Semua Bab Bukan Wanita Impian Suamiku: Bab 91 - Bab 100

108 Bab

Bab 90. Salah Paham?

Kaki ini masih mati rasa, aku menurut ketika tangan ini ditariknya. Kesadaranku masih belum bulat benar, ketika dia mendorongku untuk masuk ke dalam mobil. Dia tidak peduli dengan wanita itu meneriakkan apa. Mobil menderu meninggalkan tempat parkir, dan kata maaf yang terucap darinya lah yang menyadarkan aku ini siapa.Seketika, ujung-ujung jemari tangan dan kakiku mendingin. Tubuhku bergetar teringat betapa hinanya aku ini. Tidak ada bedanya dengan pelac*ur, yang meminjamkan raga demi niat duniawi.Aku merasa menghianati upaya orang tuaku yang memberiku bekal hidup dengan memberiku pendidikan. Betapa bodohnya aku, demi proyek rela dihina seperti ini..Masih tetap bergeming, aku menatap nanar pada jalan yang seakan mentertawakan aku. Tidak terasa, air mata ini meleleh begitu saja.“Aida! Jangan menangis. Maafkan aku!” teriaknya.Mobil dihentikan dan dia menghadapkan diri ke arahku. Tangannya terulur, tapi terlihat ragu dan ditariknya kembali.“Bukan. Bukan kamu yang salah,” ucapku s
Baca selengkapnya

Bab 91. Apakah Dia?

POV AmmarKaki dan tanganku seakan lenyap. Telpon dari Bik Yanti membuatku terduduk lemas. Aku memang sering membuatnya kesal, tapi dalam hatiku sebenarnya hanya ada namanya seorang. Bahkan aku sudah berniat ingin mengupayakan untuk kembali bersama.“Kata orang-orang, itu Bu Aida ditrabrak orang dengan sengaja, Pak.”Pembantu di rumahku dulu menceritakan kronologis kecelakaan yang terjadi tadipagi. Katanya, dia korek ke orang sekitar. Kalau ini benar, berarti ada orang yang berniat mencelakainya. Tapi siapa?“Daniel bagaimana?”“Mas Daniel ya begitu, Pak. Dia tidak mau beranjak dari kamarnya Bu Aida.”Aku harus cepat menemui mereka. Daniel pasti merasa sendirian. Selain itu, apa yang bisa dilakukan anak seusia dia di saat genting seperti ini. Sedih dan menangis.Tanpa menunda waktu, aku mengambil jaket. Aida tidak mempunyai saudara, orang tuanya pun sudah meninggal. Walaupun aku mantan suami, hanya aku orang yang bisa mereka andalkan.Dengan ponsel masih menempel di telinga, aku menuj
Baca selengkapnya

Bab 92. Dugaan

“Diana! Jujur padaku! Kamu melakukan kejahatan apa!” Teriakan yang tidak pernah sekeras ini menyentakkan isi rumah. Bibik pengasuh sedang di dapur pun, langsung berlari mengambil Meisya yang menangis.Pasti anakku terkejut mendengar teriakan ini. Wajah Diana terlihat pias. Dia yang tadi sedang bercanda dengan Meisya langsung duduk dengan kepala menunduk. Terlihat pasrah, lain dari biasanya. “Ma-maaf, Mas Ammar. Aku tidak sengaja.” Semakin kuat dugaanku. Ucapannya merujuk pada pengakuan. Lemas, aku terduduk di kursi. Tanganku terkepal membawa amarah, sekaligus sesal. AKu benar-benar lelaki yang tidak berguna. Sampai berpisahpun, aku masih mendatangkan penderitaan untuk Aida. “Diana. Kenapa kamu menabraknya?” “Jujur, Mas. Aku tidak sengaja. Dia melintas begitu saja. Aku hanya mendengar suara keras dan tidak menemui jasadnya,” ucapnya dengan tatapan terlihat ketakutan. “Jadi kamu tinggal begitu saja?” tanyaku dengan rahang mulai mengeras. Dia ini bebal atau bagaimana? Dia katakan ja
Baca selengkapnya

Bab 93. Jalani Saja

“Aida … Kamu sudah sadar, Sayang?” seruku sambil membungkukkan badan untuk mendekat. Mata yang masih terlihat lelas dan bibir yang beku itu hanya bergerak-gerak sedikit. Seakan tidak memiliki sisa tenaga sedikitpun. Ini sebenarnya pemandangan biasa bagiku yang seorang dokter. Pasien walaupun sudah tersadar, dia pasti masih lemah setelah melewati masa kritis. Dulu, aku merasa kesal dengan keluarganya yang tidak sabar dan seakan memaksa pasien untuk cepat membuka mata dan tersenyum. ‘Pasien baru kembali dari memperjuangkan nyawanya, bukan kembali dari holiday yang harus say hello dan dipaksa menyebut siapa saja nama yang hadir!’ Itu pikiranku dulu. Memang, semenjak kehilangan Ibu, aku mematikan segala yang berhubungan dengan rasa di hati. Sekarang aku merasakan, begitu campur aduknya perasaan di dada ini saat belum memastikan Aida di kondisi yang benar-benar stabil. “M-mas Bur-han,”ucapnya terbata. Bibir yang kering seakan kaku untuk menyebut namaku. Jujur, hati ini melonjak ge
Baca selengkapnya

Bab 94. Rencana Rehat

“Yakin dengan keputusanmu?” tanya Laila sahabatku seakan tidak percaya dengan yang keluar dari mulutku barusan.Tangannya yang sebelumnya sibuk mengupas apel merah, sekarang terhenti bahkan diletakkan ke piring kembali.Senyum aku tunjukkan, walaupun di dasar hati sebenarnya ini berat.“Aku sudah memikirkan beberapa malam ini. Aku akan pergi mengambil cuti dari pekerjaan. Toh proyek rumah sakit sudah hampir selesai dan sesuai dengan jadwal, kan? Kamu pasti bisa menyelesaikan semuanya.”“Tapi … kalau tidak ada kamu, kami seperti hilang pegangan.”Dahinya berkerut membingkai sorot mata keberatan. Tanganku yang masih tertancap jarum infus pun dia genggam, seakan enggan aku tinggalkan.“Beberapa bulan saja. Mumpung sekolah Daniel libur. Kami akan quality time, hitung-hitung membayar waktuku yang hilang bersamanya.”“Memang Pak Burhan memperbolehkan kalian pergi?”Mendengar nama itu, senyum ini luruh. Sudah beberapa hari Laila mematuhi permintaanku untuk tidak menyebut namanya dan aku eng
Baca selengkapnya

Bab 95. Urung

Siapapun dia dan apa yang dia lakukan, tetap dulu dia yang menolongku. Dia memang laki-laki yang mengesalkan, tapi dia juga yang memaksa kedua kaki ini kokoh dan tegar menghadapi dunia.“Kamu belum sembuh benar, Aida,” ucap Laila memprotes permintaanku untuk pulang cepat.“Di sini aku hanya istirahat, La. Itu bisa aku lakukan di rumah. Iya, kan?”Setelah diperiksa keseluruhan, aku bisa rawat jalan. Jarum infus pun bisa dilepas dan aku bisa bebas.“Daniel?”“Justru itu, aku ingin mengejutkan dia. Sekarang dia sedang fokus pada ujiannya. Untung saja Bik Yanti menungguinya di apartemen. Tapi, akan lebih semangat kalau dia aku tungguin.”Laila yang membantuku berkemas, memindahkan tumpukan baju ke dalam koper.“Bukan karena kabarnya Pak Burhan itu?”Aku tersenyum sambil mengetatkan baju hangat. Kabar yang diberitahukan Laila sungguh mengejutkan. Pak Haris mengalami serangan jantung dan sekarang di rawat di rumah sakit.Jujur, aku ingin segera ke sana. Aku tahu apa arti Kakek Haris bagi M
Baca selengkapnya

Bab 96. Rindu dan Benci

Hati yang sempat menghangat, sekarang membeku kembali. Niat untuk menghampiri dan menuntaskan yang ada di dalam sini pun luruh. Bahkan sepatu berhias pita di kaki ini bergeser mundur.Mata ini menangkap jelas dia yang harusnya luruh di pelukanku, justru tenggelam dalam belaian jemari lentik itu. Dada ini merasa tidak terima, tapi atas dasar apa? Bukan kah mereka dulu sepasang kekasih, dan kemungkinan besar mereka kembali bersatu?Wanita itu lebih segala-galanya, termasuk dalam mengupayakan bersama dengan Mas Burhan. Termasuk dengan nekad mencelakai aku.‘Aku benar-benar wanita yang tidak sadar tempat!’ bisikku dalam hati dengan tangan mengepal erat.Terus apa artinya bunga-bunga yang dia kirim dengan kartu ucapan seakan dia akan mati karena memendam rindu kepadaku?Huft!Bukan dia atau mereka yang salah, tapi aku yang bodoh seperti kerbau. Terperosok di lubang yang sama. Iya, kan?Sesaat aku menghentikan langkah, kemudian berbelok pada toilet yang ditujukan untuk pengunjung.Aku terse
Baca selengkapnya

Bab 97. Tamu Tengah Malam

Ingin rasanya melepaskan diri darinya. Akan tetapi, kenapa tiba-tiba tubuhku menjadi kaku? Embusan napas yang menerpa di bahu ini, semakin membuatku tidak berdaya. Tidak ada tenaga untuk melepaskan diri.“Ke-kenapa kamu malam-malam ke sini? Bukankah__”“Aku tahu dari rumah sakit kalau kamu sudah pulang. Please, biarkan kita seperti ini dulu. Aku rindu,” serunya memotong ucapanku.Bukannya melepas pelukan, dia justru mempererat. Bahkan sekarang detak jantungnya pun terdengar jelas di telinga ini. Kami terdiam dengan berjubal pikiran. Segala yang terpendam di dada sedari tadi, ingin kumuntahkan. Mulut ini bersiap mengeluarkannya, tapi tertelan kembali karena usapan lembut yang terasa di punggungku yang hanya berbalut kain satin.Tadi aku sudah berganti dengan pakaian tidur. Piyama panjang berwarna hitam dengan renda-renda di setiap ujungnya.Beberapa detik, setitik rasa melambung karenanya. Namun seperti slide foto, apa yang dia perlakukan menghempaskan hati yang menghangat kembali beku
Baca selengkapnya

Bab 98. Mengatur Rencana

Entah berapa lama aku berdiri membeku di balik pintu. Dada ini masih bergemuruh karena perlakuan tiba-tiba itu. Orang menyebalkan itu, pergi begitu saja setelah diri ini diterbangkan ke langit biru. Yang aku ingat, bisikan di telinga saat menyelipkan helaian rambutku di telinga. “Sudah malam. Kamu istirahat, ya,” ucapnya tepat di depan wajahku. Aku hanya bisa mengerjapkan mata, menikmati embusan napa yang menerpa. Dia mengecup sekilas keningku, kemudian membuka handel pintu dan menutupnya setelah tersenyum sambil berkata, ”Mimpi yang indah.” Ngeselin, kan? Bagaimana bisa aku bermimpi, memejamkan mata saja pun tidak mampu. Remote televisi pun menajdi sasaran. Jari-jari ini hanya memainkan tombol tanpa ada chanel yang dipilih. Film action dan horor tidak menjadikan aku ingin melihatnya. Isi kepala ini seperti disabotase dengan ingatan tentangnya. Orang itu benar-benar menjadi racun! * “Mama tadi malam nyuci baju?” tanya Daniel yang sudah bersiap akan berangkat ke sekolah. Dia s
Baca selengkapnya

Bab 99. Datang Kembali

Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status