Tadaa! Jawaban kalian benar enggak nih? Hebat banget yang nebaknya benar. Ada bakat jadi agen rahasia bareng Louis nih. Ternyata Wela sama Rony yah. Ortunya Sophia belum muncul. Btw, untuk bab selanjutnya, ada kejutan menanti. Buat kalian yang mau baca Menaklukkan Duda Dingin, kebetulan lagi ada diskon 70% tuh. Yuk mampir. Kenalan sama Amber dan Adam. Buku ini Pixie rancang penuh emosi. Romantisnya selangit. Pertemuan antara dua insan yang penuh luka dan misteri. Pemenang kontes kemarin loh. Hehe. Baca yuk baca ....
"Terima kasih," ucap Ava lirih. Sambil menarik napas panjang, ia menggigit bibir dan tertunduk. "Aku sangat beruntung bisa mengenal kalian. Tanpa kalian, aku mungkin tidak bisa melewati tahun baru bersama ibuku." Susan mengelus-elus pundak Ava. Meski demikian, Kara yang buka suara. "Justru kami yang beruntung telah mengenalmu, Ava. Tanpa bantuanmu, pesta ini belum tentu terlaksana. Frank dan Barbara pasti masih tidak tenang memikirkan ibu mereka." Ava mengangkat pandangan dengan wajah penuh haru. Anggukannya membuat Louis mendapat ide. "Emily, bagaimana kalau kita mengunjungi ibunya Ava sebentar? Kita ucapkan selamat tahun baru dan doa-doa untuknya.""Ide bagus, Louis." Dengan senyum semringah, gadis mungil itu menatap Kara. "Mama, bolehkah kami mengunjungi ibunya Ava sebelum pergi tidur?" Kara mengelus pipi gembul sang putri. "Memangnya kalian belum mengantuk?" Si Kembar kompak menggeleng. "Kami tidur siang dua kali, Mama. Kami belum mengantuk." Emily membelalakkan mata agar ta
"Mama, Papa, bukankah kami sangat hebat? Kami berhasil mengadakan pesta yang meriah. Lalu kami berhasil membuat ibunya Ava bergerak." Suara Louis sudah sangat lemah. Kelopak matanya sesekali menutup. Namun, ia masih berusaha terjaga. "Ya," Kara mengusap kepala sang putra, "kalian sangat hebat. Mama dan Papa semakin bangga kepada kalian." Louis menaikkan sudut bibirnya sedikit. Pujian sang ibu memang tidak pernah gagal meringankan hatinya. "Kira-kira, kapan ibunya Ava akan terbangun, Mama? Ava terlihat sangat bahagia tadi. Dia pasti lebih bahagia kalau ibunya sudah sadar," sambung Emily dengan suara yang tak jelas. Yemon dalam dekapannya hampir terlepas. Ia juga sudah di gerbang mimpi indah. Dari sisi lain, Frank menelusuri anak rambut Emily dengan jari. "Dokter Wella bilang perkembangan Nyonya Connor sangat pesat. Papa yakin dia pasti cepat pulih." Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, Emily memaksakan senyuman. "Syukurlah. Aku harap dia bangun sebelum Bibi dan Philip menikah.
"Ava, kamu betul-betul tidak bisa ikut? Kursi di sebelah Paman Jeremy masih kosong." Louis memasang raut memelas. Ava tersenyum kecut. "Maaf, Louis. Dokter Wela bilang semakin besar dukungan yang ibuku rasakan, semakin cepat kesadarannya pulih. Aku ingin menemani dan berbincang dengannya lebih sering." "Kita cuma pergi sebentar, Ava. Mungkin cuma dua jam." Emily menegakkan telunjuk dan jari tengahnya yang mungil. "Ditambah dengan waktu perjalanan bisa empat jam," Ava tersenyum miring. "Mungkin lain kali, sewaktu ibuku sudah bangun." Bibir si Kembar pun mengerucut. Kepala mereka tertunduk lesu. "Baiklah. Mari pergi bersama ketika ibumu sudah bangun." Namun, sedetik kemudian, Louis mendongak dengan mata berbinar. "Tapi, khusus untuk hari pertama masuk sekolah nanti, berjanjilah untuk ikut mengantar kami." Emily mengangguk lucu. "Ya! Tidak boleh ada negosiasi untuk yang satu itu. Wajib." Ava mengulum tawa. "Baiklah. Akan kuusahakan. Sekarang bersenang-senanglah." "Kamu juga! Bers
Melihat benda-benda yang melayang tinggi dan memancarkan sinar itu, si Kembar langsung teringat akan kapal pesiar keluarga Moore. Sang ayah melamar ibu mereka di sana, juga dengan menggunakan drone. Merasakan ancaman, mereka merapat kepada Diana. "Papa, Mama ..." rengek Emily. Tubuh mungilnya gemetar. Frank dan Kara bergegas menghampiri si Kembar. "Jangan takut, Sayang. Papa dan Mama di sini." Emily dan Louis langsung memindahkan lengan mereka melingkari Kara. "Mama, apakah itu kiriman keluarga Moore? Mereka berniat menyerang kita?" Tiba-tiba, drone yang semula berbaris rapi itu berubah formasi. Semua orang mengamati dengan teliti. Saat tulisan "Welcome to the zoo" terbentuk, mereka saling lirik. "Apa maksudnya ini?" desah Diana. Frank menggeleng samar. Saat tulisan itu berubah menjadi nama Louis dan Emily, jantungnya berdebar. Tangannya diam-diam mengepal. "Mama, kenapa nama kami ada di sana?" Emily semakin resah. Kara mengusap punggungnya lebih cepat. "Tenanglah, Sayang. Tida
Hari-hari berlalu, situasi aman terkendali. Keluarga Moore sama sekali tidak menunjukkan taring. Bahkan hingga hari pertama si Kembar kembali ke sekolah, mereka masih bepergian dengan kapal pesiar. "Pagi ini benar-benar indah. Bukan cuma Mama dan Papa yang mengantar kami, tapi Nenek, Abigail, dan Ava juga." Emily berjinjit sambil menangkup pipi. Wajahnya berseri-seri. Namun di sebelahnya, Louis mencebik. "Ya, aku juga senang banyak orang mengantar kita pagi ini. Tapi, liburan sudah berakhir. Nenek dan Abigail sudah harus kembali ke K City. Saat kita pulang sekolah nanti, mereka sudah tidak di rumah lagi." "Untuk apa kamu bersedih, Louis?" Emily mengerucutkan bibir. "Papa bilang, Papa sudah mengirim orang untuk memasang parabola besar di peternakan. Nanti Nenek tidak akan kesulitan internet lagi. Kita bisa menelepon Nenek atau melakukan panggilan video kalau rindu." Diana tersenyum kecil. "Emily benar. Kalian bisa menelepon Nenek kapan saja. Walaupun jarak yang memisahkan kita sanga
Dua menit sebelumnya .... Saat berbalik menuju pintu keberangkatan, alis Diana langsung berkerut. Napasnya berat, langkahnya agak tersendat. "Nenek, apakah Nenek yakin tidak mau berbicara dulu dengan Jeremy?" Diana tersentak. "Bicara apa?" "Sejak pertemuan pertama kalian di peternakan hingga detik ini, aku belum pernah melihat kalian mengobrol berdua. Nenek terlihat akrab dengan Frank. Nenek juga dekat dengan Vivian Bell. Lalu, kenapa dengan Jeremy tidak?" Diana mendesah panjang. Beban dalam hatinya terasa semakin berat. Di awal pertemuannya dengan Jeremy, ia sudah lebih dulu terbawa emosi. Ia mengabaikan cucunya itu, sama seperti yang lain. Namun, saat dirinya sadar bahwa mereka tidak bersalah, Diana terlalu sibuk menebus kesalahan kepada Frank, Kara, dan si Kembar. Jeremy memang betul-betul belum pernah mendapatkan perhatiannya. "Nenek, mereka mulai berjalan menuju parkiran," bisik Abigail, menoleh ke belakang sekali lagi. Langkah Diana pun terhenti. Sambil menarik napas ber
"Frank," Kara memasuki ruang CEO dengan senyumnya yang menyejukkan, "Nenek baru saja mengabariku. Mereka sudah dipanggil masuk ke pesawat. Semuanya aman." Frank menyandarkan punggungnya, memasang wajah ceria. "Syukurlah. Berarti dugaanku benar. Pihak Moore tidak menargetkan Nenek." Kara mengangguk. "Sekarang kamu bisa bekerja dengan tenang, hmm?" "Aku selalu tenang, kamulah yang sekarang bisa bekerja dengan tenang." Frank menyipitkan mata. Kara tertawa ringan. "Baiklah. Kuakui tadi aku sedikit cemas. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin saja mereka tidak menaruh dendam kepada kita, kan? Sophia sendiri yang gegabah." Frank mengangguk dengan senyum kaku. "Ya, sekarang fokuslah pada pekerjaanmu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi. Anak-Anak juga pasti aman di sekolah." Usai mengecup pipi Frank dan membiarkan pria itu mengecup keningnya, Kara berjalan menuju pintu. "Kalau butuh bantuan, panggil saja aku." "Oke." Dengan lengkung bibir yang tulus, Frank memperhatikan sang istr
Napas Frank mendadak tertahan, seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Namun, ia tidak mau panik. Sebisa mungkin, ia mengendalikan paru-parunya. "Jangan berasumsi apa-apa dulu." Tangannya meremas jemari Kara lembut. "Mari kita coba menghubunginya. Siapa tahu, Barbara sudah pulang atau membatalkan niatnya. Dia itu manja. Dia mana tahan pergi ke mana-mana sendirian?" Kara mengangguk, berharap ucapan Frank menjadi kenyataan. Namun, melihat raut Frank saat menelepon, harapannya goyah. "Ada apa, Frank?" Frank menurunkan ponsel dan berkedip tegang. Ia tidak mungkin berbohong. "Nomornya tidak aktif." Sambil meletakkan sebelah tangan di pinggang, Frank mencoba sekali lagi. Berdirinya kini membelakangi Kara, mengantisipasi kalau-kalau ia gagal mengendalikan ekspresi. Mendapati nomor Barbara tidak juga bisa dihubungi, Frank menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam, rahangnya terkatup erat. Namun, ketika berbalik, ia langsung meraih ponsel Kara. "Aku pinjam sebentar." Tanpa be