Terdengar helaan napas kasar dari Bang Ben, yang pada akhirnya kembali berujar. "Dania datang ke sini membawa Ayu."Sangat jelas. Bahkan aku sampai membulatkan mulut, dan langsung menutupnya dengan sebelah tangan. "Astaga! Terus gimana dengan Kak Anna? Oh, ya ampun ... aku dan Mas Rendra akan ke sana sekarang buat jemput Dania," ujarku bicara cepat. "Enggak usah, Tsa. Biarkan saja dia di sini.""Hah?!" Aku tambah terkejut. Bang Ben mengulang kata, mengatakan tidak masalah Dania berada di rumahnya. Dan itu membuatku tidak mengerti. Kenapa Bang Ben membiarkan Dania bersama dia dan Kak Anna? Apa rencana kakakku itu? "Tsa, Abang tutup dulu teleponnya, ya? Tenang saja, Abang baik-baik saja. Kak Anna pun ... dia tidak marah dengan datangnya Dania bersama Ayu.""T–tapi, Bang. Serius, Kak Anna enggak marah?" tanyaku, memastikan. "Serius. Nanti Abang kirim gambar Anna dan Dania. Abang, tutup dulu, ya? Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," ucapku lemah. Sungguh, aku sama sekali tidak bis
"Menyuruh Ibu pulang ke rumahnya."Mas Rendra tersentak dengan ucapan yang baru saja terlontar dari bibirku. Ini memang terdengar tidak sopan. Namun, aku ingin tahu apakah Mas Rendra benar-benar serius dengan ucapannya yang mengatakan berada di pihakku? Maka dari itu, aku sengaja menyuruh Mas Rendra mengusir ibunya dari rumahku. Jika dipikir-pikir, tega, memang. Ini sudah malam, apalagi Ibu sudah tidak lagi muda. Durhaka sebenarnya jika Mas Rendra benar-benar menyuruh Ibu pulang sekarang. Akan tetapi, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan suamiku setelah aku mengutarakan permintaanku itu. "Kamu nggak berani, kan?" kataku lagi. "Aku berani. Aku akan melakukannya sekarang juga." Sekarang giliran aku yang tersentak dengan jawaban Mas Rendra. Dengan langkah lebar, suamiku itu keluar dari kamar untuk menemui ibunya. Aku tidak tinggal diam. Kaki melangkah cepat menyusul Mas Rendra yang berjalan ke arah kamar ibu mertua.Kamar yang berada tepat di samping kamar Dania, tertutup ra
"Juga?" kataku tak sabar menunggu ucapan Mas Rendra yang menggantung. "Ibu menyuruhku mengambil berkas-berkas penting pabrik teh. Surat kepemilikan, contohnya.""Hah?!" kataku, terkejut. Kepala aku gelengkan berulang kali saking tidak menyangka jika Ibu memiliki hati yang buruk. Secara tidak langsung, Ibu telah menjerumuskan putranya sendiri pada jalan dosa. Dia menyuruh Mas Rendra mencuri di rumah mertuanya sendiri karena dendam sang Ibu. Sungguh miris. "Terus, kenapa kamu malah bilang padaku?" kataku, lalu meneguk air putih. "Sudah aku bilang, aku tidak berpihak pada Ibu. Jadi, semua yang dia perintahkan, pasti akan aku ceritakan padamu.""Kenapa enggak kamu ikuti maunya Ibu?" tanyaku lagi. Tangan ini tak hentinya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Meskipun rasa lapar sudah hilang, aku terus saja makan seraya bertanya dan mendengarkan jawaban Mas Rendra. "Enggak ada untungnya untukku, Tsa. Dosa juga.""Jelas untung, dong. Selain kamu bisa punya pabrik dari hasil merebut, kamu ju
Dadaku berdebar hebat, kaki lemas bak tak bertulang hingga tak mampu lagi melangkah setelah mendengar teriakan Mama dari dalam rumah. Dengan masih memegang gagang pintu, aku memejamkan mata, berulang kali mengatur napas untuk menetralkan detak jantung yang semakin tak terkendali. "Kenapa enggak masuk, Tsa?" Mas Rendra mengusap pundakku, membuat mata ini meliriknya sekilas.Melihat mataku yang mengembun, ditambah lagi suara teriakan yang saling sahut dari dalam rumah, membuat Mas Rendra paham jika kedua mertuanya itu tengah bertengkar hebat. Tak kuat lagi menahan air di pelupuk mata, aku pun menangis seraya memeluk tubuh Mas Rendra dengan erat. Allah ... rasanya sakit sekali mendengar Mama meminta cerai dari Papa. Sudah aku pastikan, jika akar masalah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka pasti ada kaitannya dengan Dania. "Mas ...?" kataku, seraya menyusupkan wajah di dada suamiku. "Kita masuk, ya? Kita hadapi semuanya bersama," tutur Mas Rendra. Aku mengangguk lemah, kemud
"Apa-apaan ini, Mah? Kamu menginginkan anak kita jadi janda?" Papa berdiri, langsung menjawab ucapan Mama. Mas Rendra yang ditunjuk Mama pun bangkit, dia menatap sendu ke arahku, juga Mama yang melihatnya dengan mata nyalang. Terlihat sekali kemarahan Mama pada suamiku yang disebutnya sebagai pembawa masalah. "Lebih baik Tsania jadi janda di usia muda, daripada hidup dengan laki-laki pembohong seperti dia," tutur Mama lagi. Aku menggelengkan kepala. Naluriku menolak jika harus berpisah dari Mas Rendra. Tidak aku pungkiri, meskipun ada kecewa, tapi cinta untuk laki-laki bergelar suamiku itu masih ada. Bahkan masih besar. Setali tiga uang denganku, Mas Rendra pun menggelengkan kepala, lalu dia melangkah hendak mendekatiku. Namun, tangan Mama langsung menarikku hingga tubuh ini menjauh dari Mas Rendra. Mama berdiri di depanku, menghalangi tubuhku agar tidak disentuh Mas Rendra. "Mah, aku memang salah telah berbohong pada kalian. Tapi, tolong jangan pisahkan aku dengan Tsania. Aku
"Papa emang bejad, Tsania. Tapi, Papa bukan manusia yang tidak tahu terima kasih. Papa akan tetap di samping mamamu, sampai kapan pun itu."Papa berujar seraya berdiri, kemudian dia pergi mengikuti perawat yang memindahkan Mama ke ruangan rawat inap. Kutatap punggung ayahku hingga benar-benar tak terlihat lagi. "Ayo, kita ke rumah Mama." Aku menoleh pada Mas Rendra, kemudian menganggukkan kepala. Seperti perintah Papa tadi, aku harus mengambil baju ganti untuk Mama selama di sini. "Tsa, Bang Ben belum dikasih tahu Mama dirawat. Mau aku yang telpon, atau kamu?" ujar Mas Rendra saat kami sudah dalam perjalanan ke rumah Mama. Aku tidak langsung menjawab. Menarik napas terlebih dahulu, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini pada Bang Ben. Ada dua sisi dari diriku yang saling bertentangan saat ini. Aku masih belum tahu siapa yang membuka tabiat Papa kepada Mama, yang akhirnya menghadirkan rasa curiga pada kakakku itu. Kenapa? Karena dia yang sedang mencari tahu masa lalu Dani
Aku mengira ada yang berbuat jahat pada Mama. Tapi, ternyata bukan. Mama tidak mau ditemani Papa di ruangan ini. Padahal, Papa tidak melakukan apa-apa. Ayahku itu hanya berdiri di belakang dokter yang hendak memeriksanya. "Pah, Papa keluar dulu, ya? Tsania mohon," kataku seraya menatap Papa. Kedua tanganku dipegang Mama. Dia terus saja meronta, hingga akhirnya berhenti setelah tak ada Papa di ruangan ini. Karena Mama sudah tenang, dokter pun memeriksa keadaan Mama yang baru sadarkan diri. Seperti yang aku khawatirkan, Mama sangat shock saat tahu sebagian tubuhnya tidak bisa bergerak dengan normal. Bagian kiri tubuh Mama tidak dapat digerakkan, tapi kata dokter hanya sementara. Bisa sembuh dengan terapi. "Mah ...." Bang Ben yang baru tahu dan melihat keadaan Mama, langsung menghampiri wanita pemilik surganya itu, lalu dia menangis seraya memeluk Mama. Aku mundur, sedikit menjauh agar memberikan ruang untuk ibu dan anak lelakinya itu. "Maafkan Abang, Mah," ujar Bang Ben di sel
Malam semakin larut, tapi mataku enggan untuk terpejam. Yang aku lakukan saat ini hanyalah memandangi wajah tua Mama yang terbaring di ranjang. Sedangkan di sofa, Bang Ben sudah menjelajahi mimpi setelah tadi memastikan istrinya baik-baik saja.Berulang kali aku menarik napas, menghirup udara yang kian terasa sedikit. Sesak. Kala kuingat permintaan Mama, dadaku seperti diinjak. "Kenapa tidak tidur?" Usapan lembut di pundak membuatku menoleh. Papa. Ia beridiri di belakangku dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Nggak bisa tidur," jawabku."Istirahat. Kalau tidak, kamu akan sakit.""Papa tidak pulang?" Bukannya menjawab ucapan Papa, aku malah bertanya. "Mana mungkin Papa bisa pulang dan tidur di rumah, jika di sini wanita yang Papa cintai sedang tidak baik-baik saja."Aku tersenyum kecil mendengar penuturan Papa. Entahlah, setelah melihat dengan jelas dan mendapatkan kepastian tentang kelakuan Papa, aku merasa ucapannya barusan hanyalah bualan semata. Cinta