Malam semakin larut. Hanya nyala api unggun yang tersisa untuk menerangi wajah-wajah kelelahan dari Seta dan Prabangkara yang tengah terlelap.
Di tengah keheningan itu, Ki Baswara malah terjaga. Pikirannya terasa penuh, seperti benang kusut yang tak kunjung terurai. Tanpa suara, ia bangkit dari tempatnya berbaring dan berjalan perlahan menuju api unggun yang masih menyala.
Duduk di dekat api, Ki Baswara mengeluarkan gulungan surat dari balik pakaiannya—surat dari Ki Sajiwa yang diserahkan oleh Seta. Ia memandang gulungan itu sejenak, ragu untuk membuka dan membacanya. Seakan surat tersebut membawa kabar buruk yang selama ini berusaha ia hindari.
Akhirnya, dengan tangan sedikit gemetar, Ki Baswara membuka gulungan itu. Di bawah cahaya api unggun yang temaram, ia membaca dengan saksama kata-kata yang tertulis di atas kertas yang sudah agak pudar. Setiap baris kalimat terasa berat, seolah menyampaikan beban yang harus ia pikul seorang diri.
Di dalam su
Di bawah rembulan yang masih redup di ufuk timur, Dyah Wisesa melintasi perbatasan Jenggala menuju wilayah Panjalu. Bersamanya, beberapa prajurit terpercaya mengiringi dengan ketat, seakan melindungi sosok bangsawan Jenggala itu dari segala kemungkinan bahaya.Keheningan pagi menyelimuti, hanya derap langkah kuda dan suara burung hutan yang menyertai perjalanan mereka. Ketika mereka tiba di tapal batas, sosok Dyah Srengga sudah menunggu dengan senyum tipis yang penuh keyakinan.“Adikku Wisesa,” sapanya sambil menundukkan kepala singkat. “Senang akhirnya kau bisa meluangkan waktu untuk bertemu di tempat ini.”Dyah Wisesa mengangguk hormat dan turun dari kuda. “Sama-sama, Kakang Srengga. Perjalanan cukup panjang, tapi ada banyak hal yang memang perlu kita bahas.”Keduanya berjalan menyusuri jalanan sempit di tepi hutan, diikuti oleh para pengawal yang berjaga dalam jarak aman. Obrolan mereka mengalir pelan namun sarat den
Pada saat hampir bersamaan di tempat lain....Rakryan Demung memasuki balairung utama dengan penuh hormat, membawa pesan khusus dari Prabu Sri Girindra. Di sana telah menunggu Rakryan Tumenggung yang sepagi itu mendapat panggilan menghadap dari sang raja.Tidak menunggu lama, Rakryan Tumenggung segera bangkit dan mengikuti langkah Rakryan Demung untuk menghadap Prabu Sri Girindra. Sang raja meminta pembicaraan berlangsung di taman sari, sembari menikmati sisa-sisa embun pagi yang masih menempel di dedaunan.Tiba di tujuan, tampak Prabu Sri Girindra telah menunggu di kursi kebesaran yang diletakkan tak jauh dari air mancur di tengah-tengah taman. Pandangan mata raja Jenggala itu terlihat dalam dan muram. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang terpendam.“Tumenggung,” ucap Prabu Girindra, suaranya rendah namun penuh wibawa. “Ada satu hal yang ingin kubahas denganmu. Tadi malam aku berbincang dengan Permaisuri dan kami sependapat bahwa sudah w
Malam harinya, dalam keheningan yang hanya ditemani nyanyian jangkrik, Rakryan Tumenggung memacu kudanya bersama dua pengawal setia menuju satu tempat tersembunyi tak jauh di luar Kotaraja. Senyap dan gelapnya malam memberikan ketenangan semu, sehingga sang tumenggung tetap bersikap waspada.Sementara langit malam mulai berselimut awan pekat, menjadikan perjalanan mereka makin tersembunyi di bawah naungan kegelapan.Ketika mereka mulai melewati jalan sepi yang dikelilingi pepohonan lebat, tiba-tiba terdengar suara mendesing tajam. Rakryan Tumenggung sontak menoleh, tetapi terlambatSiiiing! Siiiing!"Aaaaaaaa!"Dua pengawal di belakang Rakryan Tumenggung tersentak jatuh dari kuda, masing-masing sambil berseru kesakitan. Begitu tubuh keduanya menghantam tanah, darah langsung mengalir deras.Rakryan Tumenggung seketika menyentakkan tali kekang kudanya. Parasnya berubah tegang begitu mengetahui dua pengawalnya terkena anak panah yang menembus d
Di balik semak gelap, seseorang bertopeng dan berjubah panjang menutup tubuhnya berdiri mengawasi pertarungan sengit yang berlangsung di tengah jalan sepi malam. Orang bertopeng itu tidak bergerak, hanya memandangi dengan penuh minat setiap gerakan dan serangan yang dilancarkan oleh keempat pengeroyok yang mengitari Rakryan Tumenggung.Mata di balik topeng orang itu bersinar penuh kepuasan saat menyaksikan Rakryan Tumenggung semakin terdesak, dengan darah mulai mengalir di sepanjang pedang dan keris yang digunakan sang panglima Jenggala.Tiba-tiba, orang bertopeng itu mengeluarkan tawa pelan yang terdengar sinis. Tawa itu awalnya lirih, hanya terdengar bagai bisikan di antara pepohonan, lalu perlahan menjadi semakin keras dan mengerikan. Suara tawanya seakan menari bersama angin malam, menggetarkan kesunyian hutan yang sebelumnya hanya diisi suara jangkrik.Tawa itu semakin membahana saat Rakryan Tumenggung akhirnya berteriak panjang, jeritan pilu yang membelah
Sementara itu di sudut lain Jenggala....Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan lelaki penolong yang terus mendampingi mereka akhirnya tiba di sebuah warung di tepi jalan. Asap tipis mengepul dari dalam warung yang sederhana, aroma makanan hangat menguar, membuat perut mereka seketika berkeroncongan.Tanpa banyak kata, mereka masuk dan segera memesan makanan. Begitu pesanan dihidangkan, mereka menyantap makanan dengan lahap, mengisi perut yang sudah seharian kosong.Seta dan Prabangkara tampak tak henti-hentinya mengunyah dengan cepat, sedangkan Ki Baswara makan dalam diam, pikirannya terpusat pada rencana yang mereka bicarakan sejak beberapa malam terakhir. Tuan Penolong yang belum banyak bicara sejak perjalanan dimulai duduk di samping mereka, memandang ke sekeliling warung dengan mata waspada.“Langkah kita berikutnya, ke arah mana, Ki?” tanya Seta, sambil meneguk minuman hangat di depannya.
Di bawah langit yang kelabu, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan Tuan Penolong berkuda menuju Hantang. Hawa dingin Lembah Rengganis seolah mengiringi kepergian mereka setelah menemukan jasad Rakryan Tumenggung.Mereka berempat saling diam, pikiran masing-masing penuh oleh teka-teki dan ketegangan yang belum terpecahkan. Hantang, desa kecil di perbatasan Jenggala, diharapkan menjadi tempat untuk mencari jejak orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini.“Hantang hanya setengah hari perjalanan lagi,” ujar Ki Baswara memecah kesunyian. “Jika kita tetap berkuda tanpa berhenti, kita akan tiba sebelum malam.”“Lebih cepat lebih baik,” jawab Tuan Penolong singkat. Wajahnya tetap dingin, meskipun sorot matanya menandakan kewaspadaan yang terus-menerus.Namun kete
Debu terus berputar di udara, bercampur dengan bau darah yang pekat. Pertempuran di jalur sempit itu semakin sengit.Seta, dengan pedangnya yang tajam, menebas satu lagi penyerang bercadar. Tubuh lawan itu terjerembap ke tanah dengan napas terakhirnya, darah menggenang di sekitar tubuhnya.Tuan Penolong, tak jauh dari Seta, memutar golok besarnya, mengayunkannya ke arah seorang penyerang yang menyerang dari samping. Dentingan keras terdengar ketika goloknya menghantam parang, tetapi tenaga Tuan Penolong lebih unggul. Parang itu terlempar, dan satu lagi musuh roboh dengan luka dalam di dadanya.Namun jumlah penyerang yang terus berdatangan membuat kelelahan mulai terasa.“Mereka seperti tak ada habisnya!” teriak Prabangkara sambil menangkis dua serangan bertubi-tubi dengan tombaknya.Di sisi lain, Ki Baswara yang berada di atas kudanya tampak sibuk memasang anak panah. Ia telah menembakkan beberapa anak panah dengan akurasi luar biasa, m
Seta menatap tubuh Prabangkara yang terkapar di tanah, dikelilingi para penyerang bercadar yang kini mendekat dengan hati-hati. Jeritan kesakitan sahabatnya masih terngiang, membakar dada Seta dengan amarah yang sulit dibendung.“Tuan Penolong!” Seta berteriak lantang, suaranya menggema di tengah medan yang kini penuh bau darah. “Aku tidak akan membiarkan satupun dari mereka keluar hidup-hidup!”Tuan Penolong hanya mengangguk, matanya menyipit, menyiratkan ketegangan yang sama. “Kita habisi mereka!” serunya sambil melompat maju, goloknya bergerak seperti badai yang memusnahkan apapun di jalurnya.Seta menyerang tanpa ampun. Pedangnya berkilat, memotong udara dengan kecepatan luar biasa, menghantam tubuh demi tubuh para penyerang bercadar.Tidak ada gerakan sia-sia—setiap tebasan adalah ancaman mematikan. Teriakan para penyerang mulai terdengar, satu demi satu jatuh, darah mereka mengalir membasahi tanah.Se
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan