras, tetapi kenyal. Membuat dirinya terasa ingin menggigitnya, tetapi dia tidak punya pengalaman untuk melakukannya. Dia sungguh seorang gadis yang tidak pernah bergaul terlalu bebas.Memang pacaranya Reaza sudah beberapa kali meminta, tetapi Desy tidak mau. Dia hanya membantu laki-laki itu untuk mencapai hasratnya, tanpa perlu memasuki dirinya.Meskipun harus di akui, beberapa kali dirinya hampir tidak tahan. Sehingga pengalamannya dengan Ghenadie tidak terlaalu mengejutkannya lagi, karena pacarnya Reza telah beberapa kali meminya di puaskan, tanpa penetrasi.Desy menghela napas panjang, lalu dengan gerakan lambat, ia menge
Di tengah gelapnya hutan yang lebat, meskipun matahari telah tinggi, pertempuran antara Kazimir dan Ghenadie melawan Otong berlangsung sengit. Meskipun mereka berdua mengeroyoknya, Otong seperti monster yang tak terkalahkan.Setiap serangan Kazimir selalu berhasil ditangkis, sementara Ghenadie hanya bisa menyerang dari samping untuk mengalihkan perhatian lawan. Namun, taktik itu hampir tak membuahkan hasil, mereka berdua hanya bisa bertahan dengan susah payah, terus-menerus menghindari maut yang seakan mengintai di setiap serangan.Kazimir mulai kehabisan napas, sementara Ghenadie sudah terluka cukup parah. Otong pun tak luput dari luka, napasnya memburu dengan darah yang mulai mengalir dari tubuhnya, namun matanya masih menyala dengan amarah yang tak padam.Meskipun dia orang kampung, tetapi bela dirinya hanya pas-pasan saja. Tanah di bawah mereka telah terciprat darah, pertanda betapa lamanya pertarungan ini berlangsung.Kazimir berusaha mengatur strategi, matanya menyapu medan pert
Embun pagi masih menempel di dedaunan ketika rombongan Okok Keang sudah bangun dari tidur mereka di dermaga sungai itu. Angin berembus sepoi-sepoi, membawa aroma air sungai yang bercampur dengan bau kayu basah dari dermaga tua.Ombak kecil bergulung lembut di permukaan air, menciptakan irama alami yang menenangkan, tetapi tidak cukup untuk mengusir kantuk dan kelelahan yang masih menggelayuti sebagian besar anggota rombongan.Ghenadie dan Desy berdiri sedikit terpisah dari yang lain. Meskipun mereka mencoba terlihat biasa saja, ada sesuatu dalam ekspresi mereka yang tampak janggal, terutama ketika pandangan mereka saling bersirobok.Desy beberapa kali menyentuh rambutnya, seolah ingin memastikan semuanya rapi, sementara Ghenadie lebih sering melirik ke bawah, sibuk dengan kopinya. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin mereka sembunyikan, namun tak bisa sepenuhnya ditutupi.Okok Keang, pemimpin rombongan mereka, duduk di salah satu kayu dengan mata setengah terpejam, menggenggam cangkir k
Feri tersebut akhirnya merapat di dermaga kecil yang sepi. Okok Keang menghela napas lega saat kendaraan mereka mulai bergerak menjejak tanah seberang. Udara panas berembus malas, membawa aroma sungai yang bercampur bau kayu lapuk dan solar.Burhan di kursi depan hanya diam, matanya menelusuri jalan setapak yang membentang di depan mereka."Pastikan semua sudah di dalam?" tanya Okok, menoleh ke belakang."Semua lengkap, bos," jawab Hovek, salah satu anggota rombongan. "Dompet masih utuh, feri sudah dibayar lunas. Lima ratus ribu, padahal perjalanan cuma 30 menit."Burhan tertawa kecil. "Harga mahal untuk kenyamanan yang nihil."Mobil kembali melaju, melewati jalanan yang meski sudah dikeraskan, tetap saja bergelombang. Ban kendaraan memuntahkan debu ke udara, menciptakan awan tipis yang menutupi pandangan sesaat.Di dalam mobil, suasana mulai memanas. Seorang perempuan bernama Yuni bersandar di jendela, memainkan rambutnya dengan gelisah."Kita sebenarnya mau ke mana, sih?" tanyanya.
Suasana sore di PT. Surya Timur Logistics begitu tenang. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di balik deretan gudang besar. Ghenadie berdiri di balkon kecil di lantai dua, memandangi halaman yang mulai sepi.Sejak reformasi yang ia lakukan tiga bulan lalu, perusahaan ini memang berubah drastis. Tapi ketenangan yang ia rasakan hari itu terasa... ganjil.Ada sesuatu yang tidak beres.Pikirannya terus kembali ke laporan kecil yang diterima pagi tadi, sebuah memo anonim, hanya satu kalimat:"Hati-hati pada orang yang kau pikir sekutu."Ghenadie menggenggam kertas itu di sakunya.Langkah kaki mendekat. Dinda muncul, membawa map berisi laporan keuangan terbaru."Pak Ghenadie," sapanya dengan suara lembut. "Laporan triwulan sudah dirangkum. Mau saya review sekarang?"Ghenadie berbalik, tersenyum tipis."Boleh. Tapi sebelum itu..." Ia menatap Dinda dalam-dalam. "Kamu percaya semua orang di manajemen ini bersih?"Dinda tampak terkejut, tapi cepat menguasai diri."Saya
Angin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu
Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,
Hanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha
Langit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum
Liana menggenggam tangannya. Hangat. Nyata. Di tengah hutan dan gelap malam, mereka punya satu sama lain.Karenaa Hana tidak bisa dihubungi, sementar dia sekarang berama Liana, Ghenadie berpikir, adalah kehendak semesta dia bersama dengan Liana sekarang.Waktu terus berjalan. Minggu demi minggu. Liana mulai batuk. Awalnya ringan. Tapi makin hari makin parah. Ghenadie mencoba segala cara, merebus daun-daun hutan sebisanya, mencarikan air bersih lebih banyak, bahkan mencoba membuat ramuan dari tanaman liar.Tapi kondisi Liana memburuk.Suatu pagi, saat kabut belum sepenuhnya mengangkat dari tanah, Liana tergeletak lemas. Ghenadie duduk di sampingnya, memegangi tangan yang semakin dingin."Ghen..." suara Liana nyaris tak terdengar."Ya, aku di sini," Ghenadie membelai rambutnya yang kusut."Aku... menyesal," kata Liana pelan."Jangan begitu. Kamu nggak salah apa-apa.""Aku... harusnya bilang dari awal. Harusnya aku jawab waktu kamu bilang itu...""Aku tahu," Ghenadie menahan tangis. "Dan
“Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa setiap langkahku di sini, kamu ada di dalamnya.”Kata-kata itu masih terpatri di benak Liana. Ia mengulangnya dalam pikirannya berkali-kali, seolah menjadi doa yang terucap diam-diam di antara keramaian kabin pesawat.Dua bulan telah berlalu sejak Ghenadie mengucapkan kalimat itu di café kecil di Sydney. Dua bulan penuh kebingungan, ragu, dan diam.Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan di bawah langit biru Australia, tapi di ketinggian 35.000 kaki di udara. Sebuah kebetulan yang terlalu mustahil jika hanya disebut kebetulan.Ghenadie sebenarnya pulang mau mencari Hana dan memastikan keberadaan gadis itu. Juga mau bicar dengan ayahnya secara langsung tentang rencananya di Australia itu.Liana, yang bertugas sebagai pramugari di penerbangan itu, tak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat Ghenadie masuk ke dalam kabin dengan senyum tipis."Hei..." Ghenadie menyapa pelan saat ia melihat Liana menyambut pe