"Ce–cerai?" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan yang terlontar dari bibir ibuku itu. "Aku capek, Mah. Aku lelah menghadapi masalah yang bertubi-tubi," ungkapku. Mama menghela napas panjang. Tangan wanita itu terus saja mengusap kepalaku yang terasa ngilu. "Sayang, tidak ada rumah tangga yang sempurna. Tidak ada suami istri yang tidak Allah uji kesabarannya dalam menjalankan kodratnya. Iya, Mama dan Papa juga merasa sedih, kaget, dengan kenyataan yang terjadi pada kamu. Namun ... apakah perpisahan akan menjadi jalan terbaik untuk semuanya?" Aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu baik untuk siapa dan sesal untuk siapa jika perceraian menjadi penyelesaian akhir masalahku. Akan tetapi, untuk tetap bersama dengan dikelilingi orang-orang yang berkonflik, kurasa bahagiaku jauh. Aku tidak akan merasa damai dalam hidup. Kecuali, jika Dania dan Sabrina tidak ada. Aku akan merasa tenang, jika kedua wanita itu pergi jauh-jauh dari kehidupanku. Ah, konyol. Bagaimana mungkin mereka hilang b
Dalam kesendirian, otakku melayang pada saat-saat awal menikah dulu. Dia yang dikenal baik dan sopan, selalu membuatku merasa bersyukur setiap saat. Banyak mimpi yang ingin kami raih bersama. Banyak rencana yang kami rancang berdua. Namun, baru satu langkah kami berjalan, badai sudah datang memporak-porandakan bahtera yang kami bina. Kini pernikahanku dan Mas Rendra diguncang prahara. Ikatan suci yang kusangkakan bahagia, sudah di ujung tanduk. Mampukah aku dan dia melewati ini semua? Atau, benar-benar menyerah dan berpisah?"Assalamualaikum."Aku yang tengah duduk dengan kaki menjuntai ke lantai dan membelakangi pintu, langsung menoleh saat mendengar suara salam. "Astaga ...," ujar pria yang baru saja masuk ke kamarku seraya melihatku tak berkedip. "Abang ...." Aku memeluk pria itu saat dia mengulurkan tangan untuk menangkup pipi yang basah ini. "Kenapa bisa seperti ini, Tsa?" Bang Ben bertanya seraya mengusap kepalaku. "Aw!" Aku mengaduh, karena memang terasa sakit. "Hey,
"Tsa, ada Rendra dan ibunya di bawah. Dia mau bertemu kamu, katanya." Mama berucap seraya mengusap pundakku. Saat ini, aku memang sedang berada di rumah orang tuaku. Kemarin, sepulang dari rumah sakit aku memutuskan untuk pulang ke sini. Tanpa Mas Rendra tentunya, karena kepulanganku dari rumah sakit pun tidak sepengetahuan dia. Bisa dibilang, aku kabur. Memaksa pulang, meskipun dokter belum menyuruhku. Barusan, Mama bilang suamiku datang? Untuk apa kira-kira dia menemuiku? Ah, paling untuk membujukku agar tidak terus minta cerai darinya. "Mama sudah tanya, maksud kedatangan mereka ke sini untuk apa?" kataku, pada Mama. "Apa hak Mama bertanya seperti itu, Tsa? Dia suamimu. Bahkan, dia lebih berhak atasmu daripada Mama dan Papa. Tapi ... kalau bisa Mama menebak, mungkin mereka ke sini untuk menjemputmu pulang."Aku mengembuskan napas kasar. "Itu yang tidak aku inginkan, Mah. Jika aku pulang bersama mereka, itu artinya aku menyetujui keinginan Mas Rendra untuk tidak berpisah. Aku
"Kita sampai, Sayang!" Mas Rendra berseru senang saat mobil yang ia kendarai berhenti di depan rumah. Rumah yang beberapa hari ini aku tinggalkan."Ayo, bisa turunnya?" Perhatian Mas Rendra kembali ia perlihatkan ketika aku hendak keluar dari dalam mobil seraya menggendong Ayu. Dengan tanpa diminta, Mas Rendra membukakan pintu, menawarkan diri untuk membantuku membawa Ayu. Aku hanya mengucapkan terima kasih seraya menolak niat baiknya. Meskipun aku baru keluar dari rumah sakit, tapi cara turun dari mobil masih aku ingat. Aku tidak amnesia. "Sepi, Mas. Dania beneran ada di rumah?" kataku akhirnya. Seperti yang Mas Rendra katakan, katanya Dania dia kurung di dalam rumah. Akan tetapi, tidak ada suara apa pun yang kudengar saat kaki mulai memasuki istanaku ini. Apakah Mas Rendra menyekap Dania dengan mulut yang disumpal kain, seperti di film-film? "Mungkin dia tidur, Tsa." Mas Rendra menjawab dengan santai. "Kamu menyumpal mulut Dania?" Aku mengutarakan sesuatu yang ada di dalam
"Mas, kenal dia?" tanyaku. Mas Rendra berdehem, lalu dia mengajakku duduk. Sedangkan pertanyaanku, tak dia jawab. "Gimana? Sudah selesai?" Mas Rendra bertanya pada pria yang duduk di depan kami. "Sudah, Pak. Ini yang Bapak minta." Pria yang ditanyai Mas Rendra, memberikan amplop berwarna cokelat kepada suamiku. Tidak berapa lama, pria itu langsung pamit, bahkan dia tidak meneguk sedikit pun minuman yang telah Ibu buatkan tadi. "Itu amplop apa, Dra?" Pertanyaan Ibu, mewakili pikiranku. "Ini isinya kerjaan aku di pabrik, Bu. Sengaja minta orang bawa ke sini, karena kemungkinan beberapa hari ini aku enggak ke pabrik. Aku ke atas dulu, ya?" ujar Mas Rendra, kemudian pergi meninggalkan aku dan Ibu. Kerjaan dari pabrik? Otakku justru menerima jawaban dari Mas Rendra. Aku belum pernah melihat pria tadi di pabrik. Juga ... pria itu tidak memakai seragam yang diwajibkan pabrik. Wajahnya asing, postur tubuhnya pun tidak seperti karyawan pabrik. Apa Mas Rendra berbohong?"Bu, aku pami
"Belum pulang, Tsa.""Belum pulang?" Aku mengulang kata yang diucapkan Mama seraya menoleh pada jam dinding.Sudah hampir tengah hari. Itu artinya Papa masih berada di kebun teh. "Iya, paling pulang sore, atau mungkin malam. Kenapa, Tsa? Ada yang ingin kamu bicarakan dengan Papa? Telpon saja, suruh dia datang. Kalau kamu yang minta, pasti Papa langsung datang.""Ah, enggak ada apa-apa, Mah. Cuma nanya aja. Kalau gitu, aku tutup teleponnya, ya? Ayu kayaknya minta susu, deh," kataku berbohong. Mama pun mengiyakan, dan aku langsung mematikan sambungan telepon, menyimpan ponsel di atas tempat tidur. "Jangan gegabah dalam bertindak, Sayang. Aku tahu, kamu kecewa. Tapi, jangan tularkan kekecewaan kamu pada orang yang belum tahu ini. Contohnya, Mama. Kasihan dia." Mas Rendra menghampiri, memelukku dan mengusap ubun-ubunku. Saat ini aku tengah lemah. Sesuatu yang tidak pernah aku duga, memporak-porandakan jiwaku sebagai seorang anak. Hati masih belum percaya jika papa seorang pria pembu
"Enggak apa-apa, Kak," ucapku pelan. Bang Ben yang melihatku ada di rumahnya, tak langsung bertanya atas tujuan kedatanganku. Dia duduk di sampingku, berhadapan dengan istrinya yang menundukkan kepala. Jika harus menebak, sepertinya suami istri itu masih belum akur. Lebih tepatnya, Kak Anna yang masih marah pada Bang Ben atas pernyataan aku dan Dania yang mengatakan Ayu darah daging Bang Ben. Namun, dugaanku sekarang tak seyakin waktu itu. Aku ragu, bahkan tidak percaya jika Ayu anak dari Bang Ben. Apalagi setelah melihat banyaknya lelaki yang pernah dekat, bahkan tidur dengan Dania. Maka semakin ragulah aku pada ucapan adik iparku itu. "Sudah sehat?" Satu pertanyaan terlontar dari Bang Ben, setelah beberapa saat terdiam. "Sudah, Bang. Emh ... aku ke sini untuk membicarakan sesuatu sama Abang," tuturku. "Bicara saja, Tsa.""Kalian bicaralah, aku akan ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaan," ujar Kak Anna, hendak berdiri. Namun, segera aku mencegahnya. Rasanya tak enak jika
Rasa kaget dan takut bercampur aduk setelah mendapatkan serangan tak terduga dari orang yang tak dikenal. Kaca mobil bagian belakang pecah, dihantam benda keras oleh pengendara motor yang langsung lari setelah melakukan aksinya. Aku menepi. Menetralkan perasaan seraya terus mengusap dada berucap istighfar. "Tsania! Ada apa?!" Aku tak mengindahkan panggilan Mas Rendra yang masih tersambung dalam panggilan telepon. Luar biasa. Aku dibuat hampir jantungan oleh orang yang entah siapa. "Pengecut!" kataku, merutuki orang-orang tak bertanggung jawab itu. "Tsania!" Suara Mas Rendra kembali terdengar. Aku mengambil ponsel yang jatuh ke bawah, kemudian menempelkannya lagi ke telinga. "Mas," ucapku tercekat. "Tsa, ada apa? Kenapa teriak?" Suara Mas Rendra terdengar panik. "Ada yang pecahin kaca mobil aku, Mas. Tapi orangnya kabur.""Astaghfirullah ...!" ucapnya kaget. "Sekarang kamu di mana? Tunggu, aku ke sana sekarang juga." Aku tidak menolak lagi. Rasa takut membuatku enggan melak