Hai hai! Terima kasih masih setia ngikutin sampai sejauh ini. Gimana nih menurut kalian performa si Kembar sampai sini? Mampukah mereka bertahan sampai Frank datang? Yuk kasih pendapat kalian di komentar!
Kara berjalan dengan tergesa-gesa. Napasnya pendek, bibirnya sesekali meloloskan desah. Ketika matanya menangkap Jeremy, ia langsung berlari dan mendekap pria itu. "Oh, Jeremy," Kara mengendurkan pelukan hingga tangannya menyentuh kedua lengan pria itu, "kau baik-baik saja?" "Frank bisa melayangkan tinju kalau dia tahu kau memelukku." Kara menghela napas. "Aku sedang serius. Kau tidak apa-apa, kan? Hasil pemeriksaanmu baik?" Jeremy mengangguk. "Aku baik-baik saja." "Bagaimana dengan Ava?" Jeremy menoleh ke samping. Ava sedang berbaring dengan mata terpejam. "Hanya cedera ringan. Dia masih shocked. Dokter memintanya untuk beristirahat sebelum pulang." Sekali lagi, Kara mendesah panjang. "Syukurlah. Setidaknya satu masalah berkurang." Sebelah tangannya terangkat memegangi kepala. "Omong-omong, di mana Frank?" Jeremy memeriksa sekeliling. Hanya para pengawal yang terlihat. Kepala Kara kembali tegak. Rautnya kini serius. "Dia langsung pergi setelah menurunkan aku dan Barbara di si
Si Kembar mengerjap. "Kritis?" Melihat raut bingung kedua balita itu, Victor akhirnya tersenyum. "Oke, mari berhenti buang-buang waktu." Ia memajukan badan hingga kedua sikunya mencapai ujung sandaran tangan yang terbuat dari kayu. "Kalau kalian bukan anak-anak biasa, kalian pasti mengerti apa tujuanku sebenarnya." Si Kembar saling lirik. "Ya, kau menangkap kami agar bisa mengancam Papa." Victor mengangguk. "Dan kalian tidak takut?" Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. Lengkung bibir Victor seketika berubah menjadi seringai. "Bagus. Kalau begitu, mari kita buktikan." Pria itu mengeluarkan ponsel lalu menghubungi seseorang. Mode pengeras suara diaktifkan. "Halo, Frank Harper." Suara dengusan menyambut. "Di mana anak-anakku?" Mengenali suara itu, mata si Kembar membulat. Mulut mereka terbuka lebar. "Papa?" Tanpa terduga, dua balita itu turun dari kursi lalu menyandarkan diri pada lutut musuh mereka. Dagu mereka hampir menyentuh ponsel Victor. "Papa? Papa sedang di mana? Ken
Bibir Emily mulai gemetar. Sekuat apa pun ia menahannya, ia tetap gagal. "Yang ingin kamu lakukan itu adalah kejahatan, Tuan Moore. Apakah kamu tidak takut ditangkap polisi? Kalau kamu dipenjara, reputasimu bisa rusak selamanya." Louis pun sama. Kantong matanya agak memerah dan menebal. "Belum terlambat untuk kamu sadar sekarang, Tuan Moore. Berubahlah. Kembalikan kami kepada Papa. Lagi pula, tidak ada gunanya kamu membalas dendam." Victor tiba-tiba menjatuhkan kepalan tangan pada sandaran tangan yang terbuat dari papan. Si Kembar tersentak mendengar bunyinya. "Ini keputusan akhirku. Penuhi tawaran tadi atau kau kehilangan salah satu dari anakmu." Tanpa basa-basi lagi, Victor mengakhiri panggilan. Matanya kini meruncing ke arah si Kembar. "Dan kalian ... diskusikan siapa yang akan dikorbankan. Satu jam lagi, aku akan meminta hasilnya. Lalu satu jam kemudian, kalau ayah kalian belum juga menjalankan perintahku, bersiap-siaplah untuk berpisah." Si Kembar memperhatikan langkah Victo
Turner berdiri di depan pintu dengan tatapan kosong. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Mengapa dulu ia memutuskan untuk mendedikasikan diri kepada keluarga Moore? "Kalau saja dulu aku melamar di perusahaan lain, hidupku tidak akan serumit ini." Turner mendesah pasrah. Pundaknya terkulai lemas. Namun, ketika telinganya menangkap suara roda troli, punggungnya kembali tegak. Matanya terbelalak melihat betapa banyak makanan tersusun di sana. "Apa ini?" "Permisi, Tuan. Kami datang mengantarkan pesanan untuk Supersuite 5." "Supersuite 5?" Turner menoleh ke belakang. Ia tidak salah ingat ataupun salah dengar. "Saya tidak memesan apa-apa." "Makanan ini dipesan atas nama Louis dan Emily." "Louis dan Emily?" Suara Turner menanjak. "Bagaimana bisa?" "Mereka menelepon kami, Tuan. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah tamu istimewa Tuan Moore. Awalnya kami sempat ragu. Tapi setelah memeriksa daftar, ternyata Tuan Moore memang sengaja mengosongkan Supersuite 5 untuk tamu spesial." Sa
"Tunggu dulu!" Louis mengerutkan alis. "Kau tidak boleh curang, Tuan Moore. Kau meminta kami untuk berdiskusi. Jadi, kamilah yang berhak menentukan siapa yang harus berkorban, bukan kamu ataupun Nyonya Moore." Sementara pasangan Moore menyimak, Louis menggamit tangan sang adik. "Jangan takut, Emily. Aku tidak akan membiarkan mereka melemparmu ke laut." Sedetik kemudian, Louis kembali menatap Victor. "Aku sudah memutuskan. Akulah yang harus berkorban lebih dulu." "Louis, kenapa kamu berkata begitu?" Emily mengguncang tangan sang kakak. "Tidak apa-apa, Emily. Aku jauh lebih kuat daripada kamu. Kemungkinan aku bertahan di laut lebih besar dibandingkan dirimu. Ingat, aku sudah bisa berenang." "Tapi, bagaimana kalau kamu tidak bisa bertahan? Aku tidak mau kamu mati, apalagi demi menyelamatkan aku. Kalau itu terjadi, aku pasti akan sangat menyesal dan merasa kesepian. Aku tidak akan bisa tidur setiap malam dan aku tidak bisa berhenti menangis sepanjang hari." Akan tetapi, Louis tetap p
Sambil bergandengan tangan, si Kembar terus berlari. Mereka tertawa-tawa karena berhasil mengelabui musuh. "Kau lihat wajah Turner tadi? Kalau dia adalah tokoh kartun, pasti sudah ada burung-burung terbang mengelilingi kepalanya," tutur Emily sambil terengah-engah. "Ya! Dia sangat kocak. Kurasa dia akan dimarahi habis-habisan oleh Tuan Moore setelah bangun nanti. Oh, Emily, lihat!" Louis menghentikan langkah dan menunjuk pintu besar yang terbuka lebar, beberapa meter di depan mereka. Mata Emily seketika berbinar. "Itu pintu menuju ruang makan, kan?" "Benar. Ayo ke sana, Emily!" Louis kembali menarik tangan sang adik. Akan tetapi, selang beberapa langkah, Emily menahan lengannya. "Tunggu, Louis! Lihat, ternyata ada penjaganya." Louis berkedip-kedip, berpikir. Tepat saat itu pula, dua orang yang tampak seperti pasangan muda muncul dari tangga. "Emily, aku punya ide." Louis berbisik lalu mengajak Emily menghampiri mereka. "Permisi, Tuan dan Nyonya. Bolehkah kami meminta bantuan An
Emily terkesiap saat menyadari kehadiran musuh. Tanpa berpikir panjang, ia membenamkan diri di jok. Ia tidak peduli jika wajah Louis sudah keluar dari frame. Yang penting adalah menjadi lebih waspada. "Mama, nanti kita sambung lagi. Aku dan Louis harus mengurus sesuatu." Belum sempat Kara menjawab, panggilan sudah diputus. Hal itu menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa dalam hatinya. "Apakah terjadi sesuatu? Mereka kelihatan takut sekali," desah Kara seraya mendekap ponselnya ke dada. Ava memegangi pundak Kara. "Saya rasa Anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Louis dan Emily bisa bertahan sejauh ini dan tadi, mereka terlihat baik-baik saja. Mereka pasti bisa bertahan." Kara mendesah samar. Dalam hati, ia mengamini perkataan Ava. Sementara itu, di kapal pesiar, Victor mengutuk kelakuan balita yang berani menyentuh mobil kesayangannya. Tatapannya runcing, seakan tahu di mana posisi kepala Louis berada. Wajahnya memerah, menahan panasnya kepulan emosi dalam dada. "Kosongkan area!"
Napas Emily tersekat. Ketakutan seperti telah merampas udara dari paru-parunya. "Lalu? Apakah itu artinya ... peluru itu bisa menembus masuk?" Pita suaranya terjepit keras. Louis ikut mengerutkan alis. "Aku tidak tahu, Emily. Mari kita berdoa saja supaya mobil ini lebih kuat daripada itu." Tiba-tiba, pria yang memegang senapan mulai membidik. "Semuanya menyingkir!" Para penumpang kapal tidak berani lagi mengintip. Mereka berlari sejauh mungkin ke sisi lain dari kapal, berteriak dan memekik. Beberapa orang bahkan mulai menangis. "Louis? Apa yang harus kita lakukan?" Suara Emily semakin mendekati langit. "Eng, menghindar?" Louis memeriksa sekeliling. Ada cukup ruang untuk mobil berputar-putar. Pertanyaannya, apakah dia sanggup mengemudi lebih cepat? Victor pun bergerak mundur ke arah pintu. Ia tidak mau mengambil risiko jika ada peluru yang terpantul. Setibanya pada jarak aman, ia melepas perintah. "Tembak!" Tepat sebelum peluru berdesing, Louis menginjak pedal. Mobil pun berbelo
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum