"Papa emang bejad, Tsania. Tapi, Papa bukan manusia yang tidak tahu terima kasih. Papa akan tetap di samping mamamu, sampai kapan pun itu."Papa berujar seraya berdiri, kemudian dia pergi mengikuti perawat yang memindahkan Mama ke ruangan rawat inap. Kutatap punggung ayahku hingga benar-benar tak terlihat lagi. "Ayo, kita ke rumah Mama." Aku menoleh pada Mas Rendra, kemudian menganggukkan kepala. Seperti perintah Papa tadi, aku harus mengambil baju ganti untuk Mama selama di sini. "Tsa, Bang Ben belum dikasih tahu Mama dirawat. Mau aku yang telpon, atau kamu?" ujar Mas Rendra saat kami sudah dalam perjalanan ke rumah Mama. Aku tidak langsung menjawab. Menarik napas terlebih dahulu, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini pada Bang Ben. Ada dua sisi dari diriku yang saling bertentangan saat ini. Aku masih belum tahu siapa yang membuka tabiat Papa kepada Mama, yang akhirnya menghadirkan rasa curiga pada kakakku itu. Kenapa? Karena dia yang sedang mencari tahu masa lalu Dani
Aku mengira ada yang berbuat jahat pada Mama. Tapi, ternyata bukan. Mama tidak mau ditemani Papa di ruangan ini. Padahal, Papa tidak melakukan apa-apa. Ayahku itu hanya berdiri di belakang dokter yang hendak memeriksanya. "Pah, Papa keluar dulu, ya? Tsania mohon," kataku seraya menatap Papa. Kedua tanganku dipegang Mama. Dia terus saja meronta, hingga akhirnya berhenti setelah tak ada Papa di ruangan ini. Karena Mama sudah tenang, dokter pun memeriksa keadaan Mama yang baru sadarkan diri. Seperti yang aku khawatirkan, Mama sangat shock saat tahu sebagian tubuhnya tidak bisa bergerak dengan normal. Bagian kiri tubuh Mama tidak dapat digerakkan, tapi kata dokter hanya sementara. Bisa sembuh dengan terapi. "Mah ...." Bang Ben yang baru tahu dan melihat keadaan Mama, langsung menghampiri wanita pemilik surganya itu, lalu dia menangis seraya memeluk Mama. Aku mundur, sedikit menjauh agar memberikan ruang untuk ibu dan anak lelakinya itu. "Maafkan Abang, Mah," ujar Bang Ben di sel
Malam semakin larut, tapi mataku enggan untuk terpejam. Yang aku lakukan saat ini hanyalah memandangi wajah tua Mama yang terbaring di ranjang. Sedangkan di sofa, Bang Ben sudah menjelajahi mimpi setelah tadi memastikan istrinya baik-baik saja.Berulang kali aku menarik napas, menghirup udara yang kian terasa sedikit. Sesak. Kala kuingat permintaan Mama, dadaku seperti diinjak. "Kenapa tidak tidur?" Usapan lembut di pundak membuatku menoleh. Papa. Ia beridiri di belakangku dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Nggak bisa tidur," jawabku."Istirahat. Kalau tidak, kamu akan sakit.""Papa tidak pulang?" Bukannya menjawab ucapan Papa, aku malah bertanya. "Mana mungkin Papa bisa pulang dan tidur di rumah, jika di sini wanita yang Papa cintai sedang tidak baik-baik saja."Aku tersenyum kecil mendengar penuturan Papa. Entahlah, setelah melihat dengan jelas dan mendapatkan kepastian tentang kelakuan Papa, aku merasa ucapannya barusan hanyalah bualan semata. Cinta
"Abang terkejut sekaligus marah pada Papa. Abang tidak menyangka, jika dia seperti itu.""Lalu?" kataku, tidak sabar mendengar penjelasan Bang Ben. Pagi ini, aku diajak sarapan oleh Bang Ben, di salah satu restoran dekat rumah sakit. Tadi, Mama kedatangan sahabat-sahabatnya. Dan Mama mengizinkan kami pergi untuk mengisi perut, selama ia ditemani temannya itu. "Abang kesal, Abang datang ke rumah dengan membawa foto yang didapat dari orang suruhan Abang. Foto Papa dengan Dania, juga dengan wanita-wanita lainnya," lanjut Bang Ben, kemudian ia menyesap kopi dari cangkir yang ada di depannya. Ternyata dugaanku memang benar. Dari Bang Ben lah Mama tahu tentang Papa yang sebenarnya. Dan itu jugalah yang menyebabkan Mama dan Papa bertengkar, hingga akhirnya merembet pada pernikahanku. "Terus, kita harus apa sekarang, Bang? Aku bingung, jujur aku sangat tidak tahu harus berbuat apa. Mama memintaku berpisah dari Mas Rendra, tapi aku berat. Aku dan Mas Rendra bukan pacaran, aku istrinya. Tap
"Sebenarnya mau Papa apa? Kenapa malah membahas sesuatu yang sudah lalu?" tanya Mama kemudian. "Sudah, jangan banyak tanya dulu. Sinikan selimutnya. Kotor." Papa menggulung selimut yang terkena muntah Mama, kemudian menyimpannya di bawah ranjang. Setelahnya, ia meminta Mama mengganti pakaian karena ada beberapa bagian yang basah oleh air minum. Aku hanya diam memperhatikan Papa yang dengan gesitnya mengganti pakaian Mama, lalu keluar dari kamar seraya membawa selimut kotor. "Papamu cari perhatian," celetuk Mama saat ayahku sudah pergi. "Mungkin, Papa benar-benar ingin membuktikan kata-katanya, Mah.""Kata-kata yang mana?" tanya Mama."Tentang perpisahan. Papa tidak ingin itu terjadi pada hubungan pernikahan Mama dan Papa. Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk suatu hubungan pernikahan, Mah. Masa iya, harus berakhir dengan perceraian?" Mama tak lagi bicara. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan.Tidak berapa lama, Papa kembali dengan sel
Desrian halus menjalar ke seluruh tubuh saat dengan lembut sentuhan demi sentuhan diberikan Mas Rendra padaku. Saat ini, aku dan dia sudah berada di rumah kami, di ruangan pribadi yang menjadi saksi hangatnya malam-malam yang kami lewati selama satu tahun lebih. "Mas ...." Aku melepaskan pagutannya. Sorot mata itu menatap lekat, bertanya kenapa aku menyudahi permainan yang baru saja dimulai. "Apa ini yang terakhir?" tanyaku, dengan mata yang mengembun."Jangan bilang ini yang terakhir, Sayang. Aku tidak ingin mengakhirinya.""Tapi ....""Jikapun iya, mari kita ciptakan kenangan indah di setiap detik terakhir ini," ujar Mas Rendra lagi, membuat dadaku kian berdenyut nyeri. Pria yang tak lain adalah suamiku itu kembali memulai apa yang tadi sempat terhenti. Detik demi detik, menit demi menit aku nikmati dengan perasaan yang tak menentu. Senang bercampur sedih menyatu setelah kami selesai melakukan hubungan halal sebagai suami istri. Bayangan perpisahan terus saja menari, membuatk
"Yakinlah," jawab Dania dengan nada ketus. "Buktinya, Bang Ben menyuruhku dan Ibu untuk membeli gaun pengantin. Ingat, Tsania. Jangan pernah mencoba menggagalkan pernikahanku. Aku tidak akan mengampunimu.""Dania!" Mas Rendra yang melihat adiknya berbicara dengan telunjuk di depan wajahku, dia tak terima dan menegurnya. Dania memalingkan wajah, lalu dia bangkit dan pergi ke kamarnya seraya membawa belanjaan yang dibelinya."Tsania, Ibu tahu perasaan kamu. Kamu pasti kecewa dan sedih, kan, karena Ben bersedia menikahi Dania? Tapi, harus kamu ketahui, Tsa. Apa yang Ben lakukan, itu memang sudah kewajiban dia. Menikahi wanita yang telah dirusaknya."Aku langsung melihat pada Ibu yang baru saja bicara. Meskipun dengan nada pelan terbilang lembut, tapi demi Tuhan aku tidak terima dengan perkataan dia yang mengatakan kakakku telah merusak Dania. Nyatanya, Dania rusak sebelum Bang Ben hadir dalam kehidupan dia. "Maaf, Bu. Bukannya aku lancang, tapi apa Ibu tahu, bagaimana kehidupan Dania
Aku tercengang dengan penuturan Ibu. Aku sama sekali tidak menyangka, jika ia akan merendahkan diri untuk mendapatkan simpati.Sayangnya, aku tidak termakan dengan omongan ibu mertua. Namun, beda dengan Dania. Ia yang percaya akan ucapan ibunya, langsung menyorotiku tajam, menyangka akulah yang merendahkan ibunya. "Apa yang kamu katakan pada, Ibu?" tanya Dania kemudian. Aku mengedikkan bahu depan menarik sudut bibir ke bawah. "Kau menghina ibuku?!" ujar Dania lagi seraya merangsek mendekatiku, bersiap untuk menyerang. Mas Rendra yang melihat adiknya mulai tersulut emosi, dia berdiri di depanku, menghalangi tubuhku dengan tubuhnya. "Tidak ada yang merendahkan Ibu, Dania." Mas Rendra buka suara. "Bu, tolong jangan bicara seolah-olah Tsania merendahkan Ibu," lanjut Mas Rendra dengan tatapan pada ibunya. "Rendra, apa kamu tidak mendengar ucapan istrimu tadi? Dia menuduh Ibu berencana menguasai harta ayah mertuamu. Apa itu maksudnya bukan merendahkan?" ujar Ibu, memutar balikkan fakt