Sepeninggal Rakryan Demung, Dyah Daru duduk bersila di hadapan Sri Prabu Girindra di balairung kecil istana. Wajahnya tetap tenang, meski percakapan tadi telah mengusik pikirannya.
Kini, dalam lanjutan obrolannya bersama Sri Prabu Girindra, nama Seta muncul. Dyah Daru yang mendengarkan setiap ucapan dengan seksama langsung memahami bahwa murid Ki Sajiwa itu bukan orang sembarangan di mata kakaknya.
“Jadi, Kakanda hendak menugaskan Seta untuk menjaga Nakmas Sasi Kirana dan cucumu di istana Panjalu?” tanya Dyah Daru, mencoba memastikan.
Sri Prabu Girindra mengangguk. “Seta bukan sekadar prajurit muda. Dari laporan yang aku kumpulkan, dia memiliki kecerdasan, keberanian, dan kesetiaan yang langka. Aku ingin seseorang seperti dia melindungi keluargaku di Panjalu. Apalagi saat ini hubungan kita dengan Panjalu sedang rentan akibat ketegangan yang mulai terjadi.”
Dyah Daru mengangguk perlahan. “Pilihan yang bijak, Kakanda. Namun, ap
Langit Kotaraja yang mendung tidak mengurangi hiruk-pikuk pasar pagi itu. Ki Sajiwa, dengan langkah tenang namun penuh perhitungan, menyusuri keramaian menuju sebuah lapak pedagang kuda.Setelah menimbang-nimbang, Ki Sajiwa telah memutuskan untuk menjual kudanya. Pada pikirnya, ini langkah tepat agar gerakannya lebih leluasa dan sekaligus untuk menyamarkan kehadirannya di tengah Kotaraja yang banyak mata-mata."Aku mau menjual kuda ini," ujar Ki Sajiwa dengan suara tenang kepada seorang pedagang.Pedagang itu mengangguk-angguk sambil memeriksa kuda jantan hitam yang gagah itu. Terdengar decakan kagum dari mulut si lelaki."Kuda ini luar biasa, Kisanak. Harganya tentu sangat tinggi," kata pedagang tersebut.Ki Sajiwa tersenyum senang. "Baguslah kalau memang dihargai tinggi. Apakah bisa kau berikan aku dua ratus tael?" tanyanya.Ganti si pedagang kuda yang tertawa. "Ah, tidak setinggi itu juga, Ki.Di pasar ini, jarang ada pembeli yang ma
Ki Sajiwa terus membuntuti dua prajurit di hadapannya. Sampai kemudian tiba di sebuah persimpangan jalan, kedua prajurit itu berpisah jalan.Hal ini membuat Ki Sajiwa tertegun sejenak, sebelum kemudian ia memilih berbelok. Petapa tersebut meyakinkan diri sendiri tengah mengikuti orang yang tepat, yakni yang tadi mengaku melihat langsung Ki Baswara dibawa oleh Senopati Wira Tunggala.Langkah Ki Sajiwa mantap, meski pikirannya penuh dugaan dan berbagai pertanyaan."Jika dia benar-benar tahu tentang penangkapan itu, aku harus bisa mendapatkan keterangan sebanyak mungkin dari prajurit itu," pikirnya.Beberapa jarak kemudian, prajurit yang dibuntuti berhenti di depan sebuah penginapan kecil di pinggir jalan. Bangunannya sederhana, tetapi cukup bersih, dengan lampu minyak menggantung di beranda.Ki Sajiwa memperhatikan dari kejauhan, menyembunyikan diri di balik pohon rindang. Dilihatnya seorang perempuan muda dengan wajah berseri menyambut si prajurit d
Ki Sajiwa berjalan dengan langkah mantap menuju kediaman Senopati Wira Tunggala di sisi barat Kotaraja. Rumah besar itu berdiri megah, dijaga ketat oleh prajurit bersenjata.Meski prajurit bertebaran di mana-mana, Ki Sajiwa tidak gentar. Pengalaman dan kemampuannya membuat ia yakin bisa menyusup tanpa diketahui siapapun."Hmm, sebaiknya aku menunggu hingga gelap datang. Seharusnya tidak lama lagi," guman Ki Sajiwa, sembari mengamati keadaan.Dalam gelap, penjagaan di lingkungan puri akan lebih longgar. Selain karena pandangan para prajurit terhalang kegelapan, sebagian dari mereka juga mulai mengantuk.Maka begitu mentari terlelap di peraduannya, dengan gerakan ringan dan nyaris tanpa suara Ki Sajiwa memanjat tembok belakang kediaman itu. Ia berhasil masuk tanpa ada seorang pun yang menyadari.Ki Sajiwa memeriksa setiap ruangan di rumah besar itu dengan teliti. Dari kamar utama hingga ruang rapat kecil, ia mengendap-endap, menghindari penjaga yang
Dalam senyap, Ki Sajiwa bersembunyi di ruangan kecil dekat balairung. Ia menajamkan pendengaran dan daun telinganya menangkap pembicaraan antara Dyah Wisesa dan Rakryan Rangga yang baru saja tiba."Gusti, titah Sri Prabu adalah titah yang tak bisa diabaikan," kata Rakryan Rangga dengan nada tegas. "Beliau menunggu kehadiran Gusti sekarang juga di balairung agung. Gusti harus menghadap, sesuai pesan yang hamba sampaikan kemarin."Dyah Wisesa tampak enggan. "Malam-malam begini?" sahutnya malas. "Tidakkah Sri Prabu bisa menunggu sampai esok pagi? Lagi pula, aku sibuk mengurus hal-hal penting di puriku ini."Rakryan Rangga mengerutkan dahi. "Gusti, menunda titah Sri Prabu hanya akan menyebabkan kecurigaan beliau bertambah besar. Gusti tentu tahu, Sri Prabu sudah mencium banyak hal tak beres di Kotaraja yang semuanya mengarah padamu."Dyah Wisesa hendak membalas, tetapi Senopati Wira Tunggala membisikkan sesuatu di telinganya. Meskipun Ki Sajiwa tak bisa mende
"Ayo, apa yang ingin kau lakukan terhadapku?" ujar Ki Sajiwa yang berdiri dalam keadaan siaga. Kedua tangannya tetap di sisi tubuh, meski kewaspadaan terpancar jelas dari tatapan matanya.Di depannya, Senopati Wira Tunggala menghunus pedang, wajahnya penuh amarah yang tertahan. Suasana halaman belakang puri yang tadinya hening berubah tegang."Kisanak," kata Senopati Wira Tunggala dengan nada berat, "kau berani menyusup ke dalam puri Dyah Wisesa dan mencoba membebaskan tahanan kerajaan. Perbuatanmu setara dengan pengkhianatan terhadap takhta kerajaan."Ki Sajiwa tersenyum tipis, menampakkan ketenangan yang berlawanan dengan keadaan di sekitarnya yang bertambah gawat."Dari dandananmu, aku yakin kau seorang senopati," sahut Ki Sajiwa, masih dengan sikap acuh tak acuh. "Ketahuilah, aku tidak datang untuk melawan kerajaan. Aku datang hanya untuk menyelamatkan seorang sahabat, Ki Baswara, dan muridku, Seta. Mereka bukan pemberontak, sehingga tidak layak ditah
Ki Sajiwa bergerak dengan gesit melewati lorong sempit yang dingin dan lembap. Suara langkah kakinya nyaris tak terdengar, menyatu dengan bayangan yang menempel di dinding.Setibanya di satu tempat yang terdapat deretan pintu-pintu bergembok besi, Ki Sajiwa menghentikan langkah. Ia mengamati keadaan, sembari menajamkan pendengaran untuk menangkap suara-suara yang dapat dijadikan petunjuk.Sekejap berselang Ki Sajiwa mendekati salah satu pintu ruang tahanan, lalu mengintip melalui celah kecil di sana. Tidak salah! Ia menemukan Seta yang duduk bersila di lantai, tampak letih namun masih memancarkan semangat."Seta," bisik Ki Sajiwa, membuat muridnya itu menoleh kaget."G-guru!" Seta setengah berdiri, matanya membelalak antara heran dan lega. "Bagaimana kau bisa di sini? Apa yang terjadi? Apakah—"Ki Sajiwa mengangkat tangan, memotong rentetan pertanyaan muridnya."Cerewet sekali kau ini, seperti ibu-ibu di pasar menawar dagangan saja!" g
Senopati Wira Tunggala berdiri dengan gagah di hadapan Ki Sajiwa, memutar pedang panjangnya untuk memamerkan keahlian. Sementara itu, Ki Sajiwa hanya berdiri tenang, satu tangan di belakang punggungnya, wajahnya seperti memandang seseorang yang ingin bermain-main."Kisanak, malam ini kau akan menyesal telah meremehkan kekuatan seorang senopati Jenggala!" seru Senopati Wira Tunggala jemawa.Ki Sajiwa tak dapat menahan tawa mendengar ucapan tersebut. Sebelum sempat ia menanggapi, Seta sudah melangkah maju dengan sigap. Tangan wira tamtama itu menggenggam tombak pendek, menatap langsung ke arah sang senopati."Senopati Wira Tunggala," ujar Seta dengan suara tegas, "jika kau ingin menumpahkan darah, lawanlah aku. Jangan guruku, dia bukan lawan sepadan bagimu."Senopati Wira Tunggala menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil dengan nada mengejek. "Kau hanya seorang wira tamtama, Anak Muda! Apa kau pikir aku mau membuang waktu melawan bocah ingusan sepertimu?"
Sri Prabu Girindra duduk di singgasananya dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Raut wajahnya tampak bersungguh-sungguh, dengan kedua mata tajam memandang ke arah Dyah Wisesa yang baru tiba di balairung istana.Para pejabat istana dan bangsawan yang hadir saling berbisik pelan, menyadari ketegangan yang terasa di ruangan itu."Wisesa adikku," ujar Sri Prabu Girindra, suaranya tegas namun tenang. "Aku tidak akan berbasa-basi denganmu, jadi mari langsung saja kita buka pembicaraan ini langsung kepada inti permasalahan."Dyah Wisesa menunduk hormat. "Silakan, Kakang Prabu," sahutnya takzim."Aku mendengar berbagai kabar yang mencemarkan nama keluargamu—dan, pada akhirnya, nama Jenggala. Aku harap kau bisa memberi penjelasan yang memuaskan kepadaku," kata Sri Prabu lagi."Hamba dengan senang hati akan menjelaskan semuanya, Kakang Prabu. Namun harus Kakang Prabu ingat, fitnah dan kabar angin itu hanya mengotori istana. Semua tuduhan terhadap hamba a
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela