Pertarungan semakin sengit ketika Seta dan Prabangkara mulai terdesak oleh kepungan orang-orang bercadar yang menyerang tanpa henti. Meski keduanya bertarung dengan segenap tenaga, jumlah lawan yang lebih banyak membuat mereka semakin lelah.
Seta berkali-kali menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, sementara Prabangkara mulai terengah-engah menahan sabetan parang dan tusukan belati yang mengarah padanya.
Keadaan mulai tampak putus asa ketika sebuah bayangan tiba-tiba melesat masuk ke medan pertempuran. Gerakannya begitu cepat, seolah-olah tubuhnya melayang di antara para pengeroyok.
Orang baru ini, dengan pakaian hitam dan penutup wajah, langsung menghampiri salah seorang penyerang dan melumpuhkannya dengan satu gerakan yang cekatan. Dengan hanya beberapa gerakan, satu demi satu dari para penyerang bercadar itu tersungkur ke tanah, tak berdaya oleh pukulan atau totokan yang tepat mengenai titik-titik vital.
"Siapa dia?" gumam Seta di tengah
Malam semakin larut. Hanya nyala api unggun yang tersisa untuk menerangi wajah-wajah kelelahan dari Seta dan Prabangkara yang tengah terlelap.Di tengah keheningan itu, Ki Baswara malah terjaga. Pikirannya terasa penuh, seperti benang kusut yang tak kunjung terurai. Tanpa suara, ia bangkit dari tempatnya berbaring dan berjalan perlahan menuju api unggun yang masih menyala.Duduk di dekat api, Ki Baswara mengeluarkan gulungan surat dari balik pakaiannya—surat dari Ki Sajiwa yang diserahkan oleh Seta. Ia memandang gulungan itu sejenak, ragu untuk membuka dan membacanya. Seakan surat tersebut membawa kabar buruk yang selama ini berusaha ia hindari.Akhirnya, dengan tangan sedikit gemetar, Ki Baswara membuka gulungan itu. Di bawah cahaya api unggun yang temaram, ia membaca dengan saksama kata-kata yang tertulis di atas kertas yang sudah agak pudar. Setiap baris kalimat terasa berat, seolah menyampaikan beban yang harus ia pikul seorang diri.Di dalam su
Di bawah rembulan yang masih redup di ufuk timur, Dyah Wisesa melintasi perbatasan Jenggala menuju wilayah Panjalu. Bersamanya, beberapa prajurit terpercaya mengiringi dengan ketat, seakan melindungi sosok bangsawan Jenggala itu dari segala kemungkinan bahaya.Keheningan pagi menyelimuti, hanya derap langkah kuda dan suara burung hutan yang menyertai perjalanan mereka. Ketika mereka tiba di tapal batas, sosok Dyah Srengga sudah menunggu dengan senyum tipis yang penuh keyakinan.“Adikku Wisesa,” sapanya sambil menundukkan kepala singkat. “Senang akhirnya kau bisa meluangkan waktu untuk bertemu di tempat ini.”Dyah Wisesa mengangguk hormat dan turun dari kuda. “Sama-sama, Kakang Srengga. Perjalanan cukup panjang, tapi ada banyak hal yang memang perlu kita bahas.”Keduanya berjalan menyusuri jalanan sempit di tepi hutan, diikuti oleh para pengawal yang berjaga dalam jarak aman. Obrolan mereka mengalir pelan namun sarat den
Pada saat hampir bersamaan di tempat lain....Rakryan Demung memasuki balairung utama dengan penuh hormat, membawa pesan khusus dari Prabu Sri Girindra. Di sana telah menunggu Rakryan Tumenggung yang sepagi itu mendapat panggilan menghadap dari sang raja.Tidak menunggu lama, Rakryan Tumenggung segera bangkit dan mengikuti langkah Rakryan Demung untuk menghadap Prabu Sri Girindra. Sang raja meminta pembicaraan berlangsung di taman sari, sembari menikmati sisa-sisa embun pagi yang masih menempel di dedaunan.Tiba di tujuan, tampak Prabu Sri Girindra telah menunggu di kursi kebesaran yang diletakkan tak jauh dari air mancur di tengah-tengah taman. Pandangan mata raja Jenggala itu terlihat dalam dan muram. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang terpendam.“Tumenggung,” ucap Prabu Girindra, suaranya rendah namun penuh wibawa. “Ada satu hal yang ingin kubahas denganmu. Tadi malam aku berbincang dengan Permaisuri dan kami sependapat bahwa sudah w
Malam harinya, dalam keheningan yang hanya ditemani nyanyian jangkrik, Rakryan Tumenggung memacu kudanya bersama dua pengawal setia menuju satu tempat tersembunyi tak jauh di luar Kotaraja. Senyap dan gelapnya malam memberikan ketenangan semu, sehingga sang tumenggung tetap bersikap waspada.Sementara langit malam mulai berselimut awan pekat, menjadikan perjalanan mereka makin tersembunyi di bawah naungan kegelapan.Ketika mereka mulai melewati jalan sepi yang dikelilingi pepohonan lebat, tiba-tiba terdengar suara mendesing tajam. Rakryan Tumenggung sontak menoleh, tetapi terlambatSiiiing! Siiiing!"Aaaaaaaa!"Dua pengawal di belakang Rakryan Tumenggung tersentak jatuh dari kuda, masing-masing sambil berseru kesakitan. Begitu tubuh keduanya menghantam tanah, darah langsung mengalir deras.Rakryan Tumenggung seketika menyentakkan tali kekang kudanya. Parasnya berubah tegang begitu mengetahui dua pengawalnya terkena anak panah yang menembus d
Di balik semak gelap, seseorang bertopeng dan berjubah panjang menutup tubuhnya berdiri mengawasi pertarungan sengit yang berlangsung di tengah jalan sepi malam. Orang bertopeng itu tidak bergerak, hanya memandangi dengan penuh minat setiap gerakan dan serangan yang dilancarkan oleh keempat pengeroyok yang mengitari Rakryan Tumenggung.Mata di balik topeng orang itu bersinar penuh kepuasan saat menyaksikan Rakryan Tumenggung semakin terdesak, dengan darah mulai mengalir di sepanjang pedang dan keris yang digunakan sang panglima Jenggala.Tiba-tiba, orang bertopeng itu mengeluarkan tawa pelan yang terdengar sinis. Tawa itu awalnya lirih, hanya terdengar bagai bisikan di antara pepohonan, lalu perlahan menjadi semakin keras dan mengerikan. Suara tawanya seakan menari bersama angin malam, menggetarkan kesunyian hutan yang sebelumnya hanya diisi suara jangkrik.Tawa itu semakin membahana saat Rakryan Tumenggung akhirnya berteriak panjang, jeritan pilu yang membelah
Sementara itu di sudut lain Jenggala....Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan lelaki penolong yang terus mendampingi mereka akhirnya tiba di sebuah warung di tepi jalan. Asap tipis mengepul dari dalam warung yang sederhana, aroma makanan hangat menguar, membuat perut mereka seketika berkeroncongan.Tanpa banyak kata, mereka masuk dan segera memesan makanan. Begitu pesanan dihidangkan, mereka menyantap makanan dengan lahap, mengisi perut yang sudah seharian kosong.Seta dan Prabangkara tampak tak henti-hentinya mengunyah dengan cepat, sedangkan Ki Baswara makan dalam diam, pikirannya terpusat pada rencana yang mereka bicarakan sejak beberapa malam terakhir. Tuan Penolong yang belum banyak bicara sejak perjalanan dimulai duduk di samping mereka, memandang ke sekeliling warung dengan mata waspada.“Langkah kita berikutnya, ke arah mana, Ki?” tanya Seta, sambil meneguk minuman hangat di depannya.
Di bawah langit yang kelabu, Seta, Prabangkara, Ki Baswara, dan Tuan Penolong berkuda menuju Hantang. Hawa dingin Lembah Rengganis seolah mengiringi kepergian mereka setelah menemukan jasad Rakryan Tumenggung.Mereka berempat saling diam, pikiran masing-masing penuh oleh teka-teki dan ketegangan yang belum terpecahkan. Hantang, desa kecil di perbatasan Jenggala, diharapkan menjadi tempat untuk mencari jejak orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini.“Hantang hanya setengah hari perjalanan lagi,” ujar Ki Baswara memecah kesunyian. “Jika kita tetap berkuda tanpa berhenti, kita akan tiba sebelum malam.”“Lebih cepat lebih baik,” jawab Tuan Penolong singkat. Wajahnya tetap dingin, meskipun sorot matanya menandakan kewaspadaan yang terus-menerus.Namun kete
Debu terus berputar di udara, bercampur dengan bau darah yang pekat. Pertempuran di jalur sempit itu semakin sengit.Seta, dengan pedangnya yang tajam, menebas satu lagi penyerang bercadar. Tubuh lawan itu terjerembap ke tanah dengan napas terakhirnya, darah menggenang di sekitar tubuhnya.Tuan Penolong, tak jauh dari Seta, memutar golok besarnya, mengayunkannya ke arah seorang penyerang yang menyerang dari samping. Dentingan keras terdengar ketika goloknya menghantam parang, tetapi tenaga Tuan Penolong lebih unggul. Parang itu terlempar, dan satu lagi musuh roboh dengan luka dalam di dadanya.Namun jumlah penyerang yang terus berdatangan membuat kelelahan mulai terasa.“Mereka seperti tak ada habisnya!” teriak Prabangkara sambil menangkis dua serangan bertubi-tubi dengan tombaknya.Di sisi lain, Ki Baswara yang berada di atas kudanya tampak sibuk memasang anak panah. Ia telah menembakkan beberapa anak panah dengan akurasi luar biasa, m
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela