Arya Jatikusuma berdiri di ambang pintu kemahnya. Paras senopati Jenggala itu merah padam karena amarah yang terpendam.
Dengan sorot mata tajam, Arya Jatikusuma memandang Ki Sajiwa yang tetap tenang meski berhadapan langsung dengannya. Keduanya saling menatap, seperti dua raksasa yang siap bertarung kapan saja. Namun, kali ini bukan otot yang beradu, melainkan kata-kata.
"Baiklah," kata Arya Jatikusuma akhirnya, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Aku membiarkan kau membawa perempuan itu pergi. Tapi kau harus memastikan satu hal: jangan bawa cerita ini ke Istana. Namaku tak boleh tercemar hanya karena perbuatan sepele seperti ini."
Ki Sajiwa menyipitkan matanya, tersenyum kecil yang lebih bernada ejekan daripada persetujuan.
"Aku tak mau menjanjikan apa-apa padamu. Tapi jika kau ingin nama baikmu tetap bersih, lebih baik kau menata kembali kelakuanmu," sahutnya petapa asal Teluk Lawa itu.
"Oya, satu lagi. Aku butuh satu kuda tambahan. Anggap saja
Ki Sajiwa menghentikan kudanya di tepi Bengawan Sigarada, sebuah sungai lebar yang mengalir tenang tetapi menyimpan arus deras di bagian tengahnya. Aliran air itu memotong jalan tanah menuju Turyantapada.Jika ingin meneruskan perjalanan ke selatan, maka harus menumpang rakit menyeberangi bengawan. Seorang juru rakit tak seberapa jauh dari Ki Sajiwa dan Sitadewi tampak memperhatikan, berharap-harap mendapat tumpangan.Pagi menjelang siang itu, kabut tipis di atas air mulai menguap, memberi pemandangan perbukitan kecil di seberang bengawan. Ki Sajiwa memandang ke arah Sitadewi yang berdiri di belakangnya, wajahnya masih menyiratkan kebimbangan."Hanya sampai di sini aku bisa mengantarmu, Nisanak. Selebihnya, kau harus melanjutkan perjalanan sendiri ke Turyantapada," ujar Ki Sajiwa dengan nada tegas namun tetap ramah.Sitadewi mengangguk, meski jelas tampak ragu. "Apakah Kisanak benar-benar tidak bisa menemani sampai sedikit lebih jauh? Perjalanan ini cukup
Di atas gerobak yang berguncang perlahan, Seta termenung. Tangannya yang terikat di belakang tubuh terasa nyeri.Namun lebih dari itu, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang membayang di hadapannya. Ia menatap jalan tanah berdebu yang membentang di depan, sesekali melirik ke arah Ki Baswara yang duduk diam di sebelahnya.“Tuan Penolong...” gumam Seta perlahan, cukup untuk membuat Ki Baswara mengangkat kepala.“Apa kau bilang?” tanya Ki Baswara, sambil menyipitkan mata.“Tuan Penolong itu,” ulang Seta, kini suaranya lebih jelas. “Orang yang muncul di tengah-tengah kekacauan ini. Orang yang selalu saja tiba-tiba datang membantuku, membantu kita keluar dari Lembah Rengganis. Siapa sebenarnya dia? Bagaimana kau bisa mengenalnya, Ki?”Ki Baswara tersenyum tipis, senyum yang seolah sudah dipersiapkan untuk pertanyaan seperti itu.“Dia bukan orang sembarangan, Seta, itu yang pasti. A
Nama itu membuat Ki Tunggul langsung memasang sikap siaga. Sorot matanya berubah saat mendengar nama yang begitu akrab di telinganya.Senopati Wira Tunggala seingatnya adalah salah satu orang kepercayaan Dyah Wisesa. Bukanlah seseorang yang bisa diremehkan begitu saja, tetapi sebagai orang satu kubu ia merasa tak perlu khawatir.Sementara Seta dan Ki Baswara yang mendengarkan percakapan itu dari atas gerobak saling melirik. Seta menajamkan pendengarannya, mencuri setiap kata yang diucapkan di antara kedua lelaki itu."Senopati itu kaki tangan Dyah Wisesa," ucap Ki Baswara perlahan, tetapi Seta dapat mendengarnya dengan jeas.“Dyah Wisesa lagi,” gumam Seta dengan suara yang juga pelan.“Kau lihat sekarang, pengaruhnya sudah menyusup jauh ke dalam,” lanjut Ki Baswara dengan nada penuh penyesalan. “Kita akan tahu apa yang terjadi sebentar lagi.”Sementara itu, Senopati Wira Tunggala melangkah mendekati geroba
Saat para prajurit mendekati gerobak untuk memindahkan tahanan, mereka dibuat terperangah. Tali yang semula mengikat Seta dan Ki Baswara telah terputus, dan kedua tawanan itu menghilang. Hanya suara jangkrik di kejauhan yang memecah keheningan.“Sang Hyang Jagat!” seru salah seorang prajurit. “Mereka kabur!”Senopati Wira Tunggala yang berdiri di sisi jalan langsung memutar tubuhnya dengan gerakan tajam.“Apa maksudmu mereka kabur?” Ia melangkah cepat menuju gerobak, matanya menyapu tempat itu. Kekosongan di dalam gerobak membuat amarahnya mendidih.“Kalian semua bodoh!” bentaknya, suaranya menggema hingga membuat prajurit-prajuritnya tersentak mundur. “Segera cari mereka! Mereka pasti belum pergi jauh dari sini!”Tanpa menunggu perintah kedua, para prajurit menyebar ke segala arah dengan sikap waspada.Senjata terhunus di tangan masing-masing dari mereka.Hutan di sekitar perbatasan
Di dalam Balairung Agung Istana Jenggala di Kotaraja, siang yang berangsur turun ditemani suara lembut gemericik air dari taman istana.Sri Prabu Girindra duduk di singgasananya, wajahnya tampak murung namun penuh pertimbangan. Di hadapannya, Rakryan Demung dengan sikap penuh hormat tengah melaporkan keadaan kerajaan dan mengusulkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperkuat pertahanan kerajaan.“Gusti Prabu,” ujar Rakryan Demung. “Setelah jabatan Rakryan Tumenggung kosong beberapa hari ini, sudah selayaknya kerajaan membutuhkan seorang panglima baru yang tangguh dan dihormati.”Sri Prabu Girindra mengangguk perlahan. “Benar, aku juga merasakan kekosongan itu. Maka aku memanggilmu untuk memberikan saran. Siapa menurutmu yang layak mengisi posisi ini?”Rakryan Demung terdiam sejenak sebelum menjawab. “Hamba berpandangan, Gusti Prabu, bahwa Rakryan Rangga saat ini sudah menunjukkan kelayakannya untuk dinaik
Sepeninggal Rakryan Demung, Dyah Daru duduk bersila di hadapan Sri Prabu Girindra di balairung kecil istana. Wajahnya tetap tenang, meski percakapan tadi telah mengusik pikirannya.Kini, dalam lanjutan obrolannya bersama Sri Prabu Girindra, nama Seta muncul. Dyah Daru yang mendengarkan setiap ucapan dengan seksama langsung memahami bahwa murid Ki Sajiwa itu bukan orang sembarangan di mata kakaknya.“Jadi, Kakanda hendak menugaskan Seta untuk menjaga Nakmas Sasi Kirana dan cucumu di istana Panjalu?” tanya Dyah Daru, mencoba memastikan.Sri Prabu Girindra mengangguk. “Seta bukan sekadar prajurit muda. Dari laporan yang aku kumpulkan, dia memiliki kecerdasan, keberanian, dan kesetiaan yang langka. Aku ingin seseorang seperti dia melindungi keluargaku di Panjalu. Apalagi saat ini hubungan kita dengan Panjalu sedang rentan akibat ketegangan yang mulai terjadi.”Dyah Daru mengangguk perlahan. “Pilihan yang bijak, Kakanda. Namun, ap
Langit Kotaraja yang mendung tidak mengurangi hiruk-pikuk pasar pagi itu. Ki Sajiwa, dengan langkah tenang namun penuh perhitungan, menyusuri keramaian menuju sebuah lapak pedagang kuda.Setelah menimbang-nimbang, Ki Sajiwa telah memutuskan untuk menjual kudanya. Pada pikirnya, ini langkah tepat agar gerakannya lebih leluasa dan sekaligus untuk menyamarkan kehadirannya di tengah Kotaraja yang banyak mata-mata."Aku mau menjual kuda ini," ujar Ki Sajiwa dengan suara tenang kepada seorang pedagang.Pedagang itu mengangguk-angguk sambil memeriksa kuda jantan hitam yang gagah itu. Terdengar decakan kagum dari mulut si lelaki."Kuda ini luar biasa, Kisanak. Harganya tentu sangat tinggi," kata pedagang tersebut.Ki Sajiwa tersenyum senang. "Baguslah kalau memang dihargai tinggi. Apakah bisa kau berikan aku dua ratus tael?" tanyanya.Ganti si pedagang kuda yang tertawa. "Ah, tidak setinggi itu juga, Ki.Di pasar ini, jarang ada pembeli yang ma
Ki Sajiwa terus membuntuti dua prajurit di hadapannya. Sampai kemudian tiba di sebuah persimpangan jalan, kedua prajurit itu berpisah jalan.Hal ini membuat Ki Sajiwa tertegun sejenak, sebelum kemudian ia memilih berbelok. Petapa tersebut meyakinkan diri sendiri tengah mengikuti orang yang tepat, yakni yang tadi mengaku melihat langsung Ki Baswara dibawa oleh Senopati Wira Tunggala.Langkah Ki Sajiwa mantap, meski pikirannya penuh dugaan dan berbagai pertanyaan."Jika dia benar-benar tahu tentang penangkapan itu, aku harus bisa mendapatkan keterangan sebanyak mungkin dari prajurit itu," pikirnya.Beberapa jarak kemudian, prajurit yang dibuntuti berhenti di depan sebuah penginapan kecil di pinggir jalan. Bangunannya sederhana, tetapi cukup bersih, dengan lampu minyak menggantung di beranda.Ki Sajiwa memperhatikan dari kejauhan, menyembunyikan diri di balik pohon rindang. Dilihatnya seorang perempuan muda dengan wajah berseri menyambut si prajurit d
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan