Ki Sajiwa bergerak dengan gesit melewati lorong sempit yang dingin dan lembap. Suara langkah kakinya nyaris tak terdengar, menyatu dengan bayangan yang menempel di dinding.
Setibanya di satu tempat yang terdapat deretan pintu-pintu bergembok besi, Ki Sajiwa menghentikan langkah. Ia mengamati keadaan, sembari menajamkan pendengaran untuk menangkap suara-suara yang dapat dijadikan petunjuk.
Sekejap berselang Ki Sajiwa mendekati salah satu pintu ruang tahanan, lalu mengintip melalui celah kecil di sana. Tidak salah! Ia menemukan Seta yang duduk bersila di lantai, tampak letih namun masih memancarkan semangat.
"Seta," bisik Ki Sajiwa, membuat muridnya itu menoleh kaget.
"G-guru!" Seta setengah berdiri, matanya membelalak antara heran dan lega. "Bagaimana kau bisa di sini? Apa yang terjadi? Apakah—"
Ki Sajiwa mengangkat tangan, memotong rentetan pertanyaan muridnya.
"Cerewet sekali kau ini, seperti ibu-ibu di pasar menawar dagangan saja!" g
Senopati Wira Tunggala berdiri dengan gagah di hadapan Ki Sajiwa, memutar pedang panjangnya untuk memamerkan keahlian. Sementara itu, Ki Sajiwa hanya berdiri tenang, satu tangan di belakang punggungnya, wajahnya seperti memandang seseorang yang ingin bermain-main."Kisanak, malam ini kau akan menyesal telah meremehkan kekuatan seorang senopati Jenggala!" seru Senopati Wira Tunggala jemawa.Ki Sajiwa tak dapat menahan tawa mendengar ucapan tersebut. Sebelum sempat ia menanggapi, Seta sudah melangkah maju dengan sigap. Tangan wira tamtama itu menggenggam tombak pendek, menatap langsung ke arah sang senopati."Senopati Wira Tunggala," ujar Seta dengan suara tegas, "jika kau ingin menumpahkan darah, lawanlah aku. Jangan guruku, dia bukan lawan sepadan bagimu."Senopati Wira Tunggala menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil dengan nada mengejek. "Kau hanya seorang wira tamtama, Anak Muda! Apa kau pikir aku mau membuang waktu melawan bocah ingusan sepertimu?"
Sri Prabu Girindra duduk di singgasananya dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Raut wajahnya tampak bersungguh-sungguh, dengan kedua mata tajam memandang ke arah Dyah Wisesa yang baru tiba di balairung istana.Para pejabat istana dan bangsawan yang hadir saling berbisik pelan, menyadari ketegangan yang terasa di ruangan itu."Wisesa adikku," ujar Sri Prabu Girindra, suaranya tegas namun tenang. "Aku tidak akan berbasa-basi denganmu, jadi mari langsung saja kita buka pembicaraan ini langsung kepada inti permasalahan."Dyah Wisesa menunduk hormat. "Silakan, Kakang Prabu," sahutnya takzim."Aku mendengar berbagai kabar yang mencemarkan nama keluargamu—dan, pada akhirnya, nama Jenggala. Aku harap kau bisa memberi penjelasan yang memuaskan kepadaku," kata Sri Prabu lagi."Hamba dengan senang hati akan menjelaskan semuanya, Kakang Prabu. Namun harus Kakang Prabu ingat, fitnah dan kabar angin itu hanya mengotori istana. Semua tuduhan terhadap hamba a
Dyah Wisesa melangkah keluar dari balairung istana dengan wajah masam. Langkahnya cepat, mantel panjangnya berkibar-kibar di sepanjang lorong istana. Ia menggerutu pelan, meski cukup keras untuk didengar oleh para pengawal yang berjaga di sekitar."Sungguh tak masuk akal!" gerutunya. "Daru seenaknya saja membuka rahasia. Dan Kakang Prabu, entah apa yang merasukinya sehingga terus mendesakku dengan tuduhan-tuduhan tidak berdasar!"Salah seorang abdi istana yang menunduk di tepi lorong memberanikan diri berkomentar, "Semoga Gusti Dyah Wisesa diberi jalan keluar oleh para dewa."Dyah Wisesa mendelik tajam ke arah abdi itu, membuat yang dipelototi gemetar ketakutan dan buru-buru bersimpuh di lantai.Tanpa berkata apa-apa, Dyah Wisesa melanjutkan langkahnya menuju kudanya yang telah disiapkan di pelataran istana. Dalam hati, ia mulai menyusun rencana untuk keluar dari situasi yang semakin tidak terkendali.Sementara di dalam balairung, Sri Prabu Girindr
Kereta kuda Dyah Wisesa berhenti di pelataran purinya yang megah, tetapi suasana yang menyambut kedatangannya jauh dari tenang. Para prajurit berlarian ke sana kemari, wajah mereka menunjukkan kegelisahan.Sampai kemudian salah seorang pengawal utama maju menyambut Dyah Wisesa dengan wajah pucat.“Gusti Pangeran, mohon ampun,” katanya terbata-bata sambil menjura dalam-dalam. “Telah terjadi sesuatu di ruang tahanan. Penyusup berhasil masuk, merobohkan Senopati Wira Tunggala dan membawa kabur kedua tahanan.”“Maksudmu... Ki Baswara dan pemuda itu?” Dyah Wisesa bertanya dengan nada dingin, tetapi tatapannya memancar penuh ancaman.“Benar, Gusti,” jawab sang pengawal dengan kepala menunduk.Mendengar kabar itu, wajah Dyah Wisesa seketika memerah. Ia mengayunkan lengan, membuat sang pengawal mundur dengan panik.“Kalian semua tidak becus!” serunya marah. “Bagaimana bisa penyusup ma
Ki Sajiwa, Seta, dan Ki Baswara melangkah perlahan meninggalkan kegelapan Kotaraja. Setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka berhenti di tepian sebuah sungai yang airnya berkilau memantulkan cahaya bulan.Sebatang pohon besar doyong melintang di atas aliran sungai, seakan menjadi sebuah jembatan alami yang menghubungkan dua sisi bengawan tersebut. Di bawah naungan pohon itu, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat.“Di sini kita aman untuk sementara,” ujar Ki Sajiwa sambil memeriksa sekitar. “Kotaraja masih jauh di belakang. Aku yakin mereka tidak akan mengejar kita hingga sejauh ini dalam waktu dekat.”"Para prajurit tadi sangat boleh jadi masih sibuk mengurusi senopati yang kau buat babak belur itu, Guru," sahut Seta, lalu tertawa kecil.Usai berkata begitu Seta mengamati sekitar untuk mencari ranting-ranting kering. Wira tamtama itu ingin membuat api unggun untuk menghangatkan suasana, sekaligus menghindari ancaman hewan
Ketegangan menggantung di udara ketika suara gemerisik semakin dekat. Seta berdiri dengan pedang terhunus, matanya tajam memandang ke arah semak-semak yang bergerak.Di tempat lain, Ki Sajiwa dan Ki Baswara sama-sama waspada, siap menghadapi apa pun yang mungkin muncul.Lalu dari balik bayangan pepohonan, seorang lelaki tegap dengan pakaian panjang dan cadar di wajahnya muncul perlahan. Gerak-geriknya tenang tetapi mencerminkan kepercayaan diri yang luar biasa.Seta, tanpa ragu, maju hendak menyerang.“Jangan, Seta, tahan!” suara Ki Baswara tiba-tiba menggema, memotong langkah Seta.Seta menoleh dengan kebingungan. “Mengapa, Ki? Dia bisa saja mata-mata Dyah Wisesa!”Namun, Ki Baswara kembali mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Seta menurunkan pedangnya. “Sepertinya aku tahu siapa dia. Jangan bertindak gegabah.”Lelaki bercadar itu tertawa kecil, suaranya dalam dan berwibawa. Ia perlahan membu
Balairung istana Jenggala sunyi senyap ketika Dyah Wisesa melangkah masuk dengan wajah tegang. Sri Prabu Girindra telah menunggu di singgasana, dikelilingi oleh para abdi dalem yang berdiri berjajar dengan hormat.Sedari tadi, pandangan tajam sang raja tertuju langsung pada adiknya, membuat Dyah Wisesa merasa tubuhnya seperti tertimpa beban berat.Sri Prabu mengamati wajah Dyah Wisesa sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada tenang tetapi penuh wibawa, “Wisesa adikku, aku bisa melihat dari sorot matamu bahwa ada sesuatu yang buruk telah terjadi. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”Dyah Wisesa menundukkan kepala sesaat, mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya ia memutuskan untuk berbicara jujur.“Ampun, Kakang Prabu. Ada seorang penyusup yang masuk ke kediaman hamba. Ia telah merobohkan para prajurit dan Senopati Wira Tunggala. Lalu... ia membebaskan dua tahanan: Seta dan Ki Baswara,” jawabnya dengan suara perlahan.
Malam semakin merangkak, tetapi suasana di balairung istana Jenggala masih hangat dengan perbincangan penting. Sri Prabu Girindra, duduk di singgasana dengan sikap penuh wibawa, menatap Seta yang berdiri di hadapannya.Ki Sajiwa dan Ki Baswara berdiri sedikit di belakang Seta, sementara Dyah Daru berdiri di sisi lain ruangan dengan wajah penuh kewaspadaan.Sri Prabu menghela napas sebelum mulai berbicara. “Seta, seperti aku katakan tadi, ada satu tugas yang sangat penting untukmu. Tugas ini bukan hanya demi kerajaan Jenggala, tetapi juga demi darah dagingku sendiri yang berada di Panjalu.”Seta menundukkan kepala penuh hormat. “Hamba siap, Gusti Prabu. Apapun tugas yang Paduka perintahkan, hamba akan melaksanakannya sebaik mungkin.”Sri Prabu tersenyum tipis, lalu melanjutkan. “Engkau akan pergi ke Panjalu sebagai pengawal pribadi Sasi Kirana, puteriku, dan anaknya—yang juga cucuku, darah dagingku dari Prabu Kamesywara
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela