"Kita sampai, Sayang!" Mas Rendra berseru senang saat mobil yang ia kendarai berhenti di depan rumah. Rumah yang beberapa hari ini aku tinggalkan."Ayo, bisa turunnya?" Perhatian Mas Rendra kembali ia perlihatkan ketika aku hendak keluar dari dalam mobil seraya menggendong Ayu. Dengan tanpa diminta, Mas Rendra membukakan pintu, menawarkan diri untuk membantuku membawa Ayu. Aku hanya mengucapkan terima kasih seraya menolak niat baiknya. Meskipun aku baru keluar dari rumah sakit, tapi cara turun dari mobil masih aku ingat. Aku tidak amnesia. "Sepi, Mas. Dania beneran ada di rumah?" kataku akhirnya. Seperti yang Mas Rendra katakan, katanya Dania dia kurung di dalam rumah. Akan tetapi, tidak ada suara apa pun yang kudengar saat kaki mulai memasuki istanaku ini. Apakah Mas Rendra menyekap Dania dengan mulut yang disumpal kain, seperti di film-film? "Mungkin dia tidur, Tsa." Mas Rendra menjawab dengan santai. "Kamu menyumpal mulut Dania?" Aku mengutarakan sesuatu yang ada di dalam
"Mas, kenal dia?" tanyaku. Mas Rendra berdehem, lalu dia mengajakku duduk. Sedangkan pertanyaanku, tak dia jawab. "Gimana? Sudah selesai?" Mas Rendra bertanya pada pria yang duduk di depan kami. "Sudah, Pak. Ini yang Bapak minta." Pria yang ditanyai Mas Rendra, memberikan amplop berwarna cokelat kepada suamiku. Tidak berapa lama, pria itu langsung pamit, bahkan dia tidak meneguk sedikit pun minuman yang telah Ibu buatkan tadi. "Itu amplop apa, Dra?" Pertanyaan Ibu, mewakili pikiranku. "Ini isinya kerjaan aku di pabrik, Bu. Sengaja minta orang bawa ke sini, karena kemungkinan beberapa hari ini aku enggak ke pabrik. Aku ke atas dulu, ya?" ujar Mas Rendra, kemudian pergi meninggalkan aku dan Ibu. Kerjaan dari pabrik? Otakku justru menerima jawaban dari Mas Rendra. Aku belum pernah melihat pria tadi di pabrik. Juga ... pria itu tidak memakai seragam yang diwajibkan pabrik. Wajahnya asing, postur tubuhnya pun tidak seperti karyawan pabrik. Apa Mas Rendra berbohong?"Bu, aku pami
"Belum pulang, Tsa.""Belum pulang?" Aku mengulang kata yang diucapkan Mama seraya menoleh pada jam dinding.Sudah hampir tengah hari. Itu artinya Papa masih berada di kebun teh. "Iya, paling pulang sore, atau mungkin malam. Kenapa, Tsa? Ada yang ingin kamu bicarakan dengan Papa? Telpon saja, suruh dia datang. Kalau kamu yang minta, pasti Papa langsung datang.""Ah, enggak ada apa-apa, Mah. Cuma nanya aja. Kalau gitu, aku tutup teleponnya, ya? Ayu kayaknya minta susu, deh," kataku berbohong. Mama pun mengiyakan, dan aku langsung mematikan sambungan telepon, menyimpan ponsel di atas tempat tidur. "Jangan gegabah dalam bertindak, Sayang. Aku tahu, kamu kecewa. Tapi, jangan tularkan kekecewaan kamu pada orang yang belum tahu ini. Contohnya, Mama. Kasihan dia." Mas Rendra menghampiri, memelukku dan mengusap ubun-ubunku. Saat ini aku tengah lemah. Sesuatu yang tidak pernah aku duga, memporak-porandakan jiwaku sebagai seorang anak. Hati masih belum percaya jika papa seorang pria pembu
"Enggak apa-apa, Kak," ucapku pelan. Bang Ben yang melihatku ada di rumahnya, tak langsung bertanya atas tujuan kedatanganku. Dia duduk di sampingku, berhadapan dengan istrinya yang menundukkan kepala. Jika harus menebak, sepertinya suami istri itu masih belum akur. Lebih tepatnya, Kak Anna yang masih marah pada Bang Ben atas pernyataan aku dan Dania yang mengatakan Ayu darah daging Bang Ben. Namun, dugaanku sekarang tak seyakin waktu itu. Aku ragu, bahkan tidak percaya jika Ayu anak dari Bang Ben. Apalagi setelah melihat banyaknya lelaki yang pernah dekat, bahkan tidur dengan Dania. Maka semakin ragulah aku pada ucapan adik iparku itu. "Sudah sehat?" Satu pertanyaan terlontar dari Bang Ben, setelah beberapa saat terdiam. "Sudah, Bang. Emh ... aku ke sini untuk membicarakan sesuatu sama Abang," tuturku. "Bicara saja, Tsa.""Kalian bicaralah, aku akan ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaan," ujar Kak Anna, hendak berdiri. Namun, segera aku mencegahnya. Rasanya tak enak jika
Rasa kaget dan takut bercampur aduk setelah mendapatkan serangan tak terduga dari orang yang tak dikenal. Kaca mobil bagian belakang pecah, dihantam benda keras oleh pengendara motor yang langsung lari setelah melakukan aksinya. Aku menepi. Menetralkan perasaan seraya terus mengusap dada berucap istighfar. "Tsania! Ada apa?!" Aku tak mengindahkan panggilan Mas Rendra yang masih tersambung dalam panggilan telepon. Luar biasa. Aku dibuat hampir jantungan oleh orang yang entah siapa. "Pengecut!" kataku, merutuki orang-orang tak bertanggung jawab itu. "Tsania!" Suara Mas Rendra kembali terdengar. Aku mengambil ponsel yang jatuh ke bawah, kemudian menempelkannya lagi ke telinga. "Mas," ucapku tercekat. "Tsa, ada apa? Kenapa teriak?" Suara Mas Rendra terdengar panik. "Ada yang pecahin kaca mobil aku, Mas. Tapi orangnya kabur.""Astaghfirullah ...!" ucapnya kaget. "Sekarang kamu di mana? Tunggu, aku ke sana sekarang juga." Aku tidak menolak lagi. Rasa takut membuatku enggan melak
Terdengar helaan napas kasar dari Bang Ben, yang pada akhirnya kembali berujar. "Dania datang ke sini membawa Ayu."Sangat jelas. Bahkan aku sampai membulatkan mulut, dan langsung menutupnya dengan sebelah tangan. "Astaga! Terus gimana dengan Kak Anna? Oh, ya ampun ... aku dan Mas Rendra akan ke sana sekarang buat jemput Dania," ujarku bicara cepat. "Enggak usah, Tsa. Biarkan saja dia di sini.""Hah?!" Aku tambah terkejut. Bang Ben mengulang kata, mengatakan tidak masalah Dania berada di rumahnya. Dan itu membuatku tidak mengerti. Kenapa Bang Ben membiarkan Dania bersama dia dan Kak Anna? Apa rencana kakakku itu? "Tsa, Abang tutup dulu teleponnya, ya? Tenang saja, Abang baik-baik saja. Kak Anna pun ... dia tidak marah dengan datangnya Dania bersama Ayu.""T–tapi, Bang. Serius, Kak Anna enggak marah?" tanyaku, memastikan. "Serius. Nanti Abang kirim gambar Anna dan Dania. Abang, tutup dulu, ya? Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," ucapku lemah. Sungguh, aku sama sekali tidak bis
"Menyuruh Ibu pulang ke rumahnya."Mas Rendra tersentak dengan ucapan yang baru saja terlontar dari bibirku. Ini memang terdengar tidak sopan. Namun, aku ingin tahu apakah Mas Rendra benar-benar serius dengan ucapannya yang mengatakan berada di pihakku? Maka dari itu, aku sengaja menyuruh Mas Rendra mengusir ibunya dari rumahku. Jika dipikir-pikir, tega, memang. Ini sudah malam, apalagi Ibu sudah tidak lagi muda. Durhaka sebenarnya jika Mas Rendra benar-benar menyuruh Ibu pulang sekarang. Akan tetapi, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan suamiku setelah aku mengutarakan permintaanku itu. "Kamu nggak berani, kan?" kataku lagi. "Aku berani. Aku akan melakukannya sekarang juga." Sekarang giliran aku yang tersentak dengan jawaban Mas Rendra. Dengan langkah lebar, suamiku itu keluar dari kamar untuk menemui ibunya. Aku tidak tinggal diam. Kaki melangkah cepat menyusul Mas Rendra yang berjalan ke arah kamar ibu mertua.Kamar yang berada tepat di samping kamar Dania, tertutup ra
"Juga?" kataku tak sabar menunggu ucapan Mas Rendra yang menggantung. "Ibu menyuruhku mengambil berkas-berkas penting pabrik teh. Surat kepemilikan, contohnya.""Hah?!" kataku, terkejut. Kepala aku gelengkan berulang kali saking tidak menyangka jika Ibu memiliki hati yang buruk. Secara tidak langsung, Ibu telah menjerumuskan putranya sendiri pada jalan dosa. Dia menyuruh Mas Rendra mencuri di rumah mertuanya sendiri karena dendam sang Ibu. Sungguh miris. "Terus, kenapa kamu malah bilang padaku?" kataku, lalu meneguk air putih. "Sudah aku bilang, aku tidak berpihak pada Ibu. Jadi, semua yang dia perintahkan, pasti akan aku ceritakan padamu.""Kenapa enggak kamu ikuti maunya Ibu?" tanyaku lagi. Tangan ini tak hentinya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Meskipun rasa lapar sudah hilang, aku terus saja makan seraya bertanya dan mendengarkan jawaban Mas Rendra. "Enggak ada untungnya untukku, Tsa. Dosa juga.""Jelas untung, dong. Selain kamu bisa punya pabrik dari hasil merebut, kamu ju