"Juga?" kataku tak sabar menunggu ucapan Mas Rendra yang menggantung. "Ibu menyuruhku mengambil berkas-berkas penting pabrik teh. Surat kepemilikan, contohnya.""Hah?!" kataku, terkejut. Kepala aku gelengkan berulang kali saking tidak menyangka jika Ibu memiliki hati yang buruk. Secara tidak langsung, Ibu telah menjerumuskan putranya sendiri pada jalan dosa. Dia menyuruh Mas Rendra mencuri di rumah mertuanya sendiri karena dendam sang Ibu. Sungguh miris. "Terus, kenapa kamu malah bilang padaku?" kataku, lalu meneguk air putih. "Sudah aku bilang, aku tidak berpihak pada Ibu. Jadi, semua yang dia perintahkan, pasti akan aku ceritakan padamu.""Kenapa enggak kamu ikuti maunya Ibu?" tanyaku lagi. Tangan ini tak hentinya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Meskipun rasa lapar sudah hilang, aku terus saja makan seraya bertanya dan mendengarkan jawaban Mas Rendra. "Enggak ada untungnya untukku, Tsa. Dosa juga.""Jelas untung, dong. Selain kamu bisa punya pabrik dari hasil merebut, kamu ju
Dadaku berdebar hebat, kaki lemas bak tak bertulang hingga tak mampu lagi melangkah setelah mendengar teriakan Mama dari dalam rumah. Dengan masih memegang gagang pintu, aku memejamkan mata, berulang kali mengatur napas untuk menetralkan detak jantung yang semakin tak terkendali. "Kenapa enggak masuk, Tsa?" Mas Rendra mengusap pundakku, membuat mata ini meliriknya sekilas.Melihat mataku yang mengembun, ditambah lagi suara teriakan yang saling sahut dari dalam rumah, membuat Mas Rendra paham jika kedua mertuanya itu tengah bertengkar hebat. Tak kuat lagi menahan air di pelupuk mata, aku pun menangis seraya memeluk tubuh Mas Rendra dengan erat. Allah ... rasanya sakit sekali mendengar Mama meminta cerai dari Papa. Sudah aku pastikan, jika akar masalah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka pasti ada kaitannya dengan Dania. "Mas ...?" kataku, seraya menyusupkan wajah di dada suamiku. "Kita masuk, ya? Kita hadapi semuanya bersama," tutur Mas Rendra. Aku mengangguk lemah, kemud
"Apa-apaan ini, Mah? Kamu menginginkan anak kita jadi janda?" Papa berdiri, langsung menjawab ucapan Mama. Mas Rendra yang ditunjuk Mama pun bangkit, dia menatap sendu ke arahku, juga Mama yang melihatnya dengan mata nyalang. Terlihat sekali kemarahan Mama pada suamiku yang disebutnya sebagai pembawa masalah. "Lebih baik Tsania jadi janda di usia muda, daripada hidup dengan laki-laki pembohong seperti dia," tutur Mama lagi. Aku menggelengkan kepala. Naluriku menolak jika harus berpisah dari Mas Rendra. Tidak aku pungkiri, meskipun ada kecewa, tapi cinta untuk laki-laki bergelar suamiku itu masih ada. Bahkan masih besar. Setali tiga uang denganku, Mas Rendra pun menggelengkan kepala, lalu dia melangkah hendak mendekatiku. Namun, tangan Mama langsung menarikku hingga tubuh ini menjauh dari Mas Rendra. Mama berdiri di depanku, menghalangi tubuhku agar tidak disentuh Mas Rendra. "Mah, aku memang salah telah berbohong pada kalian. Tapi, tolong jangan pisahkan aku dengan Tsania. Aku
"Papa emang bejad, Tsania. Tapi, Papa bukan manusia yang tidak tahu terima kasih. Papa akan tetap di samping mamamu, sampai kapan pun itu."Papa berujar seraya berdiri, kemudian dia pergi mengikuti perawat yang memindahkan Mama ke ruangan rawat inap. Kutatap punggung ayahku hingga benar-benar tak terlihat lagi. "Ayo, kita ke rumah Mama." Aku menoleh pada Mas Rendra, kemudian menganggukkan kepala. Seperti perintah Papa tadi, aku harus mengambil baju ganti untuk Mama selama di sini. "Tsa, Bang Ben belum dikasih tahu Mama dirawat. Mau aku yang telpon, atau kamu?" ujar Mas Rendra saat kami sudah dalam perjalanan ke rumah Mama. Aku tidak langsung menjawab. Menarik napas terlebih dahulu, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini pada Bang Ben. Ada dua sisi dari diriku yang saling bertentangan saat ini. Aku masih belum tahu siapa yang membuka tabiat Papa kepada Mama, yang akhirnya menghadirkan rasa curiga pada kakakku itu. Kenapa? Karena dia yang sedang mencari tahu masa lalu Dani
Aku mengira ada yang berbuat jahat pada Mama. Tapi, ternyata bukan. Mama tidak mau ditemani Papa di ruangan ini. Padahal, Papa tidak melakukan apa-apa. Ayahku itu hanya berdiri di belakang dokter yang hendak memeriksanya. "Pah, Papa keluar dulu, ya? Tsania mohon," kataku seraya menatap Papa. Kedua tanganku dipegang Mama. Dia terus saja meronta, hingga akhirnya berhenti setelah tak ada Papa di ruangan ini. Karena Mama sudah tenang, dokter pun memeriksa keadaan Mama yang baru sadarkan diri. Seperti yang aku khawatirkan, Mama sangat shock saat tahu sebagian tubuhnya tidak bisa bergerak dengan normal. Bagian kiri tubuh Mama tidak dapat digerakkan, tapi kata dokter hanya sementara. Bisa sembuh dengan terapi. "Mah ...." Bang Ben yang baru tahu dan melihat keadaan Mama, langsung menghampiri wanita pemilik surganya itu, lalu dia menangis seraya memeluk Mama. Aku mundur, sedikit menjauh agar memberikan ruang untuk ibu dan anak lelakinya itu. "Maafkan Abang, Mah," ujar Bang Ben di sel
Malam semakin larut, tapi mataku enggan untuk terpejam. Yang aku lakukan saat ini hanyalah memandangi wajah tua Mama yang terbaring di ranjang. Sedangkan di sofa, Bang Ben sudah menjelajahi mimpi setelah tadi memastikan istrinya baik-baik saja.Berulang kali aku menarik napas, menghirup udara yang kian terasa sedikit. Sesak. Kala kuingat permintaan Mama, dadaku seperti diinjak. "Kenapa tidak tidur?" Usapan lembut di pundak membuatku menoleh. Papa. Ia beridiri di belakangku dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Nggak bisa tidur," jawabku."Istirahat. Kalau tidak, kamu akan sakit.""Papa tidak pulang?" Bukannya menjawab ucapan Papa, aku malah bertanya. "Mana mungkin Papa bisa pulang dan tidur di rumah, jika di sini wanita yang Papa cintai sedang tidak baik-baik saja."Aku tersenyum kecil mendengar penuturan Papa. Entahlah, setelah melihat dengan jelas dan mendapatkan kepastian tentang kelakuan Papa, aku merasa ucapannya barusan hanyalah bualan semata. Cinta
"Abang terkejut sekaligus marah pada Papa. Abang tidak menyangka, jika dia seperti itu.""Lalu?" kataku, tidak sabar mendengar penjelasan Bang Ben. Pagi ini, aku diajak sarapan oleh Bang Ben, di salah satu restoran dekat rumah sakit. Tadi, Mama kedatangan sahabat-sahabatnya. Dan Mama mengizinkan kami pergi untuk mengisi perut, selama ia ditemani temannya itu. "Abang kesal, Abang datang ke rumah dengan membawa foto yang didapat dari orang suruhan Abang. Foto Papa dengan Dania, juga dengan wanita-wanita lainnya," lanjut Bang Ben, kemudian ia menyesap kopi dari cangkir yang ada di depannya. Ternyata dugaanku memang benar. Dari Bang Ben lah Mama tahu tentang Papa yang sebenarnya. Dan itu jugalah yang menyebabkan Mama dan Papa bertengkar, hingga akhirnya merembet pada pernikahanku. "Terus, kita harus apa sekarang, Bang? Aku bingung, jujur aku sangat tidak tahu harus berbuat apa. Mama memintaku berpisah dari Mas Rendra, tapi aku berat. Aku dan Mas Rendra bukan pacaran, aku istrinya. Tap
"Sebenarnya mau Papa apa? Kenapa malah membahas sesuatu yang sudah lalu?" tanya Mama kemudian. "Sudah, jangan banyak tanya dulu. Sinikan selimutnya. Kotor." Papa menggulung selimut yang terkena muntah Mama, kemudian menyimpannya di bawah ranjang. Setelahnya, ia meminta Mama mengganti pakaian karena ada beberapa bagian yang basah oleh air minum. Aku hanya diam memperhatikan Papa yang dengan gesitnya mengganti pakaian Mama, lalu keluar dari kamar seraya membawa selimut kotor. "Papamu cari perhatian," celetuk Mama saat ayahku sudah pergi. "Mungkin, Papa benar-benar ingin membuktikan kata-katanya, Mah.""Kata-kata yang mana?" tanya Mama."Tentang perpisahan. Papa tidak ingin itu terjadi pada hubungan pernikahan Mama dan Papa. Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk suatu hubungan pernikahan, Mah. Masa iya, harus berakhir dengan perceraian?" Mama tak lagi bicara. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan.Tidak berapa lama, Papa kembali dengan sel
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan