Ki Sajiwa, Seta, dan Ki Baswara melangkah perlahan meninggalkan kegelapan Kotaraja. Setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka berhenti di tepian sebuah sungai yang airnya berkilau memantulkan cahaya bulan.
Sebatang pohon besar doyong melintang di atas aliran sungai, seakan menjadi sebuah jembatan alami yang menghubungkan dua sisi bengawan tersebut. Di bawah naungan pohon itu, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat.
“Di sini kita aman untuk sementara,” ujar Ki Sajiwa sambil memeriksa sekitar. “Kotaraja masih jauh di belakang. Aku yakin mereka tidak akan mengejar kita hingga sejauh ini dalam waktu dekat.”
"Para prajurit tadi sangat boleh jadi masih sibuk mengurusi senopati yang kau buat babak belur itu, Guru," sahut Seta, lalu tertawa kecil.
Usai berkata begitu Seta mengamati sekitar untuk mencari ranting-ranting kering. Wira tamtama itu ingin membuat api unggun untuk menghangatkan suasana, sekaligus menghindari ancaman hewan
Ketegangan menggantung di udara ketika suara gemerisik semakin dekat. Seta berdiri dengan pedang terhunus, matanya tajam memandang ke arah semak-semak yang bergerak.Di tempat lain, Ki Sajiwa dan Ki Baswara sama-sama waspada, siap menghadapi apa pun yang mungkin muncul.Lalu dari balik bayangan pepohonan, seorang lelaki tegap dengan pakaian panjang dan cadar di wajahnya muncul perlahan. Gerak-geriknya tenang tetapi mencerminkan kepercayaan diri yang luar biasa.Seta, tanpa ragu, maju hendak menyerang.“Jangan, Seta, tahan!” suara Ki Baswara tiba-tiba menggema, memotong langkah Seta.Seta menoleh dengan kebingungan. “Mengapa, Ki? Dia bisa saja mata-mata Dyah Wisesa!”Namun, Ki Baswara kembali mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Seta menurunkan pedangnya. “Sepertinya aku tahu siapa dia. Jangan bertindak gegabah.”Lelaki bercadar itu tertawa kecil, suaranya dalam dan berwibawa. Ia perlahan membu
Balairung istana Jenggala sunyi senyap ketika Dyah Wisesa melangkah masuk dengan wajah tegang. Sri Prabu Girindra telah menunggu di singgasana, dikelilingi oleh para abdi dalem yang berdiri berjajar dengan hormat.Sedari tadi, pandangan tajam sang raja tertuju langsung pada adiknya, membuat Dyah Wisesa merasa tubuhnya seperti tertimpa beban berat.Sri Prabu mengamati wajah Dyah Wisesa sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada tenang tetapi penuh wibawa, “Wisesa adikku, aku bisa melihat dari sorot matamu bahwa ada sesuatu yang buruk telah terjadi. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”Dyah Wisesa menundukkan kepala sesaat, mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya ia memutuskan untuk berbicara jujur.“Ampun, Kakang Prabu. Ada seorang penyusup yang masuk ke kediaman hamba. Ia telah merobohkan para prajurit dan Senopati Wira Tunggala. Lalu... ia membebaskan dua tahanan: Seta dan Ki Baswara,” jawabnya dengan suara perlahan.
Malam semakin merangkak, tetapi suasana di balairung istana Jenggala masih hangat dengan perbincangan penting. Sri Prabu Girindra, duduk di singgasana dengan sikap penuh wibawa, menatap Seta yang berdiri di hadapannya.Ki Sajiwa dan Ki Baswara berdiri sedikit di belakang Seta, sementara Dyah Daru berdiri di sisi lain ruangan dengan wajah penuh kewaspadaan.Sri Prabu menghela napas sebelum mulai berbicara. “Seta, seperti aku katakan tadi, ada satu tugas yang sangat penting untukmu. Tugas ini bukan hanya demi kerajaan Jenggala, tetapi juga demi darah dagingku sendiri yang berada di Panjalu.”Seta menundukkan kepala penuh hormat. “Hamba siap, Gusti Prabu. Apapun tugas yang Paduka perintahkan, hamba akan melaksanakannya sebaik mungkin.”Sri Prabu tersenyum tipis, lalu melanjutkan. “Engkau akan pergi ke Panjalu sebagai pengawal pribadi Sasi Kirana, puteriku, dan anaknya—yang juga cucuku, darah dagingku dari Prabu Kamesywara
Langkah Dyah Wisesa bergema di koridor purinya, cepat dan berat. Wajahnya penuh ketegangan, pandangannya tajam menyapu setiap sudut ruangan.Begitu sampai di kamar utama, Dyah Wisesa langsung membuka pintu tanpa mengetuk, membuat istrinya, Sasi Murti, tersentak dari duduknya. Perempuan itu tengah menyisir rambut, tetapi gerakannya terhenti melihat sang suami yang tampak sangat gelisah.“Kakang, ada apa?” tanya Sasi Murti dengan nada khawatir.Dyah Wisesa tak menjawab langsung. Ia berjalan mendekati lemari kayu besar di sudut kamar, membuka pintunya, dan mulai mengeluarkan beberapa pakaian. Ia melemparkannya ke atas dipan, lalu berkata tanpa menoleh, “Malam ini juga, kau harus pergi ke Kepanjian.”Sasi Murti berdiri, mendekat ke arah suaminya dengan raut wajah bingung. “Pergi ke Kepanjian? Kenapa? Apa yang sedang terjadi?”“Kau tidak perlu tahu,” jawab Dyah Wisesa dengan nada tegas, hampir memerintah.
Ki Sajiwa, Ki Baswara, dan Seta mengikuti seorang abdi dalem yang membimbing mereka melewati lorong-lorong istana hingga tiba di sebuah puri megah. Bangunan itu berdiri anggun dengan atap berlapis emas yang berkilauan diterpa cahaya bulan.Lampu-lampu minyak menghias sepanjang beranda, memancarkan suasana keagungan yang tak terbantahkan. Seta memandang sekeliling dengan takjub, sesekali melirik ke arah Ki Sajiwa yang tampak lebih tertarik memeriksa detail ukiran di dinding-dinding puri.“Lihat ini, Seta,” ujar Ki Sajiwa sambil menunjuk relief pada dinding beranda. “Ukiran ini pasti dibuat oleh para empu terbaik Jenggala. Setiap goresannya penuh makna. Ketelitian setiap lekukannya sangat mengagumkan.”Seta mengangguk setuju, meski matanya lebih terpaku pada taman luas di depan puri yang dihiasi kolam teratai dan air mancur.“Tempat ini sungguh indah, Guru. Tak kusangka Sri Prabu memiliki puri seperti ini untuk menjamu tamu.&rd
Menjelang dini hari, suasana di jalan menuju timur Kotaraja diselimuti kabut tipis yang melayang rendah, menyelimuti pepohonan di sekitarnya.Rombongan kecil yang terdiri atas seorang utusan Dyah Wisesa dan dua pengawal berkuda bergerak dengan hati-hati. Mereka membawa pesan penting untuk Arya Jatikusuma, yang kabarnya berada di sebuah desa kecil bernama Lulumbang.“Jalan ini terlalu sepi,” gumam salah satu pengawal, matanya terus waspada mengamati sekitar.“Kita harus tetap waspada,” sahut utusan itu. “Surat ini tak boleh sampai jatuh ke tangan orang lain. Kau tahu betapa pentingnya pesan ini bagi Gusti Dyah Wisesa.”Keduanya mengangguk, tapi sebelum mereka sempat melanjutkan perjalanan lebih jauh, bayangan seseorang muncul dari balik kabut. Seorang perempuan tua berpakaian lusuh berdiri di tengah jalan, menghalangi jalan kuda mereka. Langkahnya terhenti.Utusan Dyah Wisesa memberi isyarat untuk berhenti. Ia maj
Fajar belum sepenuhnya menyingsing, dan kabut tipis masih menyelimuti perkemahan yang terletak di lembah kecil. Api unggun di tengah perkemahan menyala redup, memancarkan kehangatan yang menjadi pusat berkumpul beberapa prajurit.Sebagian prajurit duduk bersandar dengan mata setengah terpejam, sementara yang lain terlelap di tenda-tenda yang berbaris rapi. Suasana hening hanya dipecahkan oleh sesekali bunyi kayu yang patah terbakar di dalam api unggun.Tiba-tiba, suara derap kuda memecah kesunyian. Seekor kuda berpacu mendekat dari arah barat, menimbulkan debu tipis yang beterbangan di udara.Para prajurit jaga yang sedang terkantuk-kantuk sontak kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka membelalak waspada saat seorang penunggang kuda menerobos masuk ke area perkemahan.“Berhenti! Siapa kau?!” teriak salah satu prajurit, mengangkat tombaknya dengan waspada.Penerobos itu tidak berhenti, melainkan terus maju hingga hampir ke pusat perkemaha
Larut malam semakin menipis seiring rona jingga yang merangkak naik di kaki langit timur. Namun pergerakan pasukan Dyah Wisesa tak menunjukkan tanda-tanda akan melambat. Suara derap kaki kuda dan gemerincing pelana memenuhi kesunyian hutan yang gelap, seiring kuda-kuda yang dipacu cepat menuju perbatasan Panjalu.Di bawah langit yang hanya diterangi oleh sinar rembulan tipis, Dyah Wisesa tampak gelisah, matanya sesekali melirik ke belakang seakan khawatir ada sesuatu yang mengintai dari kejauhan.Di sampingnya, Ki Bekel Samparan, salah seorang perwira menengah yang mendampinginya, memperhatikan setiap gerak-gerik junjungannya. Setelah beberapa saat diam, bekel itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Gusti, sepertinya kita melaju terlalu cepat. Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh perhatian.Dyah Wisesa menghela napas panjang dan mengerutkan keningnya."Keadaan kini sudah tidak memihak kita, Samparan. Aku merasa ada yang me
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan