"Mas, kenal dia?" tanyaku. Mas Rendra berdehem, lalu dia mengajakku duduk. Sedangkan pertanyaanku, tak dia jawab. "Gimana? Sudah selesai?" Mas Rendra bertanya pada pria yang duduk di depan kami. "Sudah, Pak. Ini yang Bapak minta." Pria yang ditanyai Mas Rendra, memberikan amplop berwarna cokelat kepada suamiku. Tidak berapa lama, pria itu langsung pamit, bahkan dia tidak meneguk sedikit pun minuman yang telah Ibu buatkan tadi. "Itu amplop apa, Dra?" Pertanyaan Ibu, mewakili pikiranku. "Ini isinya kerjaan aku di pabrik, Bu. Sengaja minta orang bawa ke sini, karena kemungkinan beberapa hari ini aku enggak ke pabrik. Aku ke atas dulu, ya?" ujar Mas Rendra, kemudian pergi meninggalkan aku dan Ibu. Kerjaan dari pabrik? Otakku justru menerima jawaban dari Mas Rendra. Aku belum pernah melihat pria tadi di pabrik. Juga ... pria itu tidak memakai seragam yang diwajibkan pabrik. Wajahnya asing, postur tubuhnya pun tidak seperti karyawan pabrik. Apa Mas Rendra berbohong?"Bu, aku pami
"Belum pulang, Tsa.""Belum pulang?" Aku mengulang kata yang diucapkan Mama seraya menoleh pada jam dinding.Sudah hampir tengah hari. Itu artinya Papa masih berada di kebun teh. "Iya, paling pulang sore, atau mungkin malam. Kenapa, Tsa? Ada yang ingin kamu bicarakan dengan Papa? Telpon saja, suruh dia datang. Kalau kamu yang minta, pasti Papa langsung datang.""Ah, enggak ada apa-apa, Mah. Cuma nanya aja. Kalau gitu, aku tutup teleponnya, ya? Ayu kayaknya minta susu, deh," kataku berbohong. Mama pun mengiyakan, dan aku langsung mematikan sambungan telepon, menyimpan ponsel di atas tempat tidur. "Jangan gegabah dalam bertindak, Sayang. Aku tahu, kamu kecewa. Tapi, jangan tularkan kekecewaan kamu pada orang yang belum tahu ini. Contohnya, Mama. Kasihan dia." Mas Rendra menghampiri, memelukku dan mengusap ubun-ubunku. Saat ini aku tengah lemah. Sesuatu yang tidak pernah aku duga, memporak-porandakan jiwaku sebagai seorang anak. Hati masih belum percaya jika papa seorang pria pembu
"Enggak apa-apa, Kak," ucapku pelan. Bang Ben yang melihatku ada di rumahnya, tak langsung bertanya atas tujuan kedatanganku. Dia duduk di sampingku, berhadapan dengan istrinya yang menundukkan kepala. Jika harus menebak, sepertinya suami istri itu masih belum akur. Lebih tepatnya, Kak Anna yang masih marah pada Bang Ben atas pernyataan aku dan Dania yang mengatakan Ayu darah daging Bang Ben. Namun, dugaanku sekarang tak seyakin waktu itu. Aku ragu, bahkan tidak percaya jika Ayu anak dari Bang Ben. Apalagi setelah melihat banyaknya lelaki yang pernah dekat, bahkan tidur dengan Dania. Maka semakin ragulah aku pada ucapan adik iparku itu. "Sudah sehat?" Satu pertanyaan terlontar dari Bang Ben, setelah beberapa saat terdiam. "Sudah, Bang. Emh ... aku ke sini untuk membicarakan sesuatu sama Abang," tuturku. "Bicara saja, Tsa.""Kalian bicaralah, aku akan ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaan," ujar Kak Anna, hendak berdiri. Namun, segera aku mencegahnya. Rasanya tak enak jika
Rasa kaget dan takut bercampur aduk setelah mendapatkan serangan tak terduga dari orang yang tak dikenal. Kaca mobil bagian belakang pecah, dihantam benda keras oleh pengendara motor yang langsung lari setelah melakukan aksinya. Aku menepi. Menetralkan perasaan seraya terus mengusap dada berucap istighfar. "Tsania! Ada apa?!" Aku tak mengindahkan panggilan Mas Rendra yang masih tersambung dalam panggilan telepon. Luar biasa. Aku dibuat hampir jantungan oleh orang yang entah siapa. "Pengecut!" kataku, merutuki orang-orang tak bertanggung jawab itu. "Tsania!" Suara Mas Rendra kembali terdengar. Aku mengambil ponsel yang jatuh ke bawah, kemudian menempelkannya lagi ke telinga. "Mas," ucapku tercekat. "Tsa, ada apa? Kenapa teriak?" Suara Mas Rendra terdengar panik. "Ada yang pecahin kaca mobil aku, Mas. Tapi orangnya kabur.""Astaghfirullah ...!" ucapnya kaget. "Sekarang kamu di mana? Tunggu, aku ke sana sekarang juga." Aku tidak menolak lagi. Rasa takut membuatku enggan melak
Terdengar helaan napas kasar dari Bang Ben, yang pada akhirnya kembali berujar. "Dania datang ke sini membawa Ayu."Sangat jelas. Bahkan aku sampai membulatkan mulut, dan langsung menutupnya dengan sebelah tangan. "Astaga! Terus gimana dengan Kak Anna? Oh, ya ampun ... aku dan Mas Rendra akan ke sana sekarang buat jemput Dania," ujarku bicara cepat. "Enggak usah, Tsa. Biarkan saja dia di sini.""Hah?!" Aku tambah terkejut. Bang Ben mengulang kata, mengatakan tidak masalah Dania berada di rumahnya. Dan itu membuatku tidak mengerti. Kenapa Bang Ben membiarkan Dania bersama dia dan Kak Anna? Apa rencana kakakku itu? "Tsa, Abang tutup dulu teleponnya, ya? Tenang saja, Abang baik-baik saja. Kak Anna pun ... dia tidak marah dengan datangnya Dania bersama Ayu.""T–tapi, Bang. Serius, Kak Anna enggak marah?" tanyaku, memastikan. "Serius. Nanti Abang kirim gambar Anna dan Dania. Abang, tutup dulu, ya? Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," ucapku lemah. Sungguh, aku sama sekali tidak bis
"Menyuruh Ibu pulang ke rumahnya."Mas Rendra tersentak dengan ucapan yang baru saja terlontar dari bibirku. Ini memang terdengar tidak sopan. Namun, aku ingin tahu apakah Mas Rendra benar-benar serius dengan ucapannya yang mengatakan berada di pihakku? Maka dari itu, aku sengaja menyuruh Mas Rendra mengusir ibunya dari rumahku. Jika dipikir-pikir, tega, memang. Ini sudah malam, apalagi Ibu sudah tidak lagi muda. Durhaka sebenarnya jika Mas Rendra benar-benar menyuruh Ibu pulang sekarang. Akan tetapi, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan suamiku setelah aku mengutarakan permintaanku itu. "Kamu nggak berani, kan?" kataku lagi. "Aku berani. Aku akan melakukannya sekarang juga." Sekarang giliran aku yang tersentak dengan jawaban Mas Rendra. Dengan langkah lebar, suamiku itu keluar dari kamar untuk menemui ibunya. Aku tidak tinggal diam. Kaki melangkah cepat menyusul Mas Rendra yang berjalan ke arah kamar ibu mertua.Kamar yang berada tepat di samping kamar Dania, tertutup ra
"Juga?" kataku tak sabar menunggu ucapan Mas Rendra yang menggantung. "Ibu menyuruhku mengambil berkas-berkas penting pabrik teh. Surat kepemilikan, contohnya.""Hah?!" kataku, terkejut. Kepala aku gelengkan berulang kali saking tidak menyangka jika Ibu memiliki hati yang buruk. Secara tidak langsung, Ibu telah menjerumuskan putranya sendiri pada jalan dosa. Dia menyuruh Mas Rendra mencuri di rumah mertuanya sendiri karena dendam sang Ibu. Sungguh miris. "Terus, kenapa kamu malah bilang padaku?" kataku, lalu meneguk air putih. "Sudah aku bilang, aku tidak berpihak pada Ibu. Jadi, semua yang dia perintahkan, pasti akan aku ceritakan padamu.""Kenapa enggak kamu ikuti maunya Ibu?" tanyaku lagi. Tangan ini tak hentinya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Meskipun rasa lapar sudah hilang, aku terus saja makan seraya bertanya dan mendengarkan jawaban Mas Rendra. "Enggak ada untungnya untukku, Tsa. Dosa juga.""Jelas untung, dong. Selain kamu bisa punya pabrik dari hasil merebut, kamu ju
Dadaku berdebar hebat, kaki lemas bak tak bertulang hingga tak mampu lagi melangkah setelah mendengar teriakan Mama dari dalam rumah. Dengan masih memegang gagang pintu, aku memejamkan mata, berulang kali mengatur napas untuk menetralkan detak jantung yang semakin tak terkendali. "Kenapa enggak masuk, Tsa?" Mas Rendra mengusap pundakku, membuat mata ini meliriknya sekilas.Melihat mataku yang mengembun, ditambah lagi suara teriakan yang saling sahut dari dalam rumah, membuat Mas Rendra paham jika kedua mertuanya itu tengah bertengkar hebat. Tak kuat lagi menahan air di pelupuk mata, aku pun menangis seraya memeluk tubuh Mas Rendra dengan erat. Allah ... rasanya sakit sekali mendengar Mama meminta cerai dari Papa. Sudah aku pastikan, jika akar masalah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka pasti ada kaitannya dengan Dania. "Mas ...?" kataku, seraya menyusupkan wajah di dada suamiku. "Kita masuk, ya? Kita hadapi semuanya bersama," tutur Mas Rendra. Aku mengangguk lemah, kemud
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan