"Abang terkejut sekaligus marah pada Papa. Abang tidak menyangka, jika dia seperti itu.""Lalu?" kataku, tidak sabar mendengar penjelasan Bang Ben. Pagi ini, aku diajak sarapan oleh Bang Ben, di salah satu restoran dekat rumah sakit. Tadi, Mama kedatangan sahabat-sahabatnya. Dan Mama mengizinkan kami pergi untuk mengisi perut, selama ia ditemani temannya itu. "Abang kesal, Abang datang ke rumah dengan membawa foto yang didapat dari orang suruhan Abang. Foto Papa dengan Dania, juga dengan wanita-wanita lainnya," lanjut Bang Ben, kemudian ia menyesap kopi dari cangkir yang ada di depannya. Ternyata dugaanku memang benar. Dari Bang Ben lah Mama tahu tentang Papa yang sebenarnya. Dan itu jugalah yang menyebabkan Mama dan Papa bertengkar, hingga akhirnya merembet pada pernikahanku. "Terus, kita harus apa sekarang, Bang? Aku bingung, jujur aku sangat tidak tahu harus berbuat apa. Mama memintaku berpisah dari Mas Rendra, tapi aku berat. Aku dan Mas Rendra bukan pacaran, aku istrinya. Tap
"Sebenarnya mau Papa apa? Kenapa malah membahas sesuatu yang sudah lalu?" tanya Mama kemudian. "Sudah, jangan banyak tanya dulu. Sinikan selimutnya. Kotor." Papa menggulung selimut yang terkena muntah Mama, kemudian menyimpannya di bawah ranjang. Setelahnya, ia meminta Mama mengganti pakaian karena ada beberapa bagian yang basah oleh air minum. Aku hanya diam memperhatikan Papa yang dengan gesitnya mengganti pakaian Mama, lalu keluar dari kamar seraya membawa selimut kotor. "Papamu cari perhatian," celetuk Mama saat ayahku sudah pergi. "Mungkin, Papa benar-benar ingin membuktikan kata-katanya, Mah.""Kata-kata yang mana?" tanya Mama."Tentang perpisahan. Papa tidak ingin itu terjadi pada hubungan pernikahan Mama dan Papa. Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk suatu hubungan pernikahan, Mah. Masa iya, harus berakhir dengan perceraian?" Mama tak lagi bicara. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan.Tidak berapa lama, Papa kembali dengan sel
Desrian halus menjalar ke seluruh tubuh saat dengan lembut sentuhan demi sentuhan diberikan Mas Rendra padaku. Saat ini, aku dan dia sudah berada di rumah kami, di ruangan pribadi yang menjadi saksi hangatnya malam-malam yang kami lewati selama satu tahun lebih. "Mas ...." Aku melepaskan pagutannya. Sorot mata itu menatap lekat, bertanya kenapa aku menyudahi permainan yang baru saja dimulai. "Apa ini yang terakhir?" tanyaku, dengan mata yang mengembun."Jangan bilang ini yang terakhir, Sayang. Aku tidak ingin mengakhirinya.""Tapi ....""Jikapun iya, mari kita ciptakan kenangan indah di setiap detik terakhir ini," ujar Mas Rendra lagi, membuat dadaku kian berdenyut nyeri. Pria yang tak lain adalah suamiku itu kembali memulai apa yang tadi sempat terhenti. Detik demi detik, menit demi menit aku nikmati dengan perasaan yang tak menentu. Senang bercampur sedih menyatu setelah kami selesai melakukan hubungan halal sebagai suami istri. Bayangan perpisahan terus saja menari, membuatk
"Yakinlah," jawab Dania dengan nada ketus. "Buktinya, Bang Ben menyuruhku dan Ibu untuk membeli gaun pengantin. Ingat, Tsania. Jangan pernah mencoba menggagalkan pernikahanku. Aku tidak akan mengampunimu.""Dania!" Mas Rendra yang melihat adiknya berbicara dengan telunjuk di depan wajahku, dia tak terima dan menegurnya. Dania memalingkan wajah, lalu dia bangkit dan pergi ke kamarnya seraya membawa belanjaan yang dibelinya."Tsania, Ibu tahu perasaan kamu. Kamu pasti kecewa dan sedih, kan, karena Ben bersedia menikahi Dania? Tapi, harus kamu ketahui, Tsa. Apa yang Ben lakukan, itu memang sudah kewajiban dia. Menikahi wanita yang telah dirusaknya."Aku langsung melihat pada Ibu yang baru saja bicara. Meskipun dengan nada pelan terbilang lembut, tapi demi Tuhan aku tidak terima dengan perkataan dia yang mengatakan kakakku telah merusak Dania. Nyatanya, Dania rusak sebelum Bang Ben hadir dalam kehidupan dia. "Maaf, Bu. Bukannya aku lancang, tapi apa Ibu tahu, bagaimana kehidupan Dania
Aku tercengang dengan penuturan Ibu. Aku sama sekali tidak menyangka, jika ia akan merendahkan diri untuk mendapatkan simpati.Sayangnya, aku tidak termakan dengan omongan ibu mertua. Namun, beda dengan Dania. Ia yang percaya akan ucapan ibunya, langsung menyorotiku tajam, menyangka akulah yang merendahkan ibunya. "Apa yang kamu katakan pada, Ibu?" tanya Dania kemudian. Aku mengedikkan bahu depan menarik sudut bibir ke bawah. "Kau menghina ibuku?!" ujar Dania lagi seraya merangsek mendekatiku, bersiap untuk menyerang. Mas Rendra yang melihat adiknya mulai tersulut emosi, dia berdiri di depanku, menghalangi tubuhku dengan tubuhnya. "Tidak ada yang merendahkan Ibu, Dania." Mas Rendra buka suara. "Bu, tolong jangan bicara seolah-olah Tsania merendahkan Ibu," lanjut Mas Rendra dengan tatapan pada ibunya. "Rendra, apa kamu tidak mendengar ucapan istrimu tadi? Dia menuduh Ibu berencana menguasai harta ayah mertuamu. Apa itu maksudnya bukan merendahkan?" ujar Ibu, memutar balikkan fakt
Satu minggu sudah Mama dirawat di rumah sakit, dan Alhamdulillah pagi ini ia diizinkan pulang. Saat ini, aku tengah mengemasi barang-barang, karena sebentar lagi Bang Ben akan datang menjemput kami. "Assalamualaikum!"Aku dan Mama menoleh ke arah pintu yang terbuka, di mana seorang pria masuk setelah mengucapakan salam."Waalaikumsalam," ucapku dan Mama bersamaan. "Sudah beres? Kita pulang sekarang?" ujar pria itu seraya menatapku dan Mama bergantian. "Kita pulang sama Ben, saja.""Apa bedanya jika bersama Papa? Kita tetap pulang ke rumah yang sama, bukan?" "Aku ingin pulang bersama Ben," ujar Mama lagi. Papa yang mendapatkan penolakan dari Mama, hanya bisa mengembuskan napas kasar. Mungkin Papa kecewa, karena Mama masih marah padanya. Padahal, setiap hari Papa datang, bahkan tidur di sini hanya untuk menemani istrinya itu. Namun, hati Mama masih membeku. Rasa kecewa dan sakit hatinya tidak bisa diluluhkan begitu saja. Aku jadi bingung sendiri dengan semua ini. Bagaimana cara
"Enggak usah berhenti, Pah," kataku saat Papa memelankan laju mobilnya. "Kamu tidak mau menemui suamimu?""Tidak. Kita langsung pulang saja. Biarkan saja Mas Rendra dengan Sabrina."Papa melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya, tapi aku tidak ingin menjelaskan apa pun. Mungkin, apa yang aku lihat sekarang adalah salah satu petunjuk dari Tuhan untukku berpisah dari Mas Rendra. Ternyata semua kata cintanya hanyalah bualan. Bilangnya tidak ingin berpisah, tapi malah jalan berdua dengan wanita lain. Sesampainya di rumah Mama, aku menyimpan tas berisikan pakaian kotor di dekat mesin cuci. Selanjutnya, aku pergi ke kamar Mama, di mana ada Bang Ben dan Kak Anna yang tengah membantu ibuku itu berbaring di ranjang. "Mama mau makan, gak? Biar aku ambilkan ke dapur." Aku menawarkan. "Tidak usah, Tsa. Mama mau istirahat saja. Kalian boleh keluar, tapi jangan pergi dari rumah, ya? Mama gak mau ditinggal sendirian."Aku dan Kak Anna saling pandang, lalu mengangguk ke arah Mama. Aku dan k
"Kamu mau ke mana, Tsa?"Pertanyaan dilontarkan Papa saat aku turun dari lantai dua, kemudian berjalan ke arah pintu utama. Ternyata Papa habis dari minimarket. Terlihat dari kedua tangannya yang memegang kantong plastik berlogokan salah satu minimarket yang ada di sekitar sini. "Aku mau pergi bentar, Pah. Kalau Mama nanyain, bilang aja ke rumah. Mau ambil baju. Di sini, baju-baju aku cuma dikit," jawabku. "Oke. Mau Papa antar?" "Ah, enggak usah. Aku bisa sendiri.""Yasudah, hati-hati, ya?" ujar Papa, dan kemudian aku jawab dengan anggukan kepala. Niatku untuk pulang ke rumah bukan hanya untuk mengambil pakaian, tapi juga untuk melakukan sesuatu kepada mereka yang masih berada di sana. Lihatlah, apa yang akan aku perbuat hari ini, pasti bisa membuat mereka marah dan tidak terima. Mobil aku lajukan pelan membelah jalanan. Rasa sakit hati dan kecewa membuatku nekad untuk pergi menemui Mas Rendra dan keluarganya. Entah akan ada drama apa di sana nanti, yang jelas aku sudah tidak