Share

Bab 136

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 20:00:56

Malam harinya, dalam keheningan yang hanya ditemani nyanyian jangkrik, Rakryan Tumenggung memacu kudanya bersama dua pengawal setia menuju satu tempat tersembunyi tak jauh di luar Kotaraja. Senyap dan gelapnya malam memberikan ketenangan semu, sehingga sang tumenggung tetap bersikap waspada.

Sementara langit malam mulai berselimut awan pekat, menjadikan perjalanan mereka makin tersembunyi di bawah naungan kegelapan.

Ketika mereka mulai melewati jalan sepi yang dikelilingi pepohonan lebat, tiba-tiba terdengar suara mendesing tajam. Rakryan Tumenggung sontak menoleh, tetapi terlambat

Siiiing! Siiiing!

"Aaaaaaaa!"

Dua pengawal di belakang Rakryan Tumenggung tersentak jatuh dari kuda, masing-masing sambil berseru kesakitan. Begitu tubuh keduanya menghantam tanah, darah langsung mengalir deras.

Rakryan Tumenggung seketika menyentakkan tali kekang kudanya. Parasnya berubah tegang begitu mengetahui dua pengawalnya terkena anak panah yang menembus d

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 137

    Di balik semak gelap, seseorang bertopeng dan berjubah panjang menutup tubuhnya berdiri mengawasi pertarungan sengit yang berlangsung di tengah jalan sepi malam. Orang bertopeng itu tidak bergerak, hanya memandangi dengan penuh minat setiap gerakan dan serangan yang dilancarkan oleh keempat pengeroyok yang mengitari Rakryan Tumenggung.Mata di balik topeng orang itu bersinar penuh kepuasan saat menyaksikan Rakryan Tumenggung semakin terdesak, dengan darah mulai mengalir di sepanjang pedang dan keris yang digunakan sang panglima Jenggala.Tiba-tiba, orang bertopeng itu mengeluarkan tawa pelan yang terdengar sinis. Tawa itu awalnya lirih, hanya terdengar bagai bisikan di antara pepohonan, lalu perlahan menjadi semakin keras dan mengerikan. Suara tawanya seakan menari bersama angin malam, menggetarkan kesunyian hutan yang sebelumnya hanya diisi suara jangkrik.Tawa itu semakin membahana saat Rakryan Tumenggung akhirnya berteriak panjang, jeritan pilu yang membelah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 138

    Sementara itu di sudut lain Jenggala....Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan lelaki penolong yang terus mendampingi mereka akhirnya tiba di sebuah warung di tepi jalan. Asap tipis mengepul dari dalam warung yang sederhana, aroma makanan hangat menguar, membuat perut mereka seketika berkeroncongan.Tanpa banyak kata, mereka masuk dan segera memesan makanan. Begitu pesanan dihidangkan, mereka menyantap makanan dengan lahap, mengisi perut yang sudah seharian kosong.Seta dan Prabangkara tampak tak henti-hentinya mengunyah dengan cepat, sedangkan Ki Baswara makan dalam diam, pikirannya terpusat pada rencana yang mereka bicarakan sejak beberapa malam terakhir. Tuan Penolong yang belum banyak bicara sejak perjalanan dimulai duduk di samping mereka, memandang ke sekeliling warung dengan mata waspada.“Langkah kita berikutnya, ke arah mana, Ki?” tanya Seta, sambil meneguk minuman hangat di depannya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 139

    Di bawah langit yang kelabu, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan Tuan Penolong berkuda menuju Hantang. Hawa dingin Lembah Rengganis seolah mengiringi kepergian mereka setelah menemukan jasad Rakryan Tumenggung.Mereka berempat saling diam, pikiran masing-masing penuh oleh teka-teki dan ketegangan yang belum terpecahkan. Hantang, desa kecil di perbatasan Jenggala, diharapkan menjadi tempat untuk mencari jejak orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini.“Hantang hanya setengah hari perjalanan lagi,” ujar Ki Baswara memecah kesunyian. “Jika kita tetap berkuda tanpa berhenti, kita akan tiba sebelum malam.”“Lebih cepat lebih baik,” jawab Tuan Penolong singkat. Wajahnya tetap dingin, meskipun sorot matanya menandakan kewaspadaan yang terus-menerus.Namun kete

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 140

    Debu terus berputar di udara, bercampur dengan bau darah yang pekat. Pertempuran di jalur sempit itu semakin sengit.Seta, dengan pedangnya yang tajam, menebas satu lagi penyerang bercadar. Tubuh lawan itu terjerembap ke tanah dengan napas terakhirnya, darah menggenang di sekitar tubuhnya.Tuan Penolong, tak jauh dari Seta, memutar golok besarnya, mengayunkannya ke arah seorang penyerang yang menyerang dari samping. Dentingan keras terdengar ketika goloknya menghantam parang, tetapi tenaga Tuan Penolong lebih unggul. Parang itu terlempar, dan satu lagi musuh roboh dengan luka dalam di dadanya.Namun jumlah penyerang yang terus berdatangan membuat kelelahan mulai terasa.“Mereka seperti tak ada habisnya!” teriak Prabangkara sambil menangkis dua serangan bertubi-tubi dengan tombaknya.Di sisi lain, Ki Baswara yang berada di atas kudanya tampak sibuk memasang anak panah. Ia telah menembakkan beberapa anak panah dengan akurasi luar biasa, m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 141

    Seta menatap tubuh Prabangkara yang terkapar di tanah, dikelilingi para penyerang bercadar yang kini mendekat dengan hati-hati. Jeritan kesakitan sahabatnya masih terngiang, membakar dada Seta dengan amarah yang sulit dibendung.“Tuan Penolong!” Seta berteriak lantang, suaranya menggema di tengah medan yang kini penuh bau darah. “Aku tidak akan membiarkan satupun dari mereka keluar hidup-hidup!”Tuan Penolong hanya mengangguk, matanya menyipit, menyiratkan ketegangan yang sama. “Kita habisi mereka!” serunya sambil melompat maju, goloknya bergerak seperti badai yang memusnahkan apapun di jalurnya.Seta menyerang tanpa ampun. Pedangnya berkilat, memotong udara dengan kecepatan luar biasa, menghantam tubuh demi tubuh para penyerang bercadar.Tidak ada gerakan sia-sia—setiap tebasan adalah ancaman mematikan. Teriakan para penyerang mulai terdengar, satu demi satu jatuh, darah mereka mengalir membasahi tanah.Se

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 142

    Malam menyelimuti Kotaraja Jenggala dengan keheningan yang penuh rahasia. Tuan Penolong menyusuri lorong-lorong gelap dengan langkah ringan, memastikan dirinya tetap tak terlihat.Dengan langkah pasti, lelaki yang belum terungkap latar belakangnya itu menyelinap masuk melalui jalur kecil di belakang pasar utama, menuju kediaman Dyah Wisesa, salah satu bangsawan yang selama ini ia curigai terlibat dalam kekacauan yang menimpa dirinya bersama Seta, Prabangkara dan Ki Baswara.Ketika ia mencapai gerbang besar kediaman itu, dua sosok berkuda keluar dengan tergesa-gesa. Mereka mengenakan jubah sederhana, tetapi gerak-geriknya menunjukkan bahwa mereka bukan orang biasa. Kuda mereka berpacu cepat, meninggalkan debu yang mengepul di udara.Tuan Penolong mengintip dari balik bayangan. "Siapa mereka?" gumamnya lirih.Mulanya ia sempat mempertimbangkan untuk tetap menyusup masuk ke kediaman Dyah Wisesa, tetapi rasa ingin tahu dan nalurinya mengatakan bahwa kedua ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 143

    Malam masih menyelimuti Kotaraja. Dengan kesabaran dan ketenangan seorang yang telah lama terbiasa bergerak dalam bayang-bayang, Tuan Penolong menyusup lebih jauh ke dalam lingkungan kediaman Dyah Wisesa.Jalan setapak kecil di sisi tembok membawa dirinya ke sebuah sudut gelap yang memberikan pandangan jelas ke halaman depan kediaman itu. Ia mengamati dengan cermat, mencoba mencari petunjuk yang dapat memperjelas keterlibatan Dyah Wisesa dalam kematian Rakryan Tumenggung.Namun perhatian Tuan Penolong teralihkan ketika suara derap kuda terdengar di kejauhan. Ia mendekam lebih dalam ke bayangan tembok, matanya menyipit mencoba mencari tahu siapa yang datang.Sebuah pasukan kecil, terdiri dari sekitar dua puluh prajurit, berhenti di depan gerbang kediaman Dyah Wisesa. Pasukan itu dipimpin oleh seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian khas pejabat militer—Rakryan Rangga, wakil panglima kerajaan yang kini menggantikan posisi Rakryan Tumenggung untuk sementar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 144

    Langit di atas istana Jenggala tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hati Sri Prabu Girindra yang gelisah. Di dalam balairung agung, Sang Prabu duduk di atas singgasananya yang megah, didampingi Rakryan Demung, kepala rumah tangga istana yang selama ini setia berada di sisinya.Aura kewibawaan Sri Prabu Girindra terlihat jelas, tetapi ada bayang-bayang murka di matanya. Ia menunggu kedatangan Rakryan Rangga, yang baru kembali dari kediaman Dyah Wisesa.Rakryan Rangga melangkah masuk dengan penuh hormat. Ia berhenti di hadapan singgasana, membungkukkan tubuhnya dalam sembah. “Ampun, Baginda. Hamba kembali membawa laporan dari kediaman Dyah Wisesa.”Sri Prabu Girindra memberi isyarat agar ia berdiri. “Bicaralah. Apa yang kau temui di sana?”Rakryan Rangga menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Baginda, hamba telah menyampaikan perintah agar Dyah Wisesa segera menghadap ke istana untuk menjelaskan keterlibatannya dalam

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status