Di dalam Balairung Agung Istana Jenggala di Kotaraja, siang yang berangsur turun ditemani suara lembut gemericik air dari taman istana.
Sri Prabu Girindra duduk di singgasananya, wajahnya tampak murung namun penuh pertimbangan. Di hadapannya, Rakryan Demung dengan sikap penuh hormat tengah melaporkan keadaan kerajaan dan mengusulkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperkuat pertahanan kerajaan.
“Gusti Prabu,” ujar Rakryan Demung. “Setelah jabatan Rakryan Tumenggung kosong beberapa hari ini, sudah selayaknya kerajaan membutuhkan seorang panglima baru yang tangguh dan dihormati.”
Sri Prabu Girindra mengangguk perlahan. “Benar, aku juga merasakan kekosongan itu. Maka aku memanggilmu untuk memberikan saran. Siapa menurutmu yang layak mengisi posisi ini?”
Rakryan Demung terdiam sejenak sebelum menjawab. “Hamba berpandangan, Gusti Prabu, bahwa Rakryan Rangga saat ini sudah menunjukkan kelayakannya untuk dinaik
Sepeninggal Rakryan Demung, Dyah Daru duduk bersila di hadapan Sri Prabu Girindra di balairung kecil istana. Wajahnya tetap tenang, meski percakapan tadi telah mengusik pikirannya.Kini, dalam lanjutan obrolannya bersama Sri Prabu Girindra, nama Seta muncul. Dyah Daru yang mendengarkan setiap ucapan dengan seksama langsung memahami bahwa murid Ki Sajiwa itu bukan orang sembarangan di mata kakaknya.“Jadi, Kakanda hendak menugaskan Seta untuk menjaga Nakmas Sasi Kirana dan cucumu di istana Panjalu?” tanya Dyah Daru, mencoba memastikan.Sri Prabu Girindra mengangguk. “Seta bukan sekadar prajurit muda. Dari laporan yang aku kumpulkan, dia memiliki kecerdasan, keberanian, dan kesetiaan yang langka. Aku ingin seseorang seperti dia melindungi keluargaku di Panjalu. Apalagi saat ini hubungan kita dengan Panjalu sedang rentan akibat ketegangan yang mulai terjadi.”Dyah Daru mengangguk perlahan. “Pilihan yang bijak, Kakanda. Namun, ap
Langit Kotaraja yang mendung tidak mengurangi hiruk-pikuk pasar pagi itu. Ki Sajiwa, dengan langkah tenang namun penuh perhitungan, menyusuri keramaian menuju sebuah lapak pedagang kuda.Setelah menimbang-nimbang, Ki Sajiwa telah memutuskan untuk menjual kudanya. Pada pikirnya, ini langkah tepat agar gerakannya lebih leluasa dan sekaligus untuk menyamarkan kehadirannya di tengah Kotaraja yang banyak mata-mata."Aku mau menjual kuda ini," ujar Ki Sajiwa dengan suara tenang kepada seorang pedagang.Pedagang itu mengangguk-angguk sambil memeriksa kuda jantan hitam yang gagah itu. Terdengar decakan kagum dari mulut si lelaki."Kuda ini luar biasa, Kisanak. Harganya tentu sangat tinggi," kata pedagang tersebut.Ki Sajiwa tersenyum senang. "Baguslah kalau memang dihargai tinggi. Apakah bisa kau berikan aku dua ratus tael?" tanyanya.Ganti si pedagang kuda yang tertawa. "Ah, tidak setinggi itu juga, Ki.Di pasar ini, jarang ada pembeli yang ma
Ki Sajiwa terus membuntuti dua prajurit di hadapannya. Sampai kemudian tiba di sebuah persimpangan jalan, kedua prajurit itu berpisah jalan.Hal ini membuat Ki Sajiwa tertegun sejenak, sebelum kemudian ia memilih berbelok. Petapa tersebut meyakinkan diri sendiri tengah mengikuti orang yang tepat, yakni yang tadi mengaku melihat langsung Ki Baswara dibawa oleh Senopati Wira Tunggala.Langkah Ki Sajiwa mantap, meski pikirannya penuh dugaan dan berbagai pertanyaan."Jika dia benar-benar tahu tentang penangkapan itu, aku harus bisa mendapatkan keterangan sebanyak mungkin dari prajurit itu," pikirnya.Beberapa jarak kemudian, prajurit yang dibuntuti berhenti di depan sebuah penginapan kecil di pinggir jalan. Bangunannya sederhana, tetapi cukup bersih, dengan lampu minyak menggantung di beranda.Ki Sajiwa memperhatikan dari kejauhan, menyembunyikan diri di balik pohon rindang. Dilihatnya seorang perempuan muda dengan wajah berseri menyambut si prajurit d
Ki Sajiwa berjalan dengan langkah mantap menuju kediaman Senopati Wira Tunggala di sisi barat Kotaraja. Rumah besar itu berdiri megah, dijaga ketat oleh prajurit bersenjata.Meski prajurit bertebaran di mana-mana, Ki Sajiwa tidak gentar. Pengalaman dan kemampuannya membuat ia yakin bisa menyusup tanpa diketahui siapapun."Hmm, sebaiknya aku menunggu hingga gelap datang. Seharusnya tidak lama lagi," guman Ki Sajiwa, sembari mengamati keadaan.Dalam gelap, penjagaan di lingkungan puri akan lebih longgar. Selain karena pandangan para prajurit terhalang kegelapan, sebagian dari mereka juga mulai mengantuk.Maka begitu mentari terlelap di peraduannya, dengan gerakan ringan dan nyaris tanpa suara Ki Sajiwa memanjat tembok belakang kediaman itu. Ia berhasil masuk tanpa ada seorang pun yang menyadari.Ki Sajiwa memeriksa setiap ruangan di rumah besar itu dengan teliti. Dari kamar utama hingga ruang rapat kecil, ia mengendap-endap, menghindari penjaga yang
Dalam senyap, Ki Sajiwa bersembunyi di ruangan kecil dekat balairung. Ia menajamkan pendengaran dan daun telinganya menangkap pembicaraan antara Dyah Wisesa dan Rakryan Rangga yang baru saja tiba."Gusti, titah Sri Prabu adalah titah yang tak bisa diabaikan," kata Rakryan Rangga dengan nada tegas. "Beliau menunggu kehadiran Gusti sekarang juga di balairung agung. Gusti harus menghadap, sesuai pesan yang hamba sampaikan kemarin."Dyah Wisesa tampak enggan. "Malam-malam begini?" sahutnya malas. "Tidakkah Sri Prabu bisa menunggu sampai esok pagi? Lagi pula, aku sibuk mengurus hal-hal penting di puriku ini."Rakryan Rangga mengerutkan dahi. "Gusti, menunda titah Sri Prabu hanya akan menyebabkan kecurigaan beliau bertambah besar. Gusti tentu tahu, Sri Prabu sudah mencium banyak hal tak beres di Kotaraja yang semuanya mengarah padamu."Dyah Wisesa hendak membalas, tetapi Senopati Wira Tunggala membisikkan sesuatu di telinganya. Meskipun Ki Sajiwa tak bisa mende
"Ayo, apa yang ingin kau lakukan terhadapku?" ujar Ki Sajiwa yang berdiri dalam keadaan siaga. Kedua tangannya tetap di sisi tubuh, meski kewaspadaan terpancar jelas dari tatapan matanya.Di depannya, Senopati Wira Tunggala menghunus pedang, wajahnya penuh amarah yang tertahan. Suasana halaman belakang puri yang tadinya hening berubah tegang."Kisanak," kata Senopati Wira Tunggala dengan nada berat, "kau berani menyusup ke dalam puri Dyah Wisesa dan mencoba membebaskan tahanan kerajaan. Perbuatanmu setara dengan pengkhianatan terhadap takhta kerajaan."Ki Sajiwa tersenyum tipis, menampakkan ketenangan yang berlawanan dengan keadaan di sekitarnya yang bertambah gawat."Dari dandananmu, aku yakin kau seorang senopati," sahut Ki Sajiwa, masih dengan sikap acuh tak acuh. "Ketahuilah, aku tidak datang untuk melawan kerajaan. Aku datang hanya untuk menyelamatkan seorang sahabat, Ki Baswara, dan muridku, Seta. Mereka bukan pemberontak, sehingga tidak layak ditah
Ki Sajiwa bergerak dengan gesit melewati lorong sempit yang dingin dan lembap. Suara langkah kakinya nyaris tak terdengar, menyatu dengan bayangan yang menempel di dinding.Setibanya di satu tempat yang terdapat deretan pintu-pintu bergembok besi, Ki Sajiwa menghentikan langkah. Ia mengamati keadaan, sembari menajamkan pendengaran untuk menangkap suara-suara yang dapat dijadikan petunjuk.Sekejap berselang Ki Sajiwa mendekati salah satu pintu ruang tahanan, lalu mengintip melalui celah kecil di sana. Tidak salah! Ia menemukan Seta yang duduk bersila di lantai, tampak letih namun masih memancarkan semangat."Seta," bisik Ki Sajiwa, membuat muridnya itu menoleh kaget."G-guru!" Seta setengah berdiri, matanya membelalak antara heran dan lega. "Bagaimana kau bisa di sini? Apa yang terjadi? Apakah—"Ki Sajiwa mengangkat tangan, memotong rentetan pertanyaan muridnya."Cerewet sekali kau ini, seperti ibu-ibu di pasar menawar dagangan saja!" g
Senopati Wira Tunggala berdiri dengan gagah di hadapan Ki Sajiwa, memutar pedang panjangnya untuk memamerkan keahlian. Sementara itu, Ki Sajiwa hanya berdiri tenang, satu tangan di belakang punggungnya, wajahnya seperti memandang seseorang yang ingin bermain-main."Kisanak, malam ini kau akan menyesal telah meremehkan kekuatan seorang senopati Jenggala!" seru Senopati Wira Tunggala jemawa.Ki Sajiwa tak dapat menahan tawa mendengar ucapan tersebut. Sebelum sempat ia menanggapi, Seta sudah melangkah maju dengan sigap. Tangan wira tamtama itu menggenggam tombak pendek, menatap langsung ke arah sang senopati."Senopati Wira Tunggala," ujar Seta dengan suara tegas, "jika kau ingin menumpahkan darah, lawanlah aku. Jangan guruku, dia bukan lawan sepadan bagimu."Senopati Wira Tunggala menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil dengan nada mengejek. "Kau hanya seorang wira tamtama, Anak Muda! Apa kau pikir aku mau membuang waktu melawan bocah ingusan sepertimu?"
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela
Kereta kencana bergerak mantap menyusuri jalanan berbatu, dikelilingi oleh pemandangan yang berganti-ganti dari hutan lebat, padang ilalang, hingga desa-desa kecil. Suara derap kaki kuda dari para pengawal dan gemerincing roda kereta mengiringi perjalanan panjang itu.Permaisuri duduk tenang di dalam kereta, ditemani mbok emban yang setia. Sementara Seta menunggang kuda di sisi kereta, matanya terus mengawasi sekitar, waspada terhadap kemungkinan bahaya.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati beberapa perkampungan yang tampak sederhana. Penduduknya berhenti sejenak dari aktivitas mereka untuk memperhatikan rombongan kerajaan yang melintas.Beberapa anak kecil berlari ke tepi jalan, melambaikan tangan dengan riang, sementara para petani menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.“Seta,” seorang perwira pengawal mendekati dari sisi kirinya. “Kita akan segera tiba di perbatasan Panjalu. Ada kemungkinan kita akan diperiksa di pos penja
Seta melangkah pelan ke pelataran kecil di sisi istana, tempat Ki Sajiwa sering menghabiskan waktu malamnya. Cahaya bulan menerangi sosok tua yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan, tampak tenang dengan udara malam yang lembut menyelimuti.Seta, meski langkahnya mantap, tak dapat menutupi raut bimbang yang tergurat di wajahnya.“Guru,” ucapnya pelan, memecah kesunyian malam. “Bolehkah aku meminta pendapat darimu?”Ki Sajiwa membuka matanya perlahan, tersenyum tipis, dan memberi isyarat agar muridnya duduk. “Bicaralah, Seta. Apa yang mengganjal pikiranmu saat ini?”Seta menarik napas panjang sebelum menjelaskan perintah Sri Prabu Girindra dan Permaisuri yang baru saja diterimanya. “Aku telah menerima tugas besar itu, Guru, mengawal Puteri Sasi Kirana dan puteranya di istana Panjalu.""Nah, bagus!" Ki Sajiwa menukas dengan raut muka senang. "Kau memang pantas mendapatkan kepercayaan ini, Seta.""Tapi, Guru, hati ini masih diselimuti bayang-bayang masa lalu. Kehidupanku serasa han
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar