"Ada apa, Mah? Tadi aku denger ada suara ribut-ribut?" Aku turun ke lantai satu setelah Mas Rendra benar-benar pergi. Dan aku bertanya, seolah-olah tidak tahu apa-apa mengenai perdebatan Mama dan Mas Rendra. "Rendra datang. Dia memohon kepada Mama untuk tidak menyuruhmu menggugat cerai," tutur Bang Ben menjelaskan. Mama yang hanya bisa duduk di kursi roda, memijit kening seraya mengatur napas. Aku mengusap pundak ibuku itu, lalu mendorong kursi roda mendekati sofa. "Sakit kepalanya, Mah?" tanyaku seraya menghenyakkan bokong pada sofa. "Mama pusing. Pusing dengan kelakuan suamimu itu. Kemarin waktu Mama di rumah sakit, dia tidak ada datang sama sekali. Sekarang, dia datang hanya untuk meminta tolong. Enggak tahu malu. Datang saat butuhnya saja," ujar Mama. Aku tersenyum kecut seraya menoleh pada Bang Ben dan istrinya yang juga ikut duduk bersamaku dan Mama. Ucapan Mama memang benar, tapi entah kenapa hatiku sedikit tidak terima mendengarnya. Mungkin karena aku masih menyimpan
"Mah, aku mau pergi dulu sebentar, ya?" "Ke mana, Tsa?" Mama bertanya dengan menatapku lekat. "Mau lihat rumah. Siapa tahu, orang-orang itu sudah pergi," kataku. Mama manggut-manggut. Sebelah tangannya mengambil obat, lalu dilanjutkan dengan gelas berisikan air minum. "Jangan lama-lama, ya? Ada ataupun tidaknya mereka, kamu cepat-cepat pulang. Mama tidak mau, kamu jadi berubah pikiran kalau lama-lama di sana.""Tidak akan, Mah. Kan, Tsania sudah janji mau ngerawat Mama sampai sembuh." "Makasih," ucap Mama dengan tatapan tulusnya. Aku merangkul tubuh yang sekarang mulai kurus itu. Seminggu dua kali Mama menjalani terapi, tapi hasilnya belum terlihat. Sebelah tangan dan kaki masih tidak bisa digerakkan, dan kalau duduk pun harus ada sandaran. "Yasudah, sekarang Mama istirahat lagi. Kalau butuh apa-apa, Mama bisa panggil Bibi, ya?" kataku, lalu membantu Mama berbaring. Setelah memastikan Mama nyaman dengan posisi tidurnya, aku keluar dari kamar seraya membawa gelas kosong dan na
Tidak puas dengan hanya duduk saja, aku pun berkeliling menjelajahi setiap ruangan yang ada di rumah ini. Sepi, hanya langkah kakiku yang menjadi satu-satunya sumber suara. "Eh, ada surat lagi? Apa itu dari Ibu?" kataku, saat masuk ke ruangan yang dijadikan kamar ibu mertua. Ada secarik kertas yang tersimpan di nakas. Aku pun mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. [Aku sudah merapikan kamar ini seperti semula. Tidak ada satu pun jejak orang lain di sini, dan maaf, jika ibuku telah mengotori rumahmu.]Dadaku berdenyut nyeri kala membaca surat uang kupastikan ditulis Mas Rendra. Dia dalam suratnya, dia mengatakan seolah-olah aku menantu angkuh yang menganggap mertuanya kotoran. Padahal, tidak seperti itu. Aku pernah menghormatinya, tapi sayang aku malah dikecewakan begitu dalamnya. Keluar dari kamar Ibu, aku masuk ke kamar Dania. Lagi dan lagi asa secarik kertas yang tersimpan di atas ranjang. [Terima kasih sudah pernah menjadi ibu dari Ayu. Aku minta maaf atas nama Dania y
Papa menceritakan jika dalam surat yang ditulis Mas Rendra untuk Papa, suamiku itu pamit dan minta maaf. Mas Rendra juga menceritakan tentang utang Sabrina yang jumlahnya mencapai dua puluh juta. Bukan angka yang sedikit untuk kami, karena pastinya sangat merugikan pabrik. "Terus, dia bilang apa lagi, Pah?" tanyaku, ketika Papa menjeda ucapannya. "Banyak, sih. Cuma intinya, dia sangat tidak menginginkan perpisahan kalian. Tapi ... mau gimana lagi? Dia yang tidak bisa memperjuangkan, juga keluarganya yang seperti itu, jadinya sulit untuk Papa pun menerima dia kembali. Papa tidak mau Mama semakin marah dan benci pada Papa, jika Dania tidak benar-benar pergi jauh. Maafkan Papa, Tsa. Mungkin Papa egois di sini. Papa malah mempertahankan pernikahan Papa, dan mungkin mengorbankan pernikahan kamu." Aku tersenyum kecut. Jari-jari tangan aku mainkan dengan kepala yang menunduk. Memang benar, Dania akan selalu jadi momok menakutkan jika Mas Rendra masih bersamaku. Mereka saudara, tidak mun
"Allahuakbar .... Alhamdulillah, akhirnya Allah menunjukkan kebenaran itu." Bang Ben kembali berseru, membuatku sangatlah penasaran dengan isi dari surat tersebut. Dari raut serta ucapan yang terlontar dari bibir Bang Aldi dan Kak Anna, sepertinya memang hasil tes DNA tersebut memanglah seperti yang kami harapkan. Aku pun mengambil kertas dari tangan Bang Ben sesaat sebelum suami istri itu saling berpelukan. Aku tersenyum, di dalam hati mengucapkan hamdalah karena ternyata hasil tes DNA menyatakan bahwasanya Bang Ben bukanlah ayah biologis dari Ayu, anak yang dilahirkan Dania. "Kan, apa kata Abang juga, Tsa. Abang bukan ayah kandung Ayu," ujar Bang Ben kemudian. "Iya, Bang. Buktinya sudah ada." Kak Anna membenarkan. "Maafkan aku, Bang. Aku sempat menuduh Bang Bang ayah dari Ayu. Sekarang, aku percaya dan yakin, jika semua yang dikatakan Dania memang bohong," kataku, "terus, rencana Abang selanjutnya apa? Apa Bang Ben mau melaporkan Dania ke polisi atas fitnahnnya?" Aku lanjut be
"Jangan pura-pura tidak mengerti, Na. Aku tahu, jika sebenarnya kamu belum membayar teh yang selalu dikirim pabrik ke kafe kamu. Mas Rendra yang bilang," tuturku. "Rendra yang bilang? Katanya kamu sudah tidak berkomunikasi dengan Rendra. Lalu, kapan dia mengatakan tentang utang itu padamu? Kamu membohongiku, Tsa? Kamu sengaja menyembunyikan Rendra agar aku tidak bisa bertemu dengannya?"Aku memicingkan mata ketika Sabrina menuduhku menyembunyikan Mas Rendra. Ada-ada saja dia ini. Dia pikir Mas Rendra anak kecil yang bisa disembunyikan di suatu tempat? Tidak aku jawab pertanyaan Sabrina, dan hanya tertawa pelan menanggapinya. "Iya, kamu menyembunyikan Mas Rendra?" tanya Sabrina lagi. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Na. Aku membahas tentang utang, dan ingin kamu membayarnya segera. Soal Mas Rendra ... aku benar-benar tidak tahu dia di mana.""Pembohong! Kamu tahu di mana Mas Rendra, kan? Katanya, kamu tidak keberatan aku menikah dengannya. Tapi, nyatanya apa? Kamu malah dengan sen
"Tsania ada," ucap Mama lagi. Sepertinya Bang Ben menanyakan keberadaanku. "Coba, ulangi lagi kata-katamu yang tadi, Ben. Kenapa kamu sebut-sebut nama si Dania itu?"Aku yang tidak tahu mengenai ucapan Bang Ben, menjadi sangat penasaran ketika Mama menyebut nama Dania. Apakah tujuan kakakku menelepon untuk membahas adik iparku itu? "Mah." Aku melihat pada Mama, tapi langsung dibalas isyarat diam oleh wanita paruh baya itu. "Kamu dan Tsania merahasiakan sesuatu dari Mama?" Mama kembali bertanya pada putranya. "Kalau tidak ada, ya katakan saja. Mama belum tuli, dan Mama mendengar jelas tadi kamu mengucapkan nama wanita murahan itu," lanjut Mama mulai tidak tenang. Aku tidak bisa apa-apa. Yang aku lakukan hanya diam seraya melihat pada Mama yang menguasai ponselku. Sepertinya memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan Bang Ben denganku. Tapi apa? Dania? Kenapa nama itu Mama sebut berulang kali?"Mah, berikan ponselnya," kataku memberikan diri. "Diam dulu, Tsa. Kakakmu sedang bicar
"Astaghfirullah ...." Wajah aku usap dengan kasar saat sadar tidak ada siapa pun di sini selain hanya aku. Apa barusan aku bermimpi? Kenapa sentuhan lembut dan ucapannya terasa sangat nyata? Mungkinkah karena aku merindukannya? Rindu? "Tidak, tidak sama sekali. Mana mungkin aku merindukan dia. Ini karena aku sedang tidak sehat, makanya pikiranku ke mana-mana."Seperti orang yang tidak waras, aku bertanya sendiri dan menjawabnya sendiri pula. Tubuh yang tadi terduduk, aku baringkan kembali. Namun, tak lama aku bangun lagi."Aku gak boleh tidur lagi. Emang terbukti gak baik tidur di jam segini. Makanya aku mimpi buruk," ucapku. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di balkon. Kuhirup udara dengan sangat dalam, dan tatapan lurus ke depan. Beberapa anak tetangga kulihat berjalan melewati rumah dengan canda dan tawa renyah mereka. Sangat lepas. Tidak ada beban dari wajah-wajah itu, yang nampak kebahagiaan karena hendak menuntut ilmu
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan