All Chapters of Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Chapter 371 - Chapter 380

525 Chapters

S3| 59. Solusi untuk Ava

"Apa yang mau kau bicarakan?" Frank mengisyaratkan Jeremy untuk duduk di kursi kosong dekat Diana, berhadapan dengan Abigail. Dengan langkah santai, Jeremy menerima sinyal. Ia duduk lalu menarik napas cepat. "Semalam Ava tidak jadi menemui ibunya." "Kenapa?" Louis memajukan kepala. Philip sontak merapatkan punggung dengan kursi, mempermudah Louis untuk melihat Jeremy. "Louis," panggil Kara lembut, "ini urusan orang dewasa. Belum waktunya bagimu untuk ikut-ikutan." "Ingat, Louis," tambah Emily, "kita sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan orang dewasa. Kita masih kecil." Emily memberi penekanan pada huruf "L" terakhir. Louis memasang tampang memelas. "Maaf, tapi aku penasaran. Kenapa Ava tidak jadi menemui ibunya? Dia pasti sedih dan kecewa." Semua orang kembali menatap Jeremy. "Ada tiga mobil yang mengikuti kami. Aku tidak berani mengambil risiko. Meskipun Wela bilang keamanan rumah sakit sudah ketat, keluarga Moore bisa saja mengirimkan seseorang yang mampu menerobosnya.
Read more

S3| 60. Semenjak Berpisah

"Kalau ibunya Ava jadi dipindahkan ke rumah Paman, kenapa kita tidak mengadakan pesta tahun baru di sana saja?" usul Emily, memperbesar getaran dalam hati Diana. "Itu ide bagus. Ava pasti senang kalau tahu dia bisa berpesta bersama ibunya. Mama hubungi Wela sekarang, hmm?" Kara mengulurkan tangan. Pelayan yang bersiaga dengan sigap membawakan ponselnya. Diana bergeming menunggu hasilnya. "Wela bilang bisa."Debar jantung Diana semakin tak karuan. "K-kenapa ibu perawat itu tidak dipindahkan ke sini saja? Apakah karena kamarnya penuh?" Frank menggeleng. "Mama ada di rumah Jeremy, Nek. Kalau Nyonya Connor dirawat di sini, Ava tetap saja harus bolak-balik.""Kalau begitu, pindahkan saja Melanie ke sini." Diana menaikkan alis, berusaha menutupi ketegangannya dengan senyum. Sayangnya, Frank menggeleng. Barbara bahkan lebih tidak setuju."Meskipun Mama mengaku waras dan kondisinya sudah mulai stabil, kurasa lebih bijak kalau kita membiarkannya di rumah Jeremy lebih lama, setidaknya sampa
Read more

S3| 61. Kenangan dan Penyesalan

Dengan mata berlinang, Diana memperhatikan wajah muda Rowan dan anak kecil yang mirip Louis. Pose kedua orang itu kaku. Akan tetapi, kesan yang ditimbulkannya begitu menyentuh. "Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?" Suara Diana serak. Frank tersenyum miris, menarik napas panjang. "Dia mendidikku dengan sangat keras. Aku beruntung bisa survive." Dengan dagu yang berkedut, Diana mengangguk. Matanya berkedip-kedip menahan sendu. "Dia sudah mengajakmu ke perusahaan di usia sekecil ini," Diana mengelus sebuah foto. Frank mengangguk. "Ya, tapi aku sangat menikmati hari itu. Aku gembira selayaknya anak kecil yang disodori hal baru. Kakek menjelaskan apa saja harapan dan tanggung jawab yang dibebaninya kepadaku. Tapi aku merasa bangga dan keren." Diana mendenguskan tawa. "Tidak heran kalau Louis dan Emily memiliki semangat itu. Mereka mewarisinya darimu." Frank mengangguk. Lalu, dengan hati-hati, ia membalikkan lembaran album. Dalam sekejap, mata Diana tertuju pada potret Rowan dan
Read more

S3| 62. Kalimat Terakhir dari Rowan

"Nenek?" panggil Frank lirih. "Kau baik-baik saja?" Diana menggeleng lambat. Telunjuknya setengah terangkat. "Ini ... dari kakekmu?" Frank mengangguk. "Kakek menitipkan album dan surat ini untuk Nenek. Apakah Nenek butuh bantuanku untuk membacanya?" Mulut Diana terbuka tanpa kata. Namun, jemarinya bergerak mendekati surat. Dengan gerak lambat, Diana membuka amplopnya. Begitu isi surat terlihat, matanya terpejam. Jemarinya bergetar lebih hebat. "Biar kubantu, Nek." Frank tahu Diana tak akan sanggup. Wanita tua itu mengangguk. Meski kelopak matanya masih tertutup, air matanya tetap turun."Diana," Frank mulai membaca tulisan bergaya jadul itu, "mungkin kau heran mengapa aku menulis surat untukmu. Mungkin pula, kau senang karena aku mati lebih dulu. Aku juga pernah berpikir begitu, kalau aku akan senang saat kau mati lebih dulu. Tapi ternyata, aku salah besar."Frank melirik Diana sekilas. Sang nenek masih berusaha membendung emosinya. "Aku sama sekali tidak kesal kau membaca surat
Read more

S3| 63. Papa Mau Menyingkirkannya?

"Selamat pagi, Tuan, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?" sapa petugas kepolisian di meja depan. Pria bertopi bulat itu menegakkan kepala. Melihat wajahnya, si petugas terbelalak. "Tuan Victor Moore!" Petugas di sekitar situ sontak menoleh. Raut mereka sama, terbelalak dan ternganga. Kemudian, petugas dengan pangkat tertinggi menghampiri Victor. "Selamat pagi, Tuan Moore. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian yang menimpa putri Anda. Kami tidak bisa berbuat banyak karena bukti-buktinya kuat, dan orang yang menuntutnya adalah Frank Harper." Tidak ada perubahan pada diri Victor. Ekspresinya beku, tatapannya tajam. "Di mana putri saya?" "Di ruang khusus. Anda dan istri tidak perlu khawatir. Kami menangani putri Anda dengan sangat baik." "Saya mau bicara dengan Sophia. Kami butuh privasi." Si petugas tersentak. Ia melirik jam, lalu bergumam, "Sebetulnya, ini di luar jam kunjungan." Namun, menyadari tatapan yang bertambah intens, ia cepat-cepat mengangguk. "Baik, Tuan. M
Read more

S3| 64. Siapa yang Menjatuhkan Sophia?

Sophia ternganga. Kepalanya menggeleng tak sepakat. "Tidak bisakah aku tetap di sini?" "Tidak," potong Victor dengan nada rendah, tetapi tegas. "Kekacauan yang kau buat terlalu rumit untuk dimanipulasi. Kau sebaiknya menghilang dari sini. Aku akan mengatakan kepada media bahwa kau diturunkan dari jabatanmu. Mereka harus percaya kalau keluarga Moore telah memberimu hukuman yang setimpal." Sophia mendesah tak percaya. Gerak kepalanya bertambah cepat. "Tolong jangan memecatku, Pa. Aku sendiri yang membangun perusahaanku menjadi sebesar ini. Tidak adil kalau Papa menyerahkannya kepada yang lain." Victor menggeleng. "Yang diperhitungkan oleh orang-orang adalah performa saat ini, bukan masa lalu. Tidak ada yang peduli dengan seberapa besar perjuanganmu membangun itu. Yang mereka lihat hanyalah bagaimana kau membuat perusahaanmu sendiri terpuruk." Air mata Sophia mulai tergenang. Wajahnya diliputi keputusasaan. "Tolong beri aku kesempatan, Pa. Aku bisa memulihkan nama baikku dan juga peru
Read more

S3| 65. Rumah Kenangan

"Sungguh menarik. Aku bisa membayangkan sebesar apa rasa sayang kedua orang tua mereka terhadap mereka." Mata Victor berkilat licik. "Benar, Tuan. Keluarga Harper sangat menyayangi dua balita ini. Bahkan Rowan Harper membagikan warisan terbanyak kepada mereka." Selang keheningan sejenak, sang informan beralih ke foto Barbara dan Philip. Meskipun Victor tampaknya sudah tidak butuh penjelasan, ia tetap melanjutkan. "Untuk Nyonya Harris, saya sebetulnya tidak yakin apa kelemahannya. Dia tipe orang yang egois dan mementingkan harta. Namun saat ini, dia tidak punya apa-apa. Satu-satunya celah bagi kita untuk menyerangnya mungkin lewat putrinya. Barbara Harris."Victor mengangkat alisnya sedikit. "Dan laki-laki ini?" Ia melirik foto terakhir. "Philip, calon suami Barbara Harris sekaligus pengawal anak-anak tadi. Kualifikasinya cukup mumpuni. Dia bisa menjadi hambatan besar kalau Anda ingin menyerang anak kembar itu ataupun Barbara Harris."Victor menyandarkan kepalanya sejenak, membiarka
Read more

S3| 66. Menyiapkan Pesta

Meski ragu, Diana melangkah masuk. Frank dan Kara mengawasinya dari belakang, agak berjarak. Mereka sengaja memberi ruang untuk Diana mencerna keadaan. Bahwa semuanya boleh saja tampak sama, tetapi masanya sudah berbeda. Di ruang tamu, Jeremy sedang menyambut Susan. Ketika matanya menangkap kehadiran Diana, ia menepuk lengan Susan dua kali lalu menghampiri pintu masuk. "Selamat datang, Nenek," sapanya kaku. Diana mengangguk singkat. Matanya masih memperhatikan sekeliling. Selang keheningan sesaat, ia terpaku pada rak yang berjajar di dekat dinding. "Kau tidak menggantinya?" Ia berjalan pelan dan Jeremy mengikuti. "Ya, kayunya sangat kokoh. Terlalu sayang jika dibuang." Jeremy mencari jawaban aman. Dengan mata berkaca-kaca, Diana mengamati foto-foto yang terpajang di atas rak. Dulu, ia membeli rak itu memang untuk memajang kenangan. Foto dirinya bersama Rowan dan Norman tertata rapi di sana. Kini, ia bisa apa? Vivian dan Jeremy pemilik rumah itu sekarang. Mereka yang berhak memaja
Read more

S2| 67. Pertemuan Melanie dan Diana

"Tuan, Nyonya," Ava menyapa Frank dan Kara seolah-olah Jeremy tidak ada. "Ada apa, Ava?" Kara meninggikan alisnya. Ava berkedip tegang. "Nyonya Harris sudah selesai mandi. Dia sedang merias diri. Sebentar lagi, dia pasti keluar. Bisakah Anda memberi tahu Nyonya Bell untuk kembali ke kamar? Saya merasa tidak pantas kalau saya yang melakukannya." Melihat keseriusan Ava, Frank tersenyum geli. Ia merasa seperti berhadapan dengan Jeremy versi wanita. "Tidak apa-apa, Ava. Biarkan saja ibuku bertemu dengan Vivian Bell." Raut Ava berubah samar. "Maksud Anda?" "Kami baru saja memutuskan untuk tidak menyembunyikan Nyonya Bell lagi. Ibuku harus dilatih untuk menghadapi kenyataan. Itu tidak masalah, kan?" Lengkung alis Ava terdongkrak, mulutnya sedikit membuka. "Oh, kalau itu rencananya, tidak apa-apa. Saya justru lega karena saya tidak perlu lagi bertindak seperti mata-mata." Anggukan kepalanya juga persis seperti Jeremy. Hal itu membuat Frank menggigit bibir, membungkam tawa. "Ava!" Sua
Read more

S3| 68. Belum Terlambat

Seketika, tubuh Melanie gemetar. Semua hal buruk yang pernah ia lakukan terlintas dalam benaknya. Nyalinya menciut, wajahnya mengerut. Frank dan yang lain khawatir melihat hal itu. Fokus mereka kemudian tertuju kepada Ava. Mereka mengharapkan petunjuk darinya kalau saja Melanie kembali menggila. Namun, belum sempat Ava memberikan jawaban, Melanie telah menjatuhkan lututnya. Kedua tangannya dirapatkan di depan dada. "Tolong maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun, entah itu Norman ataupun Frank. Aku hanya berusaha untuk menyelamatkan hidupku." Frank tercengang. Ia tidak menduga bahwa sang ibu akhirnya bersedia melucuti kesombongannya. Tidak hanya di depan Vivian, tetapi juga semua orang. Sementara itu, Diana mendesak dahi dengan alis. Ia juga tidak menyangka bahwa Melanie bisa bertekuk lutut secepat itu. Dari yang ia dengar, bukankah wanita itu egois dan keras kepala?"Kumohon," Melanie mendongak menunjukkan genangan air matanya kepada Diana, "maafkan aku. Aku s
Read more
PREV
1
...
3637383940
...
53
DMCA.com Protection Status