Tarik napas dalam-dalam, embuskan .... Belum ya, Teman-Teman. Relaks relaks .... Persiapkan mental untuk bab selanjutnya.
Hari-hari berlalu, situasi aman terkendali. Keluarga Moore sama sekali tidak menunjukkan taring. Bahkan hingga hari pertama si Kembar kembali ke sekolah, mereka masih bepergian dengan kapal pesiar. "Pagi ini benar-benar indah. Bukan cuma Mama dan Papa yang mengantar kami, tapi Nenek, Abigail, dan Ava juga." Emily berjinjit sambil menangkup pipi. Wajahnya berseri-seri. Namun di sebelahnya, Louis mencebik. "Ya, aku juga senang banyak orang mengantar kita pagi ini. Tapi, liburan sudah berakhir. Nenek dan Abigail sudah harus kembali ke K City. Saat kita pulang sekolah nanti, mereka sudah tidak di rumah lagi." "Untuk apa kamu bersedih, Louis?" Emily mengerucutkan bibir. "Papa bilang, Papa sudah mengirim orang untuk memasang parabola besar di peternakan. Nanti Nenek tidak akan kesulitan internet lagi. Kita bisa menelepon Nenek atau melakukan panggilan video kalau rindu." Diana tersenyum kecil. "Emily benar. Kalian bisa menelepon Nenek kapan saja. Walaupun jarak yang memisahkan kita sanga
Dua menit sebelumnya .... Saat berbalik menuju pintu keberangkatan, alis Diana langsung berkerut. Napasnya berat, langkahnya agak tersendat. "Nenek, apakah Nenek yakin tidak mau berbicara dulu dengan Jeremy?" Diana tersentak. "Bicara apa?" "Sejak pertemuan pertama kalian di peternakan hingga detik ini, aku belum pernah melihat kalian mengobrol berdua. Nenek terlihat akrab dengan Frank. Nenek juga dekat dengan Vivian Bell. Lalu, kenapa dengan Jeremy tidak?" Diana mendesah panjang. Beban dalam hatinya terasa semakin berat. Di awal pertemuannya dengan Jeremy, ia sudah lebih dulu terbawa emosi. Ia mengabaikan cucunya itu, sama seperti yang lain. Namun, saat dirinya sadar bahwa mereka tidak bersalah, Diana terlalu sibuk menebus kesalahan kepada Frank, Kara, dan si Kembar. Jeremy memang betul-betul belum pernah mendapatkan perhatiannya. "Nenek, mereka mulai berjalan menuju parkiran," bisik Abigail, menoleh ke belakang sekali lagi. Langkah Diana pun terhenti. Sambil menarik napas ber
"Frank," Kara memasuki ruang CEO dengan senyumnya yang menyejukkan, "Nenek baru saja mengabariku. Mereka sudah dipanggil masuk ke pesawat. Semuanya aman." Frank menyandarkan punggungnya, memasang wajah ceria. "Syukurlah. Berarti dugaanku benar. Pihak Moore tidak menargetkan Nenek." Kara mengangguk. "Sekarang kamu bisa bekerja dengan tenang, hmm?" "Aku selalu tenang, kamulah yang sekarang bisa bekerja dengan tenang." Frank menyipitkan mata. Kara tertawa ringan. "Baiklah. Kuakui tadi aku sedikit cemas. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin saja mereka tidak menaruh dendam kepada kita, kan? Sophia sendiri yang gegabah." Frank mengangguk dengan senyum kaku. "Ya, sekarang fokuslah pada pekerjaanmu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi. Anak-Anak juga pasti aman di sekolah." Usai mengecup pipi Frank dan membiarkan pria itu mengecup keningnya, Kara berjalan menuju pintu. "Kalau butuh bantuan, panggil saja aku." "Oke." Dengan lengkung bibir yang tulus, Frank memperhatikan sang istr
Napas Frank mendadak tertahan, seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Namun, ia tidak mau panik. Sebisa mungkin, ia mengendalikan paru-parunya. "Jangan berasumsi apa-apa dulu." Tangannya meremas jemari Kara lembut. "Mari kita coba menghubunginya. Siapa tahu, Barbara sudah pulang atau membatalkan niatnya. Dia itu manja. Dia mana tahan pergi ke mana-mana sendirian?" Kara mengangguk, berharap ucapan Frank menjadi kenyataan. Namun, melihat raut Frank saat menelepon, harapannya goyah. "Ada apa, Frank?" Frank menurunkan ponsel dan berkedip tegang. Ia tidak mungkin berbohong. "Nomornya tidak aktif." Sambil meletakkan sebelah tangan di pinggang, Frank mencoba sekali lagi. Berdirinya kini membelakangi Kara, mengantisipasi kalau-kalau ia gagal mengendalikan ekspresi. Mendapati nomor Barbara tidak juga bisa dihubungi, Frank menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam, rahangnya terkatup erat. Namun, ketika berbalik, ia langsung meraih ponsel Kara. "Aku pinjam sebentar." Tanpa be
"Siapa kau?" tanya Philip dengan nada rendah. Mendengar suara menggeram itu, si Kembar mendongak. Mata mereka membulat dan mulut mereka sedikit membuka. Akan tetapi, Philip tidak lagi bersuara. Saat menurunkan ponsel dari telinganya, ia hanya menggertakkan geraham. Tangannya mencengkeram ponsel dengan sangat kuat. "Ada apa, Philip? Apakah sesuatu terjadi pada Bibi?" Philip mendongak, membuang tekanan yang berlebihan dalam paru-parunya. Namun, ia tidak yakin bisa menghapus guratan merah dari matanya. Karena itu, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu mengulurkan tangan kepada si Kembar. "Sean sebentar lagi tiba. Kita harus bergegas ke gerbang depan." Si Kembar tidak lagi bertanya. Mereka saling lirik, mengerti bahwa Philip merahasiakan sesuatu dari mereka. Terbukti, begitu Sean tiba, Philip mengajak pria itu bicara agak jauh dari si Kembar. "Emily, menurutmu, apa yang dibicarakan oleh Philip?" Louis mencondongkan mulutnya ke telinga Emily. "Aku tidak tahu, Louis. Tapi, apa
"Baiklah. Terima kasih banyak atas kesediaan Anda. Mohon tunggu aba-aba dari saya .... Ya, terima kasih." Usai menutup telepon, Frank mencoret nama terakhir dalam daftar. Saat itu pula, seorang pengawal memasuki ruangannya. "Permisi, Tuan." Frank menyambut dengan lirikan serius. "Apakah tim tambahan sudah tiba?" Sang pengawal berdiri di depan meja dengan kepala agak tertunduk dan tangan terkepal erat. "Sudah, Tuan." "Bagus. Kalau begitu, ayo berangkat sekarang. Istriku sudah siap di ruangannya?" "Maaf, Tuan. Tapi ... ada masalah." Tangan Frank yang semula lincah membereskan barang-barang mendadak menegang. "Masalah?" Sang pengawal menarik napas berat. "Tim Cheetah dan Delta baru saja melapor. Tuan Muda mengatakan kalau mereka mau ke kantor secepat mungkin. Ada barang-barang yang ingin mereka ambil dan mereka juga berharap bisa pulang bersama Anda." Rahang Frank berdenyut. "Lalu?" "Lalu, Tim Cheetah dan Delta mengubah formasi. Mereka melaju lebih dulu untuk membukakan jalan. T
Sean menggertakkan geraham. Bibirnya sampai gemetar, tidak tega melontarkan jawaban yang kurang pantas didengar oleh si Kembar."Musuh itu seperti singa yang siap menerkam. Mereka suka mengincar mangsa yang ketakutan. Oleh karena itu, ingat kata-kata saya ini baik-baik."Louis mempertajam pendengarannya. Bahkan Emily menahan napas, takut suara embusannya menutupi penjelasan."Jangan menangis ketika berhadapan dengan mereka. Tetaplah berdiri tegak dan berbicara yang lantang. Yakinlah orang tua kalian akan segera datang untuk menyelamatkan. Kalau perlu, gertak dan ancam balik mereka. Tawaran kerja sama yang menguntungkan juga bisa berguna. Yang penting, kalian jangan terlihat lemah. Karena kalau itu terjadi, kalian malah akan ditindas."Louis berkedip-kedip mencernanya. Sean belum pernah berbicara sepanjang itu dalam satu tarikan napas. "Oke. Tapi, kenapa kamu mengatakan itu, Sean? Bukankah kita akan mengendap-endap? Kita tidak akan berhadapan dengan mereka."Sean menelan ludah pahit. S
Begitu pintu mobil ditutup, Louis langsung memutar posisi duduknya menghadap Emily. "Kerja bagus, Emily. Kamu bisa mengendalikan emosimu dengan baik." "Begitukah? Padahal aku sangat takut tadi. Badanku terasa gemetar. Apakah tidak terlihat?" Louis menggeleng. "Tidak. Gertakanmu juga cukup bagus. Lain kali, bicaralah lebih lantang dan jangan mencebik." Emily memasukkan bibir. "Itu sulit. Sekarang saja, mataku terasa panas sekali. Apakah kita akan baik-baik saja, Louis?" "Ya, pasti. Orang-orang itu kelihatannya belum berpengalaman. Lihat saja bagaimana cara mereka mengikat kita. Ini sangat mudah dilepas. Mereka juga tidak menutup mulut kita. Aku yakin, kita akan baik-baik saja." Tepat ketika Louis selesai bicara, ledakan keras menggetarkan mobil dan menyentak tubuh mereka. Dengan mata terbelalak, kedua balita itu ternganga. "Bunyi apa itu, Louis? Apakah itu suara tembakan?" "Kurasa itu suara ledakan bom." Selang beberapa kedipan, Emily menautkan alis. "Apakah Sean dan keluarganya