Kalau kalian punya adik macam Eva, kalian apain, guys?
"Kau tidak perlu membayarku, Eva. Ibu juga ibuku. Sudah menjadi kewajibanku untuk menjaganya," ujar Ava sepelan mungkin.Akan tetapi, Eva mengibaskan tangan di depan tawa sok anggunnya. "Sudah, tidak perlu malu. Aku tahu kau butuh. Terima saja, hmm? Atau, kau boleh menganggapmya uang saku dariku. Aku mendapat rejeki lebih akhir tahun kemarin. Butikku laris manis." Ava semakin tidak berani menegakkan kepala. Beban dalam hatinya seakan telah membebani dagu. Deru napasnya pun mulai mengguncang pundak. "Lalu ini," Eva menyerahkan kantong lain yang berukuran lebih kecil. "Kau tidak berpikir aku melupakan hari ulang tahunmu, kan?"Eva melebarkan senyum lalu mendekap Ava. "Selamat ulang tahun, Kakak. Maaf aku terlambat satu hari."Mendengar itu, leher Louis memanjang. "Kemarin Ava berulang tahun? Kenapa dia tidak memberi tahu kita?" "Dan kenapa Paman Jeremy juga merahasiakannya?" Emily mengernyitkan dahi.Rasa bersalah seketika menghantui Jeremy. Ia telah melewatkan hari spesial Ava dan ba
"Apakah kau ...." Jeremy tertunduk. Suaranya agak ragu. "Baik-baik saja?" Napas Ava sontak tertahan. Getaran aneh menggelitik hatinya. "Ya. Ada apa?" Jeremy mengangguk kaku. "Baguslah. Kukira kau akan menangis setelah dipermalukan oleh adikmu." Ava tersenyum kecut meski hatinya sedikit tersentuh. "Kau akan malu jika berada di posisiku?" "Ya, tapi bukan tentang apa yang dikatakan oleh adikmu." Ava menyipitkan mata. "Maksudmu?" "Meskipun yang dikatakan Eva benar—kau suka berhemat, tidak mau menghamburkan uang, tidak suka berpesta—kau tidak perlu malu. Itu sikap yang wajar. Dulu aku juga begitu." "Lalu, apakah karena barang-barang yang dibawanya?" Ava melirik tas belanjaan di atas kursi. "Kau malu jika menerima baju bekas di depan orang-orang?"Jeremy menggeleng. "Sewaktu di panti, aku juga sering menerima pakaian bekas seperti itu. Kalau modelnya bagus, aku menjadikannya kebanggaanku. Aku bahkan berani memakainya untuk menghadiri pesta. Jadi, itu hal yang wajar." Ava melipat tang
Mata Eva berbinar saat melihat menu yang tersaji di meja makan. Padahal, ia sudah sering pergi ke restoran bersama pria-pria yang dikencaninya. Namun, hidangan yang mereka pesan belum pernah semewah ini. "Wah, saya merasa tersanjung sekali. Saya hanya datang untuk menjenguk Ibu saya. Saya sama sekali tidak menduga Anda menyambut saya dengan makan malam istimewa ini." Orang-orang di sekelilingnya sontak bertukar pandang. Bahkan mata si Kembar membulat maksimal. Hanya Ava yang tak berani menegakkan kepala. Ia fokus menyiapkan makanan untuk sang ibu yang duduk di sampingnya. "Makan malam ini bukan untuk menyambutmu, Eva," celetuk Louis tanpa terduga. "Ini untuk menyambut Nyonya Connor." Beberapa orang sontak mengulum senyum. Mereka berpikir Eva memang pantas mendapat kata-kata tersebut. Kalau Barbara ada di sana, ia pasti sudah meloloskan tawa dan berbisik-bisik dengan Philip. "Louis, kenapa kamu bicara begitu?" tegur Kara lembut. "Eva kan putri dari Nyonya Connor. Jika kita menyamb
Satu per satu mulai menghampiri Ava, memberinya ucapan selamat dan doa. Mulai dari si Kembar, Kara, Vivian. Tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat membawa hadiah. Akan tetapi, rasa iri tetap meradang dalam hati Eva. "Selamat ulang tahun, Ava. Kuharap kau selalu mendapatkan yang terbaik." Jeremy adalah orang terakhir yang menyalami Ava, sebelum Eva. Gayanya kaku, senyumnya canggung. Meski demikian, Ava menghargai itu. "Terima kasih ..., Tuan Jeremy." Bibirnya melengkung malu-malu. Setelah Jeremy mundur, Eva melangkah maju. Ia memeluk saudaranya, memasang raut ceria. "Meskipun aku sudah mengucapkan selamat tadi, kurasa tidak ada salahnya kuulangi. Happy birthday, Kakak. Kau beruntung sekali bisa mengenal keluarga ini. Tanpa mereka, kau pasti tidak akan merayakan ulang tahunmu." Ava mendesah samar. Kata-kata sang adik tidak berpengaruh lagi padanya. "Terima kasih, Eva." "Sama-sama, Kakak." Eva terus menjaga senyum sampai ia kembali ke kursinya. "Jadi, apa acara setelah ini? Po
"Wow ..." desah Ava tanpa sadar. Meski suara Ava amat tipis, telinga Jeremy menangkapnya. Sudut bibir pria itu bergerak naik sekilas. "Kau suka?" Ava mengangkat sorot matanya yang penuh keharuan. "Ya, ini ... sangat indah. Terima kasih, Jeremy. Tuan Jeremy," koreksinya sigap. Jeremy sebisa mungkin menahan senyum dan mengangguk. "Ava," suara manis Emily tiba-tiba terdengar memelas, "bisakah kau menunjukkan gaun itu kepada kami? Aku penasaran dengan model yang dipilih Paman. Sepertinya sangat cantik." "Ya, Ava. Perlihatkan kepada kami!" Louis mengangguk-angguk dengan mata bulat. Ava pun meletakkan kotak di atas kursi. Selang beberapa saat, sebuah evening dress berwarna lilac terbentang. Modelnya simpel, tetapi terkesan elegan. Apalagi, ketika benang emas yang menghiasinya memantulkan cahaya, semua mata tidak berkedip melihatnya. "Paman, bukankah itu gaun limited edition? Dia bersanding dengan gaun rancanganku di most anticipated fashion of the new year!" Louis mengerjap, menoleh
"A-apa maksudmu? Kenapa kau berkata begitu?" Suara Ava serak. Kerongkongannya terasa gersang. Tiba-tiba, telunjuk Eva menusuk pundaknya. "Kalau kau tidak kembali, Papi dan Mami hanya akan menyayangiku. Akulah putri mereka satu-satunya. Aku tidak akan berada di bawah bayang-bayang siapa pun.""Kau sadar apa yang kau ucapkan itu?" Suara Ava semakin goyah. Bibirnya gemetar hebat. Matanya sampai memerah meredam ledakan emosi dalam dada. "Ya, aku sadar betul. Aku sudah menahan ini sejak dulu. Mengapa kau tidak mati saja saat diculik? Mengapa kau malah kembali di saat aku sudah nyaman dengan keluarga baruku? Heh? Mengapa?" Tanpa terduga, sebuah tamparan mendarat di pipi Eva. Gadis itu terkesiap. Ia sama sekali tidak menduga seorang Ava yang selalu tunduk bisa berbalik menyerangnya. "Kau sudah keterlaluan, Eva. Selama ini, aku sudah sangat sabar menghadapimu. Kau pikir tidak sulit menjadi diriku?" Nada bicara Ava ikut naik walaupun volumenya masih terkendali. "Aku sudah berjuang mati-ma
Melihat layar ponsel Frank, Kara ikut terbelalak. "Bukankah di sana sudah larut malam?" Louis berkedip-kedip sambil mengunyah makanannya. "Siapa yang menelepon, Mama?" tanyanya dengan mulut penuh. "Nenek Diana," sahut Frank sebelum mengangkat telepon. "Halo?" "Frank!" Frank spontan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Ada apa, Nek? Kenapa berteriak begitu?" "Mengapa kalian tidak mengabari apa pun kepadaku? Pantas saja aku tidak bisa tidur dua malam ini. Aku sedang belajar menggunakan internet tadi. Tiba-tiba, artikel tentang kalian bermunculan." "Tenang, Nek. Jangan panik dulu. Semuanya sudah terkendali. Anak-Anak baik-baik saja. Saat ini, mereka sedang makan dengan lahap." "Mana mereka?" Frank menghidupkan mode pengeras suara. "Anak-Anak, Nenek ingin bicara dengan kalian." Louis cepat-cepat menelan makanan di mulutnya. "Nenek!" Emily yang masih mengunyah hanya bisa melambaikan tangan. "Louis, bagaimana keadaanmu, Sayang? Kau baik-baik saja?" "Aku baik-baik saja, Nek. Nenek
"Ava, apakah adikmu sudah sampai di rumah?" Ava yang baru saja menyelimuti sang ibu pun bergeming. Selang satu tarikan napas, ia mengusahakan senyuman. "Kurasa Ibu mendengar semuanya tadi. Ibu pasti tahu kalau kami bertengkar lagi." "Meskipun begitu, tidak bisakah kamu tetap memperhatikannya? Dia adikmu. Tanyai dia apakah dia sudah sampai atau belum." Lengkung bibir Ava terasa getir. "Dia tidak mungkin mengangkat teleponku." "Kalau begitu, lewat chat saja. Katakan kalau ibu mengkhawatirkannya." Ava tak punya pilihan lain. Lagi-lagi, ia harus mengalah. Namun, mendapati nomor sang adik tidak aktif, kekesalannya berubah menjadi heran. Eva tidak pernah mematikan ponselnya dalam kondisi apa pun. "Bagaimana, Ava?" Usai perenungan singkat, Ava memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Dia sudah sampai di rumah. Dia tahu ibu bertanya. Jadi dia langsung menjawab dan mematikan teleponku." Nyonya Connor mengangguk samar. "Kalau begitu, aku bisa tidur sekarang." Melihat sang ibu terpejam tanp