Menjelang dini hari, suasana di jalan menuju timur Kotaraja diselimuti kabut tipis yang melayang rendah, menyelimuti pepohonan di sekitarnya.
Rombongan kecil yang terdiri atas seorang utusan Dyah Wisesa dan dua pengawal berkuda bergerak dengan hati-hati. Mereka membawa pesan penting untuk Arya Jatikusuma, yang kabarnya berada di sebuah desa kecil bernama Lulumbang.
“Jalan ini terlalu sepi,” gumam salah satu pengawal, matanya terus waspada mengamati sekitar.
“Kita harus tetap waspada,” sahut utusan itu. “Surat ini tak boleh sampai jatuh ke tangan orang lain. Kau tahu betapa pentingnya pesan ini bagi Gusti Dyah Wisesa.”
Keduanya mengangguk, tapi sebelum mereka sempat melanjutkan perjalanan lebih jauh, bayangan seseorang muncul dari balik kabut. Seorang perempuan tua berpakaian lusuh berdiri di tengah jalan, menghalangi jalan kuda mereka. Langkahnya terhenti.
Utusan Dyah Wisesa memberi isyarat untuk berhenti. Ia maj
Fajar belum sepenuhnya menyingsing, dan kabut tipis masih menyelimuti perkemahan yang terletak di lembah kecil. Api unggun di tengah perkemahan menyala redup, memancarkan kehangatan yang menjadi pusat berkumpul beberapa prajurit.Sebagian prajurit duduk bersandar dengan mata setengah terpejam, sementara yang lain terlelap di tenda-tenda yang berbaris rapi. Suasana hening hanya dipecahkan oleh sesekali bunyi kayu yang patah terbakar di dalam api unggun.Tiba-tiba, suara derap kuda memecah kesunyian. Seekor kuda berpacu mendekat dari arah barat, menimbulkan debu tipis yang beterbangan di udara.Para prajurit jaga yang sedang terkantuk-kantuk sontak kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka membelalak waspada saat seorang penunggang kuda menerobos masuk ke area perkemahan.“Berhenti! Siapa kau?!” teriak salah satu prajurit, mengangkat tombaknya dengan waspada.Penerobos itu tidak berhenti, melainkan terus maju hingga hampir ke pusat perkemaha
Larut malam semakin menipis seiring rona jingga yang merangkak naik di kaki langit timur. Namun pergerakan pasukan Dyah Wisesa tak menunjukkan tanda-tanda akan melambat. Suara derap kaki kuda dan gemerincing pelana memenuhi kesunyian hutan yang gelap, seiring kuda-kuda yang dipacu cepat menuju perbatasan Panjalu.Di bawah langit yang hanya diterangi oleh sinar rembulan tipis, Dyah Wisesa tampak gelisah, matanya sesekali melirik ke belakang seakan khawatir ada sesuatu yang mengintai dari kejauhan.Di sampingnya, Ki Bekel Samparan, salah seorang perwira menengah yang mendampinginya, memperhatikan setiap gerak-gerik junjungannya. Setelah beberapa saat diam, bekel itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Gusti, sepertinya kita melaju terlalu cepat. Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh perhatian.Dyah Wisesa menghela napas panjang dan mengerutkan keningnya."Keadaan kini sudah tidak memihak kita, Samparan. Aku merasa ada yang me
Bab: Amarah yang Membakar SenjaDi tengah heningnya malam menjelang fajar, dua pasukan berhadapan di perbatasan Panjalu. Api obor yang berkobar di sepanjang barisan menari-nari seolah menghidupkan bayangan para prajurit yang bersiaga penuh.Di tengah ketegangan itu, dua sosok berpakaian kebangsawanan berdiri berhadapan di antara barisan masing-masing. Dyah Wisesa, dengan sorot mata tajam penuh amarah, menatap Dyah Daru yang berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada.“Daru,” suara Dyah Wisesa menggema, dingin dan tajam. “Kau agaknya sudah melupakan tata krama terhadap kerabat dan juga kedudukan kita di bawah panji Jenggala?”Dyah Daru tersenyum tipis, seolah ejekan tersirat di balik sikapnya yang santai.“Kakanda Wisesa,” katanya lembut tetapi penuh tekanan, “bukan aku yang melupakan tata krama dan sopan santun, tetapi Kakanda sendiri yang telah mencoreng kehormatan Jenggala dengan perbua
Jeritan Ki Bekel Samparan menggema di medan pertempuran. Membuat prajurit-prajurit di sekitarnya menoleh, termasuk Dyah Wisesa yang berdiri tidak jauh di belakang.Wajah pangeran Jenggala itu memucat manakala melihat bekel kepercayaannya jatuh terluka. Ia mengepalkan tinju dan menoleh ke arah sekitarnya, seolah berharap melihat seseorang.“Jatikusuma...” gumamnya dengan nada penuh harap. “Di mana kau? Kenapa kau belum sampai juga di sini?”Namun, tentu saja Arya Jatikusuma tidak akan pernah muncul di sana. Dan Dyah Wisesa tahu bahwa sekalipun tangan kanannya itu datang, keadaan mungkin sudah sangat tidak menguntungkan baginya.Dyah Wisesa menghela napas berat. Ia merasakan dinginnya kenyataan bahwa pasukannya tidak akan mampu bertahan lama melawan tekanan pasukan Dyah Daru yang terus maju menyerang dan menekan.Medan pertempuran itu menjadi saksi ketegangan yang semakin memuncak, sementara fajar merekah dengan langit yang pe
Mentari pagi mulai menembus celah pepohonan di dekat perbatasan Kotaraja. Arya Jatikusuma, dengan mata yang tajam memandang ke depan, merasa ada sesuatu yang tak beres. Bersama pasukannya yang berjumlah sekitar seratus orang, ia melintasi jalan utama menuju gerbang Kotaraja."Ki Senopati," seorang bekel di sisinya berbisik pelan, "kenapa hamba merasakan suasana di sini terlalu sepi? Biasanya perbatasan Kotaraja ramai oleh para pedagang atau pengelana. Kini yang terdengar hanya kicauan burung dan suara angin."Arya Jatikusuma mengangguk. "Aku juga merasakannya, Ki Bekel. Tetap siaga. Jangan lengah."Ketika mereka mendekati dataran terbuka menjelang gerbang, Arya Jatikusuma menghentikan kudanya secara tiba-tiba. Di kejauhan, ia melihat bayangan sepasukan besar tengah berbaris rapi mengadang tepat di depan gerbang tapal batas Kotaraja."Siapa mereka?" desis bekel tadi yang ikut memerhatikan kejauhan dengan seksama.Arya Jatikusuma tak menanggapi. Namu
Suara pedang beradu terus menggema di udara. Pasukan Arya Jatikusuma, yang sudah terdesak sejak awal, bertahan mati-matian meskipun jumlah mereka semakin berkurang.Terlihat prajurit-prajurit Arya Jatikusuma yang tersisa berusaha menjaga posisi mereka di jalur sempit yang memanjang di tepian jurang. Pasukan Rakryan Rangga, yang lebih besar dan terorganisir, semakin menekan mereka dengan formasi yang rapi.Teriakan dan denting senjata bercampur menjadi satu, menandai pertarungan yang tak berimbang. Rakryan Rangga, yang memimpin langsung di garis depan, tampak gagah dengan tombak panjangnya yang berkelebat cepat, menjatuhkan prajurit lawan satu demi satu.“Serahkan diri kalian!” seru Rakryan Rangga dengan suara lantang. “Sri Prabu Girindra telah memberi titah untuk mengampuni siapa saja yang menyerah dan meletakkan senjata! Jangan terus melawan atau kematian akan menjadi takdir kalian!”Arya Jatikusuma mendengar seruan itu dari kejau
Arya Jatikusuma berdiri dengan kaki yang terpentang kokoh, tangan kanan menggenggam pedang dengan cengkeraman kuat. Napasnya memburu, tetapi matanya tetap tajam, menatap Rakryan Rangga yang berdiri di depannya dengan tombak panjang siap di tangan.Rakryan Rangga melangkah maju dengan perlahan, tubuhnya tegap, penuh percaya diri.“Jatikusuma,” katanya dengan suara dingin, “kau adalah seorang senopati besar. Salah satu senopati terhebat yang dimiliki Jenggala. Jangan paksa aku mempermalukanmu di depan anak buahmu.”Arya Jatikusuma tidak menjawab. Ia menggerakkan pedangnya ke posisi siaga, melangkah perlahan ke samping seperti seekor harimau yang siap menerkam.Tanpa aba-aba, Arya Jatikusuma melancarkan serangan pertama. Pedangnya meluncur dengan cepat, menyasar sisi kiri tubuh Rakryan Rangga.Namun yang diserang bukanlah seorang kesatria kemarin sore. Dengan cekatan, Rakryan Rangga memutar tombaknya, menangkis serangan itu den
"Hamba membawa perintah dari istana, Kisanak bertiga diminta datang sekarang juga ke balairung guna menghadap Sri Prabu Girindra," ujar seorang abdi dalem ketika Ki Sajiwa, Ki Baswara dan Seta menemuinya."Kami diminta menghadap?" ulang Ki Sajiwa, terheran-heran. "Untuk apa?"Ucapan itu membuat tulang rusuk Ki Sajiwa kena sikutan Ki Baswara. Petapa tua dari Teluk Lawa tersebut seketika meringis, campuran rasa nyeri dan juga kaget."Sialan! Kenapa kau menyodokku?" ucapnya memprotes Ki Baswara.Namun Ki Baswara tak menanggapi, alih-alih menjawab abdi dalem yang memang tengah menunggu balasan. "Baik, kami pergi ke sana sekarang juga.""Kalau begitu, mari ikuti aku," ujar abdi dalem lagi, seraya menganggukkan kepala dan berbalik badan untuk mendahului berjalan di depan.Pagi itu, cahaya matahari memancar lembut menerangi jalan menuju istana. Seta, Ki Baswara, dan Ki Sajiwa berjalan dengan langkah mantap menuju balairung istana, mengiringkan abdi
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan