Semua Bab Bara Dendam di Perbatasan: Bab 131 - Bab 140

192 Bab

Bab 131

Malam begitu sunyi ketika Ki Baswara, Seta, dan Prabangkara akhirnya tiba di sebuah perkampungan kecil nan terletak jauh dari Lembah Rengganis. Mereka bertiga tampak kelelahan, berjalan dalam senyap setelah menempuh perjalanan jauh untuk menjauhi pengejaran prajurit Jenggala.Namun, meski tubuh lelah dan luka-luka masih terasa, mereka tahu tak ada tempat yang lebih aman dari area ini untuk beristirahat sejenak. Perkampungan yang mereka masuki sudah dalam keadaan sepi dan gelap gulita.“Sepertinya perkampungan ini telah lama beristirahat,” gumam Prabangkara lirih, sambil memandangi rumah-rumah penduduk yang gelap tanpa cahaya pelita.Ki Baswara mengangguk pelan, “Lebih baik kita tidak mengganggu penduduk di malam sedalam ini. Mereka mungkin curiga jika melihat kedatangan kita yang tidak dikenali.”“Benar,” timpal Seta. “Jika kita memaksa mencari tempat berlindung sekarang, bisa-bisa justru menimbulkan masalah baru.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-19
Baca selengkapnya

Bab 132

Pertarungan semakin sengit ketika Seta dan Prabangkara mulai terdesak oleh kepungan orang-orang bercadar yang menyerang tanpa henti. Meski keduanya bertarung dengan segenap tenaga, jumlah lawan yang lebih banyak membuat mereka semakin lelah.Seta berkali-kali menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, sementara Prabangkara mulai terengah-engah menahan sabetan parang dan tusukan belati yang mengarah padanya.Keadaan mulai tampak putus asa ketika sebuah bayangan tiba-tiba melesat masuk ke medan pertempuran. Gerakannya begitu cepat, seolah-olah tubuhnya melayang di antara para pengeroyok.Orang baru ini, dengan pakaian hitam dan penutup wajah, langsung menghampiri salah seorang penyerang dan melumpuhkannya dengan satu gerakan yang cekatan. Dengan hanya beberapa gerakan, satu demi satu dari para penyerang bercadar itu tersungkur ke tanah, tak berdaya oleh pukulan atau totokan yang tepat mengenai titik-titik vital."Siapa dia?" gumam Seta di tengah
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-20
Baca selengkapnya

Bab 133

Malam semakin larut. Hanya nyala api unggun yang tersisa untuk menerangi wajah-wajah kelelahan dari Seta dan Prabangkara yang tengah terlelap.Di tengah keheningan itu, Ki Baswara malah terjaga. Pikirannya terasa penuh, seperti benang kusut yang tak kunjung terurai. Tanpa suara, ia bangkit dari tempatnya berbaring dan berjalan perlahan menuju api unggun yang masih menyala.Duduk di dekat api, Ki Baswara mengeluarkan gulungan surat dari balik pakaiannya—surat dari Ki Sajiwa yang diserahkan oleh Seta. Ia memandang gulungan itu sejenak, ragu untuk membuka dan membacanya. Seakan surat tersebut membawa kabar buruk yang selama ini berusaha ia hindari.Akhirnya, dengan tangan sedikit gemetar, Ki Baswara membuka gulungan itu. Di bawah cahaya api unggun yang temaram, ia membaca dengan saksama kata-kata yang tertulis di atas kertas yang sudah agak pudar. Setiap baris kalimat terasa berat, seolah menyampaikan beban yang harus ia pikul seorang diri.Di dalam su
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-20
Baca selengkapnya

Bab 134

Di bawah rembulan yang masih redup di ufuk timur, Dyah Wisesa melintasi perbatasan Jenggala menuju wilayah Panjalu. Bersamanya, beberapa prajurit terpercaya mengiringi dengan ketat, seakan melindungi sosok bangsawan Jenggala itu dari segala kemungkinan bahaya.Keheningan pagi menyelimuti, hanya derap langkah kuda dan suara burung hutan yang menyertai perjalanan mereka. Ketika mereka tiba di tapal batas, sosok Dyah Srengga sudah menunggu dengan senyum tipis yang penuh keyakinan.“Adikku Wisesa,” sapanya sambil menundukkan kepala singkat. “Senang akhirnya kau bisa meluangkan waktu untuk bertemu di tempat ini.”Dyah Wisesa mengangguk hormat dan turun dari kuda. “Sama-sama, Kakang Srengga. Perjalanan cukup panjang, tapi ada banyak hal yang memang perlu kita bahas.”Keduanya berjalan menyusuri jalanan sempit di tepi hutan, diikuti oleh para pengawal yang berjaga dalam jarak aman. Obrolan mereka mengalir pelan namun sarat den
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-21
Baca selengkapnya

Bab 135

Pada saat hampir bersamaan di tempat lain....Rakryan Demung memasuki balairung utama dengan penuh hormat, membawa pesan khusus dari Prabu Sri Girindra. Di sana telah menunggu Rakryan Tumenggung yang sepagi itu mendapat panggilan menghadap dari sang raja.Tidak menunggu lama, Rakryan Tumenggung segera bangkit dan mengikuti langkah Rakryan Demung untuk menghadap Prabu Sri Girindra. Sang raja meminta pembicaraan berlangsung di taman sari, sembari menikmati sisa-sisa embun pagi yang masih menempel di dedaunan.Tiba di tujuan, tampak Prabu Sri Girindra telah menunggu di kursi kebesaran yang diletakkan tak jauh dari air mancur di tengah-tengah taman. Pandangan mata raja Jenggala itu terlihat dalam dan muram. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang terpendam.“Tumenggung,” ucap Prabu Girindra, suaranya rendah namun penuh wibawa. “Ada satu hal yang ingin kubahas denganmu. Tadi malam aku berbincang dengan Permaisuri dan kami sependapat bahwa sudah w
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-21
Baca selengkapnya

Bab 136

Malam harinya, dalam keheningan yang hanya ditemani nyanyian jangkrik, Rakryan Tumenggung memacu kudanya bersama dua pengawal setia menuju satu tempat tersembunyi tak jauh di luar Kotaraja. Senyap dan gelapnya malam memberikan ketenangan semu, sehingga sang tumenggung tetap bersikap waspada.Sementara langit malam mulai berselimut awan pekat, menjadikan perjalanan mereka makin tersembunyi di bawah naungan kegelapan.Ketika mereka mulai melewati jalan sepi yang dikelilingi pepohonan lebat, tiba-tiba terdengar suara mendesing tajam. Rakryan Tumenggung sontak menoleh, tetapi terlambatSiiiing! Siiiing!"Aaaaaaaa!"Dua pengawal di belakang Rakryan Tumenggung tersentak jatuh dari kuda, masing-masing sambil berseru kesakitan. Begitu tubuh keduanya menghantam tanah, darah langsung mengalir deras.Rakryan Tumenggung seketika menyentakkan tali kekang kudanya. Parasnya berubah tegang begitu mengetahui dua pengawalnya terkena anak panah yang menembus d
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-22
Baca selengkapnya

Bab 137

Di balik semak gelap, seseorang bertopeng dan berjubah panjang menutup tubuhnya berdiri mengawasi pertarungan sengit yang berlangsung di tengah jalan sepi malam. Orang bertopeng itu tidak bergerak, hanya memandangi dengan penuh minat setiap gerakan dan serangan yang dilancarkan oleh keempat pengeroyok yang mengitari Rakryan Tumenggung.Mata di balik topeng orang itu bersinar penuh kepuasan saat menyaksikan Rakryan Tumenggung semakin terdesak, dengan darah mulai mengalir di sepanjang pedang dan keris yang digunakan sang panglima Jenggala.Tiba-tiba, orang bertopeng itu mengeluarkan tawa pelan yang terdengar sinis. Tawa itu awalnya lirih, hanya terdengar bagai bisikan di antara pepohonan, lalu perlahan menjadi semakin keras dan mengerikan. Suara tawanya seakan menari bersama angin malam, menggetarkan kesunyian hutan yang sebelumnya hanya diisi suara jangkrik.Tawa itu semakin membahana saat Rakryan Tumenggung akhirnya berteriak panjang, jeritan pilu yang membelah
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-22
Baca selengkapnya

Bab 138

Sementara itu di sudut lain Jenggala....Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan lelaki penolong yang terus mendampingi mereka akhirnya tiba di sebuah warung di tepi jalan. Asap tipis mengepul dari dalam warung yang sederhana, aroma makanan hangat menguar, membuat perut mereka seketika berkeroncongan.Tanpa banyak kata, mereka masuk dan segera memesan makanan. Begitu pesanan dihidangkan, mereka menyantap makanan dengan lahap, mengisi perut yang sudah seharian kosong.Seta dan Prabangkara tampak tak henti-hentinya mengunyah dengan cepat, sedangkan Ki Baswara makan dalam diam, pikirannya terpusat pada rencana yang mereka bicarakan sejak beberapa malam terakhir. Tuan Penolong yang belum banyak bicara sejak perjalanan dimulai duduk di samping mereka, memandang ke sekeliling warung dengan mata waspada.“Langkah kita berikutnya, ke arah mana, Ki?” tanya Seta, sambil meneguk minuman hangat di depannya.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-23
Baca selengkapnya

Bab 139

Di bawah langit yang kelabu, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan Tuan Penolong berkuda menuju Hantang. Hawa dingin Lembah Rengganis seolah mengiringi kepergian mereka setelah menemukan jasad Rakryan Tumenggung.Mereka berempat saling diam, pikiran masing-masing penuh oleh teka-teki dan ketegangan yang belum terpecahkan. Hantang, desa kecil di perbatasan Jenggala, diharapkan menjadi tempat untuk mencari jejak orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini.“Hantang hanya setengah hari perjalanan lagi,” ujar Ki Baswara memecah kesunyian. “Jika kita tetap berkuda tanpa berhenti, kita akan tiba sebelum malam.”“Lebih cepat lebih baik,” jawab Tuan Penolong singkat. Wajahnya tetap dingin, meskipun sorot matanya menandakan kewaspadaan yang terus-menerus.Namun kete
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-24
Baca selengkapnya

Bab 140

Debu terus berputar di udara, bercampur dengan bau darah yang pekat. Pertempuran di jalur sempit itu semakin sengit.Seta, dengan pedangnya yang tajam, menebas satu lagi penyerang bercadar. Tubuh lawan itu terjerembap ke tanah dengan napas terakhirnya, darah menggenang di sekitar tubuhnya.Tuan Penolong, tak jauh dari Seta, memutar golok besarnya, mengayunkannya ke arah seorang penyerang yang menyerang dari samping. Dentingan keras terdengar ketika goloknya menghantam parang, tetapi tenaga Tuan Penolong lebih unggul. Parang itu terlempar, dan satu lagi musuh roboh dengan luka dalam di dadanya.Namun jumlah penyerang yang terus berdatangan membuat kelelahan mulai terasa.“Mereka seperti tak ada habisnya!” teriak Prabangkara sambil menangkis dua serangan bertubi-tubi dengan tombaknya.Di sisi lain, Ki Baswara yang berada di atas kudanya tampak sibuk memasang anak panah. Ia telah menembakkan beberapa anak panah dengan akurasi luar biasa, m
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
20
DMCA.com Protection Status