"Enggak usah berhenti, Pah," kataku saat Papa memelankan laju mobilnya. "Kamu tidak mau menemui suamimu?""Tidak. Kita langsung pulang saja. Biarkan saja Mas Rendra dengan Sabrina."Papa melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya, tapi aku tidak ingin menjelaskan apa pun. Mungkin, apa yang aku lihat sekarang adalah salah satu petunjuk dari Tuhan untukku berpisah dari Mas Rendra. Ternyata semua kata cintanya hanyalah bualan. Bilangnya tidak ingin berpisah, tapi malah jalan berdua dengan wanita lain. Sesampainya di rumah Mama, aku menyimpan tas berisikan pakaian kotor di dekat mesin cuci. Selanjutnya, aku pergi ke kamar Mama, di mana ada Bang Ben dan Kak Anna yang tengah membantu ibuku itu berbaring di ranjang. "Mama mau makan, gak? Biar aku ambilkan ke dapur." Aku menawarkan. "Tidak usah, Tsa. Mama mau istirahat saja. Kalian boleh keluar, tapi jangan pergi dari rumah, ya? Mama gak mau ditinggal sendirian."Aku dan Kak Anna saling pandang, lalu mengangguk ke arah Mama. Aku dan k
"Kamu mau ke mana, Tsa?"Pertanyaan dilontarkan Papa saat aku turun dari lantai dua, kemudian berjalan ke arah pintu utama. Ternyata Papa habis dari minimarket. Terlihat dari kedua tangannya yang memegang kantong plastik berlogokan salah satu minimarket yang ada di sekitar sini. "Aku mau pergi bentar, Pah. Kalau Mama nanyain, bilang aja ke rumah. Mau ambil baju. Di sini, baju-baju aku cuma dikit," jawabku. "Oke. Mau Papa antar?" "Ah, enggak usah. Aku bisa sendiri.""Yasudah, hati-hati, ya?" ujar Papa, dan kemudian aku jawab dengan anggukan kepala. Niatku untuk pulang ke rumah bukan hanya untuk mengambil pakaian, tapi juga untuk melakukan sesuatu kepada mereka yang masih berada di sana. Lihatlah, apa yang akan aku perbuat hari ini, pasti bisa membuat mereka marah dan tidak terima. Mobil aku lajukan pelan membelah jalanan. Rasa sakit hati dan kecewa membuatku nekad untuk pergi menemui Mas Rendra dan keluarganya. Entah akan ada drama apa di sana nanti, yang jelas aku sudah tidak
"Tidak, Tsania. Bukan itu yang aku inginkan. Kamu jangan dengarkan Sabrina. Kamu juga tahu, kalau dia emang ingin menghancurkan rumah tangga kita.""Kamu juga, Mas," kataku, seraya menarik tangan yang baru saja digenggam Mas Rendra. "Ada, usaha kamu untuk mempertahankan rumah tangga kita? Tidak ada. Jangankan mencari solusi, mencari cara untuk meluluhkan hati Mama pun tidak kamu lakukan, Mas.""Sayang ....""Stop!" Aku mengangkat kedua tangan di depan Mas Rendra. "Cukup, tidak usah menjelaskan apa pun lagi. Kediamanmu selama lima hari ke belakang kuanggap sebagai keputusan akhir dari masalah kita. Dan perpisahan adalah jalan yang terbaik. Silahkan kamu angkat kaki dari rumah ini, bawa beserta adik dan ibumu."Mata Mas Rendra menatap lekat netraku yang juga melihatnya dengan serius. Kulihat ada kemarahan dari pria tersebut, tapi sedikit pun aku tidak takut. Sekarang keputusanku sudah bulat. Aku ingin berpisah dan jauh dari keluarga toxic macam mereka. Satu wanita menyunggingkan senyu
"A–apa maksudmu, Mas?" tanyaku tergagap."Bunuh aku sekarang juga," ulangnya lagi. "Aku lebih baik mati daripada kita berpisah, Tsania. Cepat, bunuh aku. Bunuh aku sekarang juga!!" Aku memejamkan mata saat Mas Rendra berteriak dengan lantang di depan wajahku. Jantung berdebar tak karuan seiiring dengan rasa takut yang muncul di dalam diri ini. Melihat tatapan Mas Rendra yang begitu tajam padaku, juga perintah dia yang sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat, membuat nyaliku menciut. Aku bingung harus bagaimana. Pergi pun sepertinya tidak bisa, karena jalanku dihalanginya. "M–mas," ucapku tertahan. Ludah aku telan dengan kasar, lalu memberanikan diri untuk menatap mata Mas Rendra dengan tenang. Meskipun hati sangatlah risau. "Aku lebih senang kau menghilangkan nyawaku daripada pergi meninggalkanku, Tsania." Mas Rendra kembali berujar. Aku menarik napas, kemudian mengembuskannya seraya memaksakan tersenyum. "Aku tahu ini berat untukmu, Mas. Untukku juga. Tapi ... aku sudah t
"Ada apa, Mah? Tadi aku denger ada suara ribut-ribut?" Aku turun ke lantai satu setelah Mas Rendra benar-benar pergi. Dan aku bertanya, seolah-olah tidak tahu apa-apa mengenai perdebatan Mama dan Mas Rendra. "Rendra datang. Dia memohon kepada Mama untuk tidak menyuruhmu menggugat cerai," tutur Bang Ben menjelaskan. Mama yang hanya bisa duduk di kursi roda, memijit kening seraya mengatur napas. Aku mengusap pundak ibuku itu, lalu mendorong kursi roda mendekati sofa. "Sakit kepalanya, Mah?" tanyaku seraya menghenyakkan bokong pada sofa. "Mama pusing. Pusing dengan kelakuan suamimu itu. Kemarin waktu Mama di rumah sakit, dia tidak ada datang sama sekali. Sekarang, dia datang hanya untuk meminta tolong. Enggak tahu malu. Datang saat butuhnya saja," ujar Mama. Aku tersenyum kecut seraya menoleh pada Bang Ben dan istrinya yang juga ikut duduk bersamaku dan Mama. Ucapan Mama memang benar, tapi entah kenapa hatiku sedikit tidak terima mendengarnya. Mungkin karena aku masih menyimpan
"Mah, aku mau pergi dulu sebentar, ya?" "Ke mana, Tsa?" Mama bertanya dengan menatapku lekat. "Mau lihat rumah. Siapa tahu, orang-orang itu sudah pergi," kataku. Mama manggut-manggut. Sebelah tangannya mengambil obat, lalu dilanjutkan dengan gelas berisikan air minum. "Jangan lama-lama, ya? Ada ataupun tidaknya mereka, kamu cepat-cepat pulang. Mama tidak mau, kamu jadi berubah pikiran kalau lama-lama di sana.""Tidak akan, Mah. Kan, Tsania sudah janji mau ngerawat Mama sampai sembuh." "Makasih," ucap Mama dengan tatapan tulusnya. Aku merangkul tubuh yang sekarang mulai kurus itu. Seminggu dua kali Mama menjalani terapi, tapi hasilnya belum terlihat. Sebelah tangan dan kaki masih tidak bisa digerakkan, dan kalau duduk pun harus ada sandaran. "Yasudah, sekarang Mama istirahat lagi. Kalau butuh apa-apa, Mama bisa panggil Bibi, ya?" kataku, lalu membantu Mama berbaring. Setelah memastikan Mama nyaman dengan posisi tidurnya, aku keluar dari kamar seraya membawa gelas kosong dan na
Tidak puas dengan hanya duduk saja, aku pun berkeliling menjelajahi setiap ruangan yang ada di rumah ini. Sepi, hanya langkah kakiku yang menjadi satu-satunya sumber suara. "Eh, ada surat lagi? Apa itu dari Ibu?" kataku, saat masuk ke ruangan yang dijadikan kamar ibu mertua. Ada secarik kertas yang tersimpan di nakas. Aku pun mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. [Aku sudah merapikan kamar ini seperti semula. Tidak ada satu pun jejak orang lain di sini, dan maaf, jika ibuku telah mengotori rumahmu.]Dadaku berdenyut nyeri kala membaca surat uang kupastikan ditulis Mas Rendra. Dia dalam suratnya, dia mengatakan seolah-olah aku menantu angkuh yang menganggap mertuanya kotoran. Padahal, tidak seperti itu. Aku pernah menghormatinya, tapi sayang aku malah dikecewakan begitu dalamnya. Keluar dari kamar Ibu, aku masuk ke kamar Dania. Lagi dan lagi asa secarik kertas yang tersimpan di atas ranjang. [Terima kasih sudah pernah menjadi ibu dari Ayu. Aku minta maaf atas nama Dania y
Papa menceritakan jika dalam surat yang ditulis Mas Rendra untuk Papa, suamiku itu pamit dan minta maaf. Mas Rendra juga menceritakan tentang utang Sabrina yang jumlahnya mencapai dua puluh juta. Bukan angka yang sedikit untuk kami, karena pastinya sangat merugikan pabrik. "Terus, dia bilang apa lagi, Pah?" tanyaku, ketika Papa menjeda ucapannya. "Banyak, sih. Cuma intinya, dia sangat tidak menginginkan perpisahan kalian. Tapi ... mau gimana lagi? Dia yang tidak bisa memperjuangkan, juga keluarganya yang seperti itu, jadinya sulit untuk Papa pun menerima dia kembali. Papa tidak mau Mama semakin marah dan benci pada Papa, jika Dania tidak benar-benar pergi jauh. Maafkan Papa, Tsa. Mungkin Papa egois di sini. Papa malah mempertahankan pernikahan Papa, dan mungkin mengorbankan pernikahan kamu." Aku tersenyum kecut. Jari-jari tangan aku mainkan dengan kepala yang menunduk. Memang benar, Dania akan selalu jadi momok menakutkan jika Mas Rendra masih bersamaku. Mereka saudara, tidak mun