"Baiklah. Terima kasih banyak atas kesediaan Anda. Mohon tunggu aba-aba dari saya .... Ya, terima kasih." Usai menutup telepon, Frank mencoret nama terakhir dalam daftar. Saat itu pula, seorang pengawal memasuki ruangannya. "Permisi, Tuan." Frank menyambut dengan lirikan serius. "Apakah tim tambahan sudah tiba?" Sang pengawal berdiri di depan meja dengan kepala agak tertunduk dan tangan terkepal erat. "Sudah, Tuan." "Bagus. Kalau begitu, ayo berangkat sekarang. Istriku sudah siap di ruangannya?" "Maaf, Tuan. Tapi ... ada masalah." Tangan Frank yang semula lincah membereskan barang-barang mendadak menegang. "Masalah?" Sang pengawal menarik napas berat. "Tim Cheetah dan Delta baru saja melapor. Tuan Muda mengatakan kalau mereka mau ke kantor secepat mungkin. Ada barang-barang yang ingin mereka ambil dan mereka juga berharap bisa pulang bersama Anda." Rahang Frank berdenyut. "Lalu?" "Lalu, Tim Cheetah dan Delta mengubah formasi. Mereka melaju lebih dulu untuk membukakan jalan. T
Sean menggertakkan geraham. Bibirnya sampai gemetar, tidak tega melontarkan jawaban yang kurang pantas didengar oleh si Kembar."Musuh itu seperti singa yang siap menerkam. Mereka suka mengincar mangsa yang ketakutan. Oleh karena itu, ingat kata-kata saya ini baik-baik."Louis mempertajam pendengarannya. Bahkan Emily menahan napas, takut suara embusannya menutupi penjelasan."Jangan menangis ketika berhadapan dengan mereka. Tetaplah berdiri tegak dan berbicara yang lantang. Yakinlah orang tua kalian akan segera datang untuk menyelamatkan. Kalau perlu, gertak dan ancam balik mereka. Tawaran kerja sama yang menguntungkan juga bisa berguna. Yang penting, kalian jangan terlihat lemah. Karena kalau itu terjadi, kalian malah akan ditindas."Louis berkedip-kedip mencernanya. Sean belum pernah berbicara sepanjang itu dalam satu tarikan napas. "Oke. Tapi, kenapa kamu mengatakan itu, Sean? Bukankah kita akan mengendap-endap? Kita tidak akan berhadapan dengan mereka."Sean menelan ludah pahit. S
Begitu pintu mobil ditutup, Louis langsung memutar posisi duduknya menghadap Emily. "Kerja bagus, Emily. Kamu bisa mengendalikan emosimu dengan baik." "Begitukah? Padahal aku sangat takut tadi. Badanku terasa gemetar. Apakah tidak terlihat?" Louis menggeleng. "Tidak. Gertakanmu juga cukup bagus. Lain kali, bicaralah lebih lantang dan jangan mencebik." Emily memasukkan bibir. "Itu sulit. Sekarang saja, mataku terasa panas sekali. Apakah kita akan baik-baik saja, Louis?" "Ya, pasti. Orang-orang itu kelihatannya belum berpengalaman. Lihat saja bagaimana cara mereka mengikat kita. Ini sangat mudah dilepas. Mereka juga tidak menutup mulut kita. Aku yakin, kita akan baik-baik saja." Tepat ketika Louis selesai bicara, ledakan keras menggetarkan mobil dan menyentak tubuh mereka. Dengan mata terbelalak, kedua balita itu ternganga. "Bunyi apa itu, Louis? Apakah itu suara tembakan?" "Kurasa itu suara ledakan bom." Selang beberapa kedipan, Emily menautkan alis. "Apakah Sean dan keluarganya
Belum sempat Frank menjawab, tubuh Barbara melemas. Kalau saja Kara tidak sigap menariknya, ia pasti sudah jatuh ke lantai. "Barbara?" Kara melirik pengawal yang bersiaga, meminta pertolongan. Sementara itu, Frank menjepit pangkal hidungnya. "Ya, itu saja Wela. Bisa kau membantuku?" "Ya, tapi aku harus menunggu tim pemadam memadamkan apinya. Mereka baru saja tiba." Usai berterima kasih dan mengakhiri panggilan, Frank mengurut dahi. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia melihat sang adik yang berbaring lemah di atas sofa dan sang istri. "Masih ada kemungkinan untuk Philip selamat, kan?" ujar Kara lirih. Frank mengangguk. "Aku yakin dia pasti keluar sebelum ledakan itu terjadi. Ini sudah beberapa menit dari kecelakaan." "Oh, Frank," Kara meringkuk di pelukan sang suami. Saat itulah, Frank menyadari tubuh sang istri gemetar. "Keluarga Moore benar-benar sadis. Apakah Louis dan Emily akan baik-baik saja?" Kara tidak sanggup lagi membendung kekhawatiran. "Ya, mereka anak-anak pintar. Me
Victor mengamati si Kembar dengan teliti. Dari ujung sepatu hingga ujung kepala, dua balita itu terlihat biasa-biasa saja baginya. Hanya gaya bicara mereka saja yang membuatnya sedikit terpikat. "Apakah aku mengenalmu? Dari mana kau tahu kalau aku Victor Moore?" Louis tahu musuh sedang menilainya. Cepat-cepat, ia mengendalikan ekspresi lalu menggenggam pergelangan tangannya sendiri di belakang pinggang. "Pebisnis mana yang tidak mengenalmu? Di sektor teknologi, perusahaan ayahku rajanya. Tapi kalau sektor pelayaran dan hotel, perusahaanmu tidak ada tandingannya. Tidak heran kalau kalian memenangkan banyak penghargaan. Baru-baru ini, kau mendapat penghargaan lagi, kan?" Louis memilih jawaban diplomatis. Padahal, ia bisa saja mengatakan kalau mereka pernah bertemu di pernikahan Sophia.Sudut bibir Victor naik tipis. "Aneh sekali. Kudengar Rowan Harper sudah tiada. Tapi mengapa sekarang aku merasa seperti sedang berhadapan dengannya? Hanya saja, dalam wujud anak kecil." Louis meningg
Kara berjalan dengan tergesa-gesa. Napasnya pendek, bibirnya sesekali meloloskan desah. Ketika matanya menangkap Jeremy, ia langsung berlari dan mendekap pria itu. "Oh, Jeremy," Kara mengendurkan pelukan hingga tangannya menyentuh kedua lengan pria itu, "kau baik-baik saja?" "Frank bisa melayangkan tinju kalau dia tahu kau memelukku." Kara menghela napas. "Aku sedang serius. Kau tidak apa-apa, kan? Hasil pemeriksaanmu baik?" Jeremy mengangguk. "Aku baik-baik saja." "Bagaimana dengan Ava?" Jeremy menoleh ke samping. Ava sedang berbaring dengan mata terpejam. "Hanya cedera ringan. Dia masih shocked. Dokter memintanya untuk beristirahat sebelum pulang." Sekali lagi, Kara mendesah panjang. "Syukurlah. Setidaknya satu masalah berkurang." Sebelah tangannya terangkat memegangi kepala. "Omong-omong, di mana Frank?" Jeremy memeriksa sekeliling. Hanya para pengawal yang terlihat. Kepala Kara kembali tegak. Rautnya kini serius. "Dia langsung pergi setelah menurunkan aku dan Barbara di si
Si Kembar mengerjap. "Kritis?" Melihat raut bingung kedua balita itu, Victor akhirnya tersenyum. "Oke, mari berhenti buang-buang waktu." Ia memajukan badan hingga kedua sikunya mencapai ujung sandaran tangan yang terbuat dari kayu. "Kalau kalian bukan anak-anak biasa, kalian pasti mengerti apa tujuanku sebenarnya." Si Kembar saling lirik. "Ya, kau menangkap kami agar bisa mengancam Papa." Victor mengangguk. "Dan kalian tidak takut?" Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. Lengkung bibir Victor seketika berubah menjadi seringai. "Bagus. Kalau begitu, mari kita buktikan." Pria itu mengeluarkan ponsel lalu menghubungi seseorang. Mode pengeras suara diaktifkan. "Halo, Frank Harper." Suara dengusan menyambut. "Di mana anak-anakku?" Mengenali suara itu, mata si Kembar membulat. Mulut mereka terbuka lebar. "Papa?" Tanpa terduga, dua balita itu turun dari kursi lalu menyandarkan diri pada lutut musuh mereka. Dagu mereka hampir menyentuh ponsel Victor. "Papa? Papa sedang di mana? Ken
Bibir Emily mulai gemetar. Sekuat apa pun ia menahannya, ia tetap gagal. "Yang ingin kamu lakukan itu adalah kejahatan, Tuan Moore. Apakah kamu tidak takut ditangkap polisi? Kalau kamu dipenjara, reputasimu bisa rusak selamanya." Louis pun sama. Kantong matanya agak memerah dan menebal. "Belum terlambat untuk kamu sadar sekarang, Tuan Moore. Berubahlah. Kembalikan kami kepada Papa. Lagi pula, tidak ada gunanya kamu membalas dendam." Victor tiba-tiba menjatuhkan kepalan tangan pada sandaran tangan yang terbuat dari papan. Si Kembar tersentak mendengar bunyinya. "Ini keputusan akhirku. Penuhi tawaran tadi atau kau kehilangan salah satu dari anakmu." Tanpa basa-basi lagi, Victor mengakhiri panggilan. Matanya kini meruncing ke arah si Kembar. "Dan kalian ... diskusikan siapa yang akan dikorbankan. Satu jam lagi, aku akan meminta hasilnya. Lalu satu jam kemudian, kalau ayah kalian belum juga menjalankan perintahku, bersiap-siaplah untuk berpisah." Si Kembar memperhatikan langkah Victo
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum