Waduh waduh .... Bahaya gak nih? Nantikan besok yaaa. Sekarang nikmati hari Minggu kalian.
Sophia ternganga. Kepalanya menggeleng tak sepakat. "Tidak bisakah aku tetap di sini?" "Tidak," potong Victor dengan nada rendah, tetapi tegas. "Kekacauan yang kau buat terlalu rumit untuk dimanipulasi. Kau sebaiknya menghilang dari sini. Aku akan mengatakan kepada media bahwa kau diturunkan dari jabatanmu. Mereka harus percaya kalau keluarga Moore telah memberimu hukuman yang setimpal." Sophia mendesah tak percaya. Gerak kepalanya bertambah cepat. "Tolong jangan memecatku, Pa. Aku sendiri yang membangun perusahaanku menjadi sebesar ini. Tidak adil kalau Papa menyerahkannya kepada yang lain." Victor menggeleng. "Yang diperhitungkan oleh orang-orang adalah performa saat ini, bukan masa lalu. Tidak ada yang peduli dengan seberapa besar perjuanganmu membangun itu. Yang mereka lihat hanyalah bagaimana kau membuat perusahaanmu sendiri terpuruk." Air mata Sophia mulai tergenang. Wajahnya diliputi keputusasaan. "Tolong beri aku kesempatan, Pa. Aku bisa memulihkan nama baikku dan juga peru
"Sungguh menarik. Aku bisa membayangkan sebesar apa rasa sayang kedua orang tua mereka terhadap mereka." Mata Victor berkilat licik. "Benar, Tuan. Keluarga Harper sangat menyayangi dua balita ini. Bahkan Rowan Harper membagikan warisan terbanyak kepada mereka." Selang keheningan sejenak, sang informan beralih ke foto Barbara dan Philip. Meskipun Victor tampaknya sudah tidak butuh penjelasan, ia tetap melanjutkan. "Untuk Nyonya Harris, saya sebetulnya tidak yakin apa kelemahannya. Dia tipe orang yang egois dan mementingkan harta. Namun saat ini, dia tidak punya apa-apa. Satu-satunya celah bagi kita untuk menyerangnya mungkin lewat putrinya. Barbara Harris."Victor mengangkat alisnya sedikit. "Dan laki-laki ini?" Ia melirik foto terakhir. "Philip, calon suami Barbara Harris sekaligus pengawal anak-anak tadi. Kualifikasinya cukup mumpuni. Dia bisa menjadi hambatan besar kalau Anda ingin menyerang anak kembar itu ataupun Barbara Harris."Victor menyandarkan kepalanya sejenak, membiarka
Meski ragu, Diana melangkah masuk. Frank dan Kara mengawasinya dari belakang, agak berjarak. Mereka sengaja memberi ruang untuk Diana mencerna keadaan. Bahwa semuanya boleh saja tampak sama, tetapi masanya sudah berbeda. Di ruang tamu, Jeremy sedang menyambut Susan. Ketika matanya menangkap kehadiran Diana, ia menepuk lengan Susan dua kali lalu menghampiri pintu masuk. "Selamat datang, Nenek," sapanya kaku. Diana mengangguk singkat. Matanya masih memperhatikan sekeliling. Selang keheningan sesaat, ia terpaku pada rak yang berjajar di dekat dinding. "Kau tidak menggantinya?" Ia berjalan pelan dan Jeremy mengikuti. "Ya, kayunya sangat kokoh. Terlalu sayang jika dibuang." Jeremy mencari jawaban aman. Dengan mata berkaca-kaca, Diana mengamati foto-foto yang terpajang di atas rak. Dulu, ia membeli rak itu memang untuk memajang kenangan. Foto dirinya bersama Rowan dan Norman tertata rapi di sana. Kini, ia bisa apa? Vivian dan Jeremy pemilik rumah itu sekarang. Mereka yang berhak memaja
"Tuan, Nyonya," Ava menyapa Frank dan Kara seolah-olah Jeremy tidak ada. "Ada apa, Ava?" Kara meninggikan alisnya. Ava berkedip tegang. "Nyonya Harris sudah selesai mandi. Dia sedang merias diri. Sebentar lagi, dia pasti keluar. Bisakah Anda memberi tahu Nyonya Bell untuk kembali ke kamar? Saya merasa tidak pantas kalau saya yang melakukannya." Melihat keseriusan Ava, Frank tersenyum geli. Ia merasa seperti berhadapan dengan Jeremy versi wanita. "Tidak apa-apa, Ava. Biarkan saja ibuku bertemu dengan Vivian Bell." Raut Ava berubah samar. "Maksud Anda?" "Kami baru saja memutuskan untuk tidak menyembunyikan Nyonya Bell lagi. Ibuku harus dilatih untuk menghadapi kenyataan. Itu tidak masalah, kan?" Lengkung alis Ava terdongkrak, mulutnya sedikit membuka. "Oh, kalau itu rencananya, tidak apa-apa. Saya justru lega karena saya tidak perlu lagi bertindak seperti mata-mata." Anggukan kepalanya juga persis seperti Jeremy. Hal itu membuat Frank menggigit bibir, membungkam tawa. "Ava!" Sua
Seketika, tubuh Melanie gemetar. Semua hal buruk yang pernah ia lakukan terlintas dalam benaknya. Nyalinya menciut, wajahnya mengerut. Frank dan yang lain khawatir melihat hal itu. Fokus mereka kemudian tertuju kepada Ava. Mereka mengharapkan petunjuk darinya kalau saja Melanie kembali menggila. Namun, belum sempat Ava memberikan jawaban, Melanie telah menjatuhkan lututnya. Kedua tangannya dirapatkan di depan dada. "Tolong maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun, entah itu Norman ataupun Frank. Aku hanya berusaha untuk menyelamatkan hidupku." Frank tercengang. Ia tidak menduga bahwa sang ibu akhirnya bersedia melucuti kesombongannya. Tidak hanya di depan Vivian, tetapi juga semua orang. Sementara itu, Diana mendesak dahi dengan alis. Ia juga tidak menyangka bahwa Melanie bisa bertekuk lutut secepat itu. Dari yang ia dengar, bukankah wanita itu egois dan keras kepala?"Kumohon," Melanie mendongak menunjukkan genangan air matanya kepada Diana, "maafkan aku. Aku s
Tawa Emily terdengar begitu ringan, sama seperti langkah kakinya yang mengelilingi gazebo. Kembang api di kedua tangannya terus memercikkan bunga api. Semakin besar nyalanya, semakin merah rona di pipi Emily. "Mama, lihat! Aku seperti peri yang terbang meninggalkan serbuk ajaib!" Kara tersenyum melihat keceriaan sang putri. "Ya, Sayang. Kamu seperti Tinkerbell." Tawa Emily kembali melengking. Sambil mempercepat lajunya, ia menaik-turunkan tangan. Sementara itu, Louis sedang sibuk menggambar di udara dengan kembang apinya. Setiap selesai satu pola, ia berlari ke arah Barbara, memeriksa hasilnya. "Bagaimana, Bibi? Apakah sudah berhasil?" Dengan senyum semringah, Barbara memperlihatkan layar kameranya. "Berhasil!" Sebuah bintang tergambar dengan sempurna. Melihat itu, Louis mengangguk puas. Lengkung bibirnya yang mungil membuat pipinya terlihat lebih tembam. "Kerja bagus, Bibi." Sedetik kemudian, ia melambai-lambai ke arah si gadis mungil. "Emily, Bibi sudah berhasil. Ayo beraksi!
Susan tersentak mendengar derap langkah di belakangnya. Ketika menoleh, alisnya melengkung lebih tinggi. "Ada apa, Ava? Kenapa kamu berlari begitu?" "Nyonya Martin," Ava berhenti lalu memegang kedua lengan Susan, "saya melihat drone di atas pagar dekat gazebo. Seseorang sedang mengintai mereka." Susan mengerjap. Keseriusan Ava menular ke wajahnya. "Apakah mereka tidak sadar?" "Tidak. Karena itu, saya harus segera memberi tahu mereka." Tepat ketika Ava hendak lanjut berlari, Susan memegang tangannya. "Tunggu. Kalau kamu tergesa-gesa begitu, si pengintai bisa kabur." Ketegangan Ava memudar. "Lalu?" "Berpura-puralah tidak tahu. Hampiri mereka dengan santai, lalu beri tahu dengan tenang. Jangan menimbulkan kecurigaan." Ava menelan ludah lalu mengangguk. "Baiklah." Kemudian, Ava melakukan tugasnya sesuai arahan. Ia berjalan menuju gazebo dengan jantung berdebar. "Oh? Itu Ava. Ava sudah datang!" Emily beranjak dari posisinya lalu melompat-lompat. Tangannya melambai dengan penuh sem
"Halo semuanya! Maaf kami terlambat." Sang wanita melambai-lambai dengan senyum ceria. Melihat itu, si Kembar memekik bahagia. "Dokter Wela! Dokter Rony!" Mereka berlari turun dari gazebo, lalu mendekap wanita itu hangat. "Bukankah Dokter Wela dan Rony ada urusan mendesak?" Mata Louis tampak berbinar."Kami kira Dokter tidak jadi datang. Kami sempat sedih memikirkan hal itu." Emily mencebik."Tapi sekarang, aku dan Rony di sini, kan?" Wela mencubit pipi si Kembar. "Kami tidak tega membiarkan keponakan tersayang kami sedih. Jadi, begitu urusan selesai, kami langsung meluncur ke sini. Ini belum tahun baru, kan?" "Ya, sebentar lagi pergantian tahun. Ayo naik ke gazebo! Kita tidak boleh melewatkannya tanpa topi dan terompet." Dengan penuh semangat, Emily menarik tangan Wela. Louis pun berinisiatif menyeret tangan Rony. "Ini untuk Dokter Wela. Ini untuk Dokter Rony. Begitu hitungan mundur berakhir, kita meniup terompet bersama. Mengerti?" terang Emily seraya membagikan terompet dan to