Malam masih menyelimuti Kotaraja. Dengan kesabaran dan ketenangan seorang yang telah lama terbiasa bergerak dalam bayang-bayang, Tuan Penolong menyusup lebih jauh ke dalam lingkungan kediaman Dyah Wisesa.
Jalan setapak kecil di sisi tembok membawa dirinya ke sebuah sudut gelap yang memberikan pandangan jelas ke halaman depan kediaman itu. Ia mengamati dengan cermat, mencoba mencari petunjuk yang dapat memperjelas keterlibatan Dyah Wisesa dalam kematian Rakryan Tumenggung.
Namun perhatian Tuan Penolong teralihkan ketika suara derap kuda terdengar di kejauhan. Ia mendekam lebih dalam ke bayangan tembok, matanya menyipit mencoba mencari tahu siapa yang datang.
Sebuah pasukan kecil, terdiri dari sekitar dua puluh prajurit, berhenti di depan gerbang kediaman Dyah Wisesa. Pasukan itu dipimpin oleh seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian khas pejabat militer—Rakryan Rangga, wakil panglima kerajaan yang kini menggantikan posisi Rakryan Tumenggung untuk sementar
Langit di atas istana Jenggala tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hati Sri Prabu Girindra yang gelisah. Di dalam balairung agung, Sang Prabu duduk di atas singgasananya yang megah, didampingi Rakryan Demung, kepala rumah tangga istana yang selama ini setia berada di sisinya.Aura kewibawaan Sri Prabu Girindra terlihat jelas, tetapi ada bayang-bayang murka di matanya. Ia menunggu kedatangan Rakryan Rangga, yang baru kembali dari kediaman Dyah Wisesa.Rakryan Rangga melangkah masuk dengan penuh hormat. Ia berhenti di hadapan singgasana, membungkukkan tubuhnya dalam sembah. “Ampun, Baginda. Hamba kembali membawa laporan dari kediaman Dyah Wisesa.”Sri Prabu Girindra memberi isyarat agar ia berdiri. “Bicaralah. Apa yang kau temui di sana?”Rakryan Rangga menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Baginda, hamba telah menyampaikan perintah agar Dyah Wisesa segera menghadap ke istana untuk menjelaskan keterlibatannya dalam
Sementara itu, nun jauh dari Kotaraja....Mentari baru saja tenggelam di kaki langit barat, meninggalkan sisa-sisa kehangatan yang terasa samar di jalanan berbatu. Kuda-kuda yang ditunggangi Seta dan Ki Baswara melaju perlahan, menyusuri jalur sempit yang membelah bukit dan lembah.Seta yang tampak lebih segar setelah istirahat singkat di sebuah pondok sebelumnya, memecah keheningan perjalanan dengan sebuah pertanyaan."Ki, siapa sebenarnya yang hendak kita temui di Hantang nanti? Sejak awal perjalanan, kau hanya menyebut bahwa dia bisa dipercaya tanpa memberiku banyak penjelasan. Bahkan sebuah nama tak kau sebut."Ki Baswara menoleh sebentar, kemudian menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku sejujurnya juga belum pernah bertemu muka dengannya, Seta. Tetapi aku mendapatkan namanya dari seorang kawan lama yang masih setia kepada Sri Prabu Girindra. Orang ini diyakini berada di pihak kita.”Mendengar jawaban itu, Seta mengerutkan keni
“Ada apa, Ranuwijaya? Kenapa kau ke sini pagi-pagi buta begini?” tanya pria itu dengan suara rendah tetapi tegas.“Aku harus melaporkan sesuatu, Tunggul,” jawab Ki Ranuwijaya, suaranya terdengar gugup. “Ada dua orang yang baru saja tiba di rumahku. Salah satunya adalah Seta, prajurit muda kita yang sempat dirundung masalah besar itu.""Hmm, dia datang ke rumahmu untuk menumpang karena rumahnya sudah terbakar habis, begitu?" tanya Ki Tunggul, lelaki yang didatangi Ki Ranuwijaya."Bukan begitu," tukas Ki Ranuijaya. "Dia datang mengantar seseoang yang ... aku yakin itu yang bernama Ki Baswara, buronan yang sedang dicari-cari kerajaan.”Mata Ki Tunggul menyipit. “Ki Baswara? Kau yakin?”“Tentu saja. Dia memang tidak menyebut dirinya secara langsung, tetapi Seta yang memperkenalkannya dengan nama itu. Lalu mengenai peristiwa pengepungan Lembah Rengganis itu, Seta juga berkata akan menceritakannya pad
Ruangan rumah Ki Ranuwijaya yang sempit kini menjadi medan pertempuran sengit. Denting senjata, teriakan, dan suara benda-benda jatuh menciptakan hiruk-pikuk yang seakan mengguncang dinding rapuh rumah itu.Seta dan Ki Baswara berusaha keras bertahan melawan delapan orang yang terus mengepung mereka, mencoba mengatasi kelelahan dan kurang tidur yang turut menggerogoti daya juang mereka.Seta, dengan napas yang mulai memburu, melompat menghindari tebasan parang seorang lawan. Ia membalas dengan mengayunkan pedangnya, membuat lawan terpaksa mundur.Di sisi lain ruangan, Ki Baswara menghadapi dua orang sekaligus dengan hanya berbekal tongkat kayu. Meskipun usianya sudah tua, tongkat itu bergerak lincah, memukul tangan salah satu penyerang hingga senjatanya terlepas.Namun keunggulan jumlah di pihak lawan lambat laun mulai terasa.“Sial!” Seta mengumpat saat salah satu lawan berhasil menyerang kakinya. Sebuah tendangan keras membuatnya terh
Roda gerobak bergemeretak di atas jalan berbatu. Seta dan Ki Baswara duduk bersebelahan di bak terbuka itu, tangan mereka masih terikat erat.Matahari belum sepenuhnya muncul. Pagi yang dingin menyelimuti perjalanan mereka, sementara bulan sabit yang cahayanya mulai memudar tengah bersiap meninggalkan langit.Seta menghela napas panjang, mengendurkan bahu yang terasa kaku akibat tali pengikat. Ia memalingkan wajah ke arah Ki Baswara yang diam memandang ke kejauhan.“Ki,” gumam Seta tiba-tiba, suaranya berat tetapi bercampur nada geli, “kau sadar sesuatu?""Apa itu?" sahut Ki Baswara tanpa mengangkat wajah."Kau telah menempuh perjalanan panjang meninggalkan Kotaraja untuk bersembunyi di Lembah Rengganis, lalu pergi ke Hantang hanya untuk... dibawa kembali ke Kotaraja,” kata Seta lagi, sembari tersenyum getir.Ki Baswara menoleh, lalu tersenyum samar. “Begitulah jalan kehidupan manusia, Seta. Tapi aku harus menga
Embun pagi masih menyelimuti Teluk Lawa ketika Ki Sajiwa bersiap meninggalkan tempat itu. Hatinya resah karena Seta sudah terlalu lama pergi tanpa kabar.Kalau Seta pergi sekadar pergi, Ki Sajiwa tak akan secemas ini. Akan tetapi muridnya itu membawa surat yang ia titipkan untuk disampaikan kepada Ki Baswara, dan itu tak kunjung mendapat balasan.“Tidak biasanya Seta seperti ini,” gumam Ki Sajiwa pelan, sambil menepuk leher kudanya yang mulai bergerak meninggalkan pantai. “Apa sesuatu telah terjadi padanya di Kotaraja sana?”Dengan keyakinan yang didorong oleh kekhawatiran, Ki Sajiwa memutuskan untuk menyusul ke Kotaraja. Ia berharap bisa mencari tahu apa yang sedang terjadi, baik pada Seta maupun Ki Baswara.Perjalanan panjang itu berlangsung tanpa halangan berarti, hingga matahari mulai naik ke puncak langit. Ki Sajiwa tiba di sebuah penginapan yang terletak di pinggir jalan utama menuju Kotaraja.Namun suasana di tempat i
Di dalam kemahnya yang besar dan luas, Arya Jatikusuma memutar langkah dengan perlahan, dengan sengaja membangun tekanan pada Sitadewi. Membuat perempuan itu tersudut, matanya penuh dengan ketakutan.Sementara itu, Arya Jatikusuma yang merasa memegang kendali penuh semakin mendesaknya dengan berbagai tuduhan tentang keterlibatan Seta."Seta pasti menceritakan sesuatu padamu, bukan?" ujarnya memulai desakan dalam tanya. "Aku yakin ia tidak sekadar bermalam. Kau tahu siapa yang ia temui, dan kau tahu rahasianya. Cepat katakan padaku!"Sitadewi menggeleng. Diam-diam ia mulai bersiaga jika ternyata ketakutannya menjadi kenyataan.Bagaimanapun Sitadewi menyadari jika dirinya seorang jalir, seorang perempuan pemuas hasrat lelaki. Apa yang direncanakan seorang lelaki seperti Arya Jatikusuma dengan membawanya kemari kalau bukan...."Jangan dusta!" sentak Arya Jatikusuma, memutus dugaan buruk di dalam kepala Sitadewi."Aku tidak tahu apa-apa, Senopat
Arya Jatikusuma berdiri di ambang pintu kemahnya. Paras senopati Jenggala itu merah padam karena amarah yang terpendam.Dengan sorot mata tajam, Arya Jatikusuma memandang Ki Sajiwa yang tetap tenang meski berhadapan langsung dengannya. Keduanya saling menatap, seperti dua raksasa yang siap bertarung kapan saja. Namun, kali ini bukan otot yang beradu, melainkan kata-kata."Baiklah," kata Arya Jatikusuma akhirnya, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Aku membiarkan kau membawa perempuan itu pergi. Tapi kau harus memastikan satu hal: jangan bawa cerita ini ke Istana. Namaku tak boleh tercemar hanya karena perbuatan sepele seperti ini."Ki Sajiwa menyipitkan matanya, tersenyum kecil yang lebih bernada ejekan daripada persetujuan."Aku tak mau menjanjikan apa-apa padamu. Tapi jika kau ingin nama baikmu tetap bersih, lebih baik kau menata kembali kelakuanmu," sahutnya petapa asal Teluk Lawa itu."Oya, satu lagi. Aku butuh satu kuda tambahan. Anggap saja
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan