"Belum pulang, Tsa.""Belum pulang?" Aku mengulang kata yang diucapkan Mama seraya menoleh pada jam dinding.Sudah hampir tengah hari. Itu artinya Papa masih berada di kebun teh. "Iya, paling pulang sore, atau mungkin malam. Kenapa, Tsa? Ada yang ingin kamu bicarakan dengan Papa? Telpon saja, suruh dia datang. Kalau kamu yang minta, pasti Papa langsung datang.""Ah, enggak ada apa-apa, Mah. Cuma nanya aja. Kalau gitu, aku tutup teleponnya, ya? Ayu kayaknya minta susu, deh," kataku berbohong. Mama pun mengiyakan, dan aku langsung mematikan sambungan telepon, menyimpan ponsel di atas tempat tidur. "Jangan gegabah dalam bertindak, Sayang. Aku tahu, kamu kecewa. Tapi, jangan tularkan kekecewaan kamu pada orang yang belum tahu ini. Contohnya, Mama. Kasihan dia." Mas Rendra menghampiri, memelukku dan mengusap ubun-ubunku. Saat ini aku tengah lemah. Sesuatu yang tidak pernah aku duga, memporak-porandakan jiwaku sebagai seorang anak. Hati masih belum percaya jika papa seorang pria pembu
Baca selengkapnya