
Tukang Bakso Jadi Miliarder
Suatu hari, ketika ia sedang melayani pelanggan di pinggir jalan, pandangannya tertumbuk pada sosok yang tak asing, Lina, kekasih hatinya. Tetapi hari itu berbeda. Di sebelah Lina, duduk seorang pria dengan penampilan yang begitu mencolok. Pria itu mengenakan jam tangan berkilauan, menaiki mobil mewah, dan berpenampilan layaknya seorang raja dalam balutan kekayaan yang mengilap. Dan yang paling menyakitkan, mereka berdua tertawa mesra, saling menggenggam tangan dengan cara yang hanya ia dan Lina lakukan. Dunia Ghenadie seakan runtuh dalam sekejap.
Saat mereka melihat Ghenadie yang hanya seorang tukang bakso, tawa mereka berubah menjadi cemoohan. Pria baru Lina melemparkan pandangan menghina, menganggapnya tak lebih dari debu di jalanan, dan Lina... oh, Lina yang dulu selalu memujanya, kini ikut menundukkan diri dalam kebanggaannya, menginjak-injak harga dirinya di depan teman-teman mereka yang kebetulan ikut, memandang rendah dirinya yang dianggap miskin dan tak berdaya.
Hari berikutnya, di tengah kehancuran hatinya, seorang pria asing muncul. Pria itu mengatakan sesuatu yang nyaris tak masuk akal: Ghenadie, adalah anak seorang direktur besar dan tak tertandingi. "Mana mungkin," pikir Ghenadie, "Aku hanyalah anak kampung yang hidup dari bakso, bukan pewaris kekayaan yang tak terhitung." Ia menolak mempercayai, seolah kenyataan terlalu jauh dari jangkauannya.
Tiba-tiba datang sekelompok orang tak dikenal. Mereka menyerang tanpa ampun, menghancurkan gerobak bakso yang selama ini menjadi penopang hidupnya. Ghenadie berusaha melawan, tetapi apa daya? Mereka lebih kuat, lebih banyak, dan ia terjatuh, terpukul oleh kejamnya dunia yang tak memberinya ruang untuk bernapas.
Entah kenapa, kata-kata pria itu kembali terngiang di benaknya. Apakah ini semua memang kenyataan yang lebih besar dari yang ia bayangkan? Ghenadie mulai merasakan getaran aneh di hatinya, sebuah keyakinan samar yang perlahan muncul di tengah kekacauan hidupnya. Ini bukan sekadar mimpi, mungkin inilah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar penjual bakso yang tertindas. Sebuah titik balik yang bagus ...
Read
Chapter: 96-Gerbang Kedua Hidup GhenadieAngin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu
Last Updated: 2025-04-26
Chapter: 95-Antara Tiga LukaAngin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Last Updated: 2025-04-25
Chapter: 94-Mencoba Menata HidupBeberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Last Updated: 2025-04-22
Chapter: 93-Setelah Hujan di PegununganKabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,
Last Updated: 2025-04-21
Chapter: 92-MenerobosHanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha
Last Updated: 2025-04-20
Chapter: 91-Di Antara Dua DaratanLangit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum
Last Updated: 2025-04-20