Hai hai! Menuju pertempuran yang sebenarnya nih. Menurut kalian, apa yang bakal dilakukan si Kembar? Btw, siapa yang kemarin baca Cinta CEO dalam Jebakan? Terima kasih ya untuk yang udah mampir. Views-nya tembus 100k di GN, dan ada yang kasih gems juga. Pixie doakan semoga rejeki kalian semakin lancar dan sehat-sehat selalu yaaa.
Emily terkesiap saat menyadari kehadiran musuh. Tanpa berpikir panjang, ia membenamkan diri di jok. Ia tidak peduli jika wajah Louis sudah keluar dari frame. Yang penting adalah menjadi lebih waspada. "Mama, nanti kita sambung lagi. Aku dan Louis harus mengurus sesuatu." Belum sempat Kara menjawab, panggilan sudah diputus. Hal itu menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa dalam hatinya. "Apakah terjadi sesuatu? Mereka kelihatan takut sekali," desah Kara seraya mendekap ponselnya ke dada. Ava memegangi pundak Kara. "Saya rasa Anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Louis dan Emily bisa bertahan sejauh ini dan tadi, mereka terlihat baik-baik saja. Mereka pasti bisa bertahan." Kara mendesah samar. Dalam hati, ia mengamini perkataan Ava. Sementara itu, di kapal pesiar, Victor mengutuk kelakuan balita yang berani menyentuh mobil kesayangannya. Tatapannya runcing, seakan tahu di mana posisi kepala Louis berada. Wajahnya memerah, menahan panasnya kepulan emosi dalam dada. "Kosongkan area!"
Napas Emily tersekat. Ketakutan seperti telah merampas udara dari paru-parunya. "Lalu? Apakah itu artinya ... peluru itu bisa menembus masuk?" Pita suaranya terjepit keras. Louis ikut mengerutkan alis. "Aku tidak tahu, Emily. Mari kita berdoa saja supaya mobil ini lebih kuat daripada itu." Tiba-tiba, pria yang memegang senapan mulai membidik. "Semuanya menyingkir!" Para penumpang kapal tidak berani lagi mengintip. Mereka berlari sejauh mungkin ke sisi lain dari kapal, berteriak dan memekik. Beberapa orang bahkan mulai menangis. "Louis? Apa yang harus kita lakukan?" Suara Emily semakin mendekati langit. "Eng, menghindar?" Louis memeriksa sekeliling. Ada cukup ruang untuk mobil berputar-putar. Pertanyaannya, apakah dia sanggup mengemudi lebih cepat? Victor pun bergerak mundur ke arah pintu. Ia tidak mau mengambil risiko jika ada peluru yang terpantul. Setibanya pada jarak aman, ia melepas perintah. "Tembak!" Tepat sebelum peluru berdesing, Louis menginjak pedal. Mobil pun berbelo
"Louis!" Frank spontan melepaskan tawanannya dan melompat menyelamatkan sang putra. Ia berhasil mengamankan Louis dalam dekapan. Namun, saat mereka berdua mendarat di lantai, balita itu mengerang. "Aaargh! Aaargh ...!" Mata Louis terpejam erat. Tangannya menyilang di depan dada. Melihat wajahnya mengernyit seolah menahan sakit, jantung Frank berdegup tak karuan. "Louis?" "Apakah Louis terluka?" Suara Emily menyentak akal sehat Frank. Ia mengerjap, lalu bergegas membaringkan sang putra di lantai. "Louis, bagian mana yang sakit?" Louis tidak menjawab. Ia terus mengerang dan mendekap tubuhnya sendiri. Frank pun memeriksa sang putra. Tidak menemukan jejak darah, kerut alis Frank berubah makna. Gadis mungil yang menautkan tangan di sampingnya juga menunjukkan ekspresi yang sama. "Apa yang salah dengan Louis, Papa?" Frank mengamati sekeliling mereka dengan cermat. Menemukan peluru kecil yang menancap pada lantai kayu di dekat mereka, ia mendesah lega, setengah tertawa. "Kamu tidak
Sementara pihak kepolisian memberi penjelasan kepada Patricia, Frank menghampiri. Tak ingin jauh dari ayah mereka, si Kembar pun mengintil. "Tidak, kalian tidak boleh membawa suamiku! Dia tidak bersalah. Apa buktinya kalau dia penjahat? Kalian jangan terhasut oleh fitnah orang." Patricia berusaha menarik lengan Victor. Namun, gerakannya dihalang oleh petugas. "Maaf, Nyonya. Surat penangkapan sudah jelas. Kalau Anda tidak sepakat dengan tuduhan, tolong ikuti prosedur hukum. Carilah pengacara terbaik untuk datang ke pengadilan nanti." "Tidak. Tidak!" Patricia meronta-ronta. Victor menghela napas menyaksikannya. "Sayang, tolong jangan mempersulit pihak kepolisian. Biarkan saja mereka membawaku. Tidak lama lagi, mereka pasti akan membebaskanku karena aku tidak terbukti bersalah. Kau tunggu saja. Mereka akan bertekuk lutut di hadapan kita." Akan tetapi, Patricia terus menggeleng. Seorang petugas wanita terpaksa menahannya. Ketika Victor menghilang dari pandangan, Patricia mengerang s
"Kenapa? Bukankah kami sudah mengabarkan kalau Philip juga selamat?" Louis mendekatkan mukanya ke kamera, menunjukkan keseriusannya. "Bibi tidak percaya. Dia menuduh kita berbohong agar dia bisa tenang," Kara mengedikkan pundak."Dia masih menangis?" Frank akhirnya ikut bicara. Kara mengangguk. "Padahal, air matanya sudah kering. Tapi dia masih tersedu-sedu." Bibir Emily mengerucut. "Kenapa Bibi cengeng sekali? Apakah dia tidak malu kepadaku? Aku saja tidak menangis." "Kamu tidak boleh sombong, Emily. Kasusmu dan Bibi itu berbeda. Mama, di mana Bibi sekarang? Aku mau bicara dengannya." "Tunggu sebentar." Saat wajah sembap Barbara terlihat, si Kembar melambaikan tangan. "Halo, Bibi." Barbara memalingkan muka. "Sudah kubilang, aku tidak mau dihibur oleh siapa pun. Aku hanya mau Philip." "Bibi yakin tidak mau dihibur oleh kami? Padahal, kami punya sesuatu yang spesial untuk Bibi." Sedetik kemudian, Louis menyikut lengan Frank. "Papa, cepat ganti ke kamera belakang." Mendengar itu
Tawa Frank kembali mengudara. Sambil mundur selangkah, ia bergumam, "Kemarilah, Anak-Anak." Sejurus kemudian, ia menggendong si Kembar. Kara dengan senang hati membungkus mereka dengan lengannya. "Oh, Mama. Aku terjepit!" Emily terkikik. "Tapi aku suka dijepit begini." Ia menarik leher kedua orang tuanya lebih erat. Sementara itu, Louis merentangkan tangan ke atas. "Woohoo! Aku senang kita kembali bersatu! Kuharap kita tidak akan pernah terpisah lagi. Apalagi nanti, kalau Adik Kecil sudah lahir." Dari kejauhan, Ava menyaksikan keharmonisan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya tanpa sadar mengepal di depan dada. Pundaknya sesekali naik lebih tinggi, mengimbangi harapan yang kembang-kempis dalam paru-parunya. "Kau memang suka memperhatikan orang, hmm?" Suara itu sontak membuyarkan lamunan Ava. Namun, mengetahui Jeremy telah berdiri di sampingnya, keterkejutannya berubah menjadi kecanggungan. "Sejak kapan kau di sini?" Ava mendatarkan ekspresi dan nada bicara. Jeremy mengedikka
"Saat itu, kami belum tahu kalau kamu ternyata berpacaran dengan Paman Jeremy. Sekarang karena kami sudah tahu, kami harus memanggilmu Bibi. Benar begitu, Louis?" Louis mengangguk mantap. "Ya! Sama seperti kami memanggil Philip Paman. Meskipun terkadang kami sering lupa, kami harus mulai berlatih sebelum dia dan Bibi Barbara menikah." Ava ternganga lebar. Frank dan Kara mengulum senyum memperhatikan gerak-geriknya. Apalagi, Jeremy mengusap tengkuk, salah tingkah. "Apa yang kalian bicarakan? Aku dan Ava tidak berpacaran." "Tapi Paman Jeremy memegang tangan Ava tadi. Kalian berdua seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Seperti Brandon dan pacarnya dulu!" Mendengar itu, pipi Ava memerah. Jeremy pun berdeham, membersihkan tenggorokannya. "Jangan mengada-ada, Kembar. Kami hanya berteman." "Tidak berteman juga tidak apa-apa. Maksudku bukan bermusuhan, tapi berpacaran. Ava orang yang baik, Paman," Louis mengangguk-angguk meyakinkan. Emily menirunya. "Dan dia juga cantik dan s
Namun, setelah beberapa kedipan, Ava menyusul. Jeremy tiba lebih dulu di depan pintu. "Hei, kau tidak menganggap serius omongan ibumu tadi, kan?" Ava menahan tangan Jeremy agar tidak mendorong pintu lebih lebar.Jeremy mengangkat alis. "Tentang aku harus bertanggung jawab terhadapmu?" "Tentang kau harus meminta maaf kepada ibuku. Kau tahu? Itu tidak perlu. Lagi pula, ibuku tidak akan tahu. Sekarang pergilah ke kamarmu."Jeremy mengerutkan mulut. "Tapi aku tetap ingin menyapa ibumu. Si Kembar bilang, ibumu harus lebih sering diajak ngobrol." Ia mendorong pintu dan melangkah masuk. "Hei," Ava meringis risih, "sudah kubilang, tidak perlu. Kita ini bukan siapa-siapa, oke? Kau dan aku hanya teman. Kita hanya perlu memedulikan ibu masing-masing." Langkah Jeremy memang tertahan, tetapi mulutnya tidak menjawab. Matanya melebar dan telunjuknya terangkat menuju ranjang. "Ava? Ibumu ...." "Apa?" Ava menoleh dengan wajah yang masih berkerut. Namun, ketika ia melihat sang ibu, ia terkesiap."I