Hai, hai! Siapa yang suka sama bab ini? Yuk kasih komentar atau gems. Btw, buat yang udah ikutin media sosial pixielifeagency, makasih yaa. Pixie rencananya pengen update quotes cerita ini. Kalau kalian punya quotes favorit atau yang membekas di hati kalian, jangan ragu untuk kasih tau Pixie. Nanti Pixie buatin postingan-nya. Terima kasiiiih
Sementara pihak kepolisian memberi penjelasan kepada Patricia, Frank menghampiri. Tak ingin jauh dari ayah mereka, si Kembar pun mengintil. "Tidak, kalian tidak boleh membawa suamiku! Dia tidak bersalah. Apa buktinya kalau dia penjahat? Kalian jangan terhasut oleh fitnah orang." Patricia berusaha menarik lengan Victor. Namun, gerakannya dihalang oleh petugas. "Maaf, Nyonya. Surat penangkapan sudah jelas. Kalau Anda tidak sepakat dengan tuduhan, tolong ikuti prosedur hukum. Carilah pengacara terbaik untuk datang ke pengadilan nanti." "Tidak. Tidak!" Patricia meronta-ronta. Victor menghela napas menyaksikannya. "Sayang, tolong jangan mempersulit pihak kepolisian. Biarkan saja mereka membawaku. Tidak lama lagi, mereka pasti akan membebaskanku karena aku tidak terbukti bersalah. Kau tunggu saja. Mereka akan bertekuk lutut di hadapan kita." Akan tetapi, Patricia terus menggeleng. Seorang petugas wanita terpaksa menahannya. Ketika Victor menghilang dari pandangan, Patricia mengerang s
"Kenapa? Bukankah kami sudah mengabarkan kalau Philip juga selamat?" Louis mendekatkan mukanya ke kamera, menunjukkan keseriusannya. "Bibi tidak percaya. Dia menuduh kita berbohong agar dia bisa tenang," Kara mengedikkan pundak."Dia masih menangis?" Frank akhirnya ikut bicara. Kara mengangguk. "Padahal, air matanya sudah kering. Tapi dia masih tersedu-sedu." Bibir Emily mengerucut. "Kenapa Bibi cengeng sekali? Apakah dia tidak malu kepadaku? Aku saja tidak menangis." "Kamu tidak boleh sombong, Emily. Kasusmu dan Bibi itu berbeda. Mama, di mana Bibi sekarang? Aku mau bicara dengannya." "Tunggu sebentar." Saat wajah sembap Barbara terlihat, si Kembar melambaikan tangan. "Halo, Bibi." Barbara memalingkan muka. "Sudah kubilang, aku tidak mau dihibur oleh siapa pun. Aku hanya mau Philip." "Bibi yakin tidak mau dihibur oleh kami? Padahal, kami punya sesuatu yang spesial untuk Bibi." Sedetik kemudian, Louis menyikut lengan Frank. "Papa, cepat ganti ke kamera belakang." Mendengar itu
Tawa Frank kembali mengudara. Sambil mundur selangkah, ia bergumam, "Kemarilah, Anak-Anak." Sejurus kemudian, ia menggendong si Kembar. Kara dengan senang hati membungkus mereka dengan lengannya. "Oh, Mama. Aku terjepit!" Emily terkikik. "Tapi aku suka dijepit begini." Ia menarik leher kedua orang tuanya lebih erat. Sementara itu, Louis merentangkan tangan ke atas. "Woohoo! Aku senang kita kembali bersatu! Kuharap kita tidak akan pernah terpisah lagi. Apalagi nanti, kalau Adik Kecil sudah lahir." Dari kejauhan, Ava menyaksikan keharmonisan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya tanpa sadar mengepal di depan dada. Pundaknya sesekali naik lebih tinggi, mengimbangi harapan yang kembang-kempis dalam paru-parunya. "Kau memang suka memperhatikan orang, hmm?" Suara itu sontak membuyarkan lamunan Ava. Namun, mengetahui Jeremy telah berdiri di sampingnya, keterkejutannya berubah menjadi kecanggungan. "Sejak kapan kau di sini?" Ava mendatarkan ekspresi dan nada bicara. Jeremy mengedikka
"Saat itu, kami belum tahu kalau kamu ternyata berpacaran dengan Paman Jeremy. Sekarang karena kami sudah tahu, kami harus memanggilmu Bibi. Benar begitu, Louis?" Louis mengangguk mantap. "Ya! Sama seperti kami memanggil Philip Paman. Meskipun terkadang kami sering lupa, kami harus mulai berlatih sebelum dia dan Bibi Barbara menikah." Ava ternganga lebar. Frank dan Kara mengulum senyum memperhatikan gerak-geriknya. Apalagi, Jeremy mengusap tengkuk, salah tingkah. "Apa yang kalian bicarakan? Aku dan Ava tidak berpacaran." "Tapi Paman Jeremy memegang tangan Ava tadi. Kalian berdua seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Seperti Brandon dan pacarnya dulu!" Mendengar itu, pipi Ava memerah. Jeremy pun berdeham, membersihkan tenggorokannya. "Jangan mengada-ada, Kembar. Kami hanya berteman." "Tidak berteman juga tidak apa-apa. Maksudku bukan bermusuhan, tapi berpacaran. Ava orang yang baik, Paman," Louis mengangguk-angguk meyakinkan. Emily menirunya. "Dan dia juga cantik dan s
Namun, setelah beberapa kedipan, Ava menyusul. Jeremy tiba lebih dulu di depan pintu. "Hei, kau tidak menganggap serius omongan ibumu tadi, kan?" Ava menahan tangan Jeremy agar tidak mendorong pintu lebih lebar.Jeremy mengangkat alis. "Tentang aku harus bertanggung jawab terhadapmu?" "Tentang kau harus meminta maaf kepada ibuku. Kau tahu? Itu tidak perlu. Lagi pula, ibuku tidak akan tahu. Sekarang pergilah ke kamarmu."Jeremy mengerutkan mulut. "Tapi aku tetap ingin menyapa ibumu. Si Kembar bilang, ibumu harus lebih sering diajak ngobrol." Ia mendorong pintu dan melangkah masuk. "Hei," Ava meringis risih, "sudah kubilang, tidak perlu. Kita ini bukan siapa-siapa, oke? Kau dan aku hanya teman. Kita hanya perlu memedulikan ibu masing-masing." Langkah Jeremy memang tertahan, tetapi mulutnya tidak menjawab. Matanya melebar dan telunjuknya terangkat menuju ranjang. "Ava? Ibumu ...." "Apa?" Ava menoleh dengan wajah yang masih berkerut. Namun, ketika ia melihat sang ibu, ia terkesiap."I
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Ava melangkah masuk sambil menahan senyum. Jeremy menoleh dengan raut serius. "Ibumu bertanya apakah aku punya anak atau tidak. Dia bilang pernah mendengar suara anak-anak sewaktu koma. Padahal, tidak ada anak kecil di sini." Mendengar nada horor itu, Ava gagal mengendalikan kegeliannya. "Oh, itu pasti Louis dan Emily." Ia menutupi mulut dengan sebelah tangan. "Louis dan Emily?" Jeremy berkedip-kedip. Mengingat bahwa keponakannya itu pernah mengunjungi Nyonya Connor beberapa kali, ia mendesah tak percaya. "Astaga, aku lupa kalau ada mereka." Ia menertawakan kebodohannya sendiri. Sementara itu, Ava berjalan menuju sisi ranjang yang lain. Tatapannya terhadap sang ibu sudah kembali normal—tanpa kesedihan ataupun kekecewaan. "Apakah yang Ibu dengar itu seperti nyanyian?" Nyonya Connor mengangguk samar. Sambil tersenyum simpul, Ava melirik Jeremy. "Pada malam tahun baru, mereka bernyanyi untuk menghibur ibuku." Ava menggeser pandangan kembali ke N
"Nyonya Connor, Nyonya Connor!" Si Kembar menebar keceriaan di sepanjang jalan yang mereka lewati. Setibanya di kamar sang wanita, mereka melompat-lompat kegirangan. Tangan mereka melambai dengan penuh semangat."Halo, Nyonya Connor. Perkenalkan, aku Louis." "Dan aku Emily. Kami kembar fraternal. Louis lahir lebih dulu dariku." "Kami senang kamu akhirnya bangun!" seru dua balita itu bersamaan. Melihat semangat dua balita itu, Ava tersenyum manis. Apalagi, sang ibu akhirnya menampakkan cahaya di matanya. "Kalian yang bernyanyi waktu itu?" Si Kembar mendadak diam. Dengan senyum beku, mereka berkedip-kedip mencerna suara yang terlalu kecil itu. "Apa yang baru saja Nyonya Connor katakan?" Louis melirik sang adik. Emily mengangkat pundaknya samar, takut menyinggung wanita itu. "Aku tidak tahu." Ava pun bangkit dari kursinya. "Kalian tidak akan bisa mendengarkan ibuku dari situ. Ayo kemarilah." Ia mengulurkan tangan. "Kalian bisa mengobrol dengan ibuku dari dekat." Wajah si Kembar
"Kau tidak perlu membayarku, Eva. Ibu juga ibuku. Sudah menjadi kewajibanku untuk menjaganya," ujar Ava sepelan mungkin.Akan tetapi, Eva mengibaskan tangan di depan tawa sok anggunnya. "Sudah, tidak perlu malu. Aku tahu kau butuh. Terima saja, hmm? Atau, kau boleh menganggapmya uang saku dariku. Aku mendapat rejeki lebih akhir tahun kemarin. Butikku laris manis." Ava semakin tidak berani menegakkan kepala. Beban dalam hatinya seakan telah membebani dagu. Deru napasnya pun mulai mengguncang pundak. "Lalu ini," Eva menyerahkan kantong lain yang berukuran lebih kecil. "Kau tidak berpikir aku melupakan hari ulang tahunmu, kan?"Eva melebarkan senyum lalu mendekap Ava. "Selamat ulang tahun, Kakak. Maaf aku terlambat satu hari."Mendengar itu, leher Louis memanjang. "Kemarin Ava berulang tahun? Kenapa dia tidak memberi tahu kita?" "Dan kenapa Paman Jeremy juga merahasiakannya?" Emily mengernyitkan dahi.Rasa bersalah seketika menghantui Jeremy. Ia telah melewatkan hari spesial Ava dan ba