Satu per satu mulai menghampiri Ava, memberinya ucapan selamat dan doa. Mulai dari si Kembar, Kara, Vivian. Tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat membawa hadiah. Akan tetapi, rasa iri tetap meradang dalam hati Eva. "Selamat ulang tahun, Ava. Kuharap kau selalu mendapatkan yang terbaik." Jeremy adalah orang terakhir yang menyalami Ava, sebelum Eva. Gayanya kaku, senyumnya canggung. Meski demikian, Ava menghargai itu. "Terima kasih ..., Tuan Jeremy." Bibirnya melengkung malu-malu. Setelah Jeremy mundur, Eva melangkah maju. Ia memeluk saudaranya, memasang raut ceria. "Meskipun aku sudah mengucapkan selamat tadi, kurasa tidak ada salahnya kuulangi. Happy birthday, Kakak. Kau beruntung sekali bisa mengenal keluarga ini. Tanpa mereka, kau pasti tidak akan merayakan ulang tahunmu." Ava mendesah samar. Kata-kata sang adik tidak berpengaruh lagi padanya. "Terima kasih, Eva." "Sama-sama, Kakak." Eva terus menjaga senyum sampai ia kembali ke kursinya. "Jadi, apa acara setelah ini? Po
"Wow ..." desah Ava tanpa sadar. Meski suara Ava amat tipis, telinga Jeremy menangkapnya. Sudut bibir pria itu bergerak naik sekilas. "Kau suka?" Ava mengangkat sorot matanya yang penuh keharuan. "Ya, ini ... sangat indah. Terima kasih, Jeremy. Tuan Jeremy," koreksinya sigap. Jeremy sebisa mungkin menahan senyum dan mengangguk. "Ava," suara manis Emily tiba-tiba terdengar memelas, "bisakah kau menunjukkan gaun itu kepada kami? Aku penasaran dengan model yang dipilih Paman. Sepertinya sangat cantik." "Ya, Ava. Perlihatkan kepada kami!" Louis mengangguk-angguk dengan mata bulat. Ava pun meletakkan kotak di atas kursi. Selang beberapa saat, sebuah evening dress berwarna lilac terbentang. Modelnya simpel, tetapi terkesan elegan. Apalagi, ketika benang emas yang menghiasinya memantulkan cahaya, semua mata tidak berkedip melihatnya. "Paman, bukankah itu gaun limited edition? Dia bersanding dengan gaun rancanganku di most anticipated fashion of the new year!" Louis mengerjap, menoleh
"A-apa maksudmu? Kenapa kau berkata begitu?" Suara Ava serak. Kerongkongannya terasa gersang. Tiba-tiba, telunjuk Eva menusuk pundaknya. "Kalau kau tidak kembali, Papi dan Mami hanya akan menyayangiku. Akulah putri mereka satu-satunya. Aku tidak akan berada di bawah bayang-bayang siapa pun.""Kau sadar apa yang kau ucapkan itu?" Suara Ava semakin goyah. Bibirnya gemetar hebat. Matanya sampai memerah meredam ledakan emosi dalam dada. "Ya, aku sadar betul. Aku sudah menahan ini sejak dulu. Mengapa kau tidak mati saja saat diculik? Mengapa kau malah kembali di saat aku sudah nyaman dengan keluarga baruku? Heh? Mengapa?" Tanpa terduga, sebuah tamparan mendarat di pipi Eva. Gadis itu terkesiap. Ia sama sekali tidak menduga seorang Ava yang selalu tunduk bisa berbalik menyerangnya. "Kau sudah keterlaluan, Eva. Selama ini, aku sudah sangat sabar menghadapimu. Kau pikir tidak sulit menjadi diriku?" Nada bicara Ava ikut naik walaupun volumenya masih terkendali. "Aku sudah berjuang mati-ma
Melihat layar ponsel Frank, Kara ikut terbelalak. "Bukankah di sana sudah larut malam?" Louis berkedip-kedip sambil mengunyah makanannya. "Siapa yang menelepon, Mama?" tanyanya dengan mulut penuh. "Nenek Diana," sahut Frank sebelum mengangkat telepon. "Halo?" "Frank!" Frank spontan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Ada apa, Nek? Kenapa berteriak begitu?" "Mengapa kalian tidak mengabari apa pun kepadaku? Pantas saja aku tidak bisa tidur dua malam ini. Aku sedang belajar menggunakan internet tadi. Tiba-tiba, artikel tentang kalian bermunculan." "Tenang, Nek. Jangan panik dulu. Semuanya sudah terkendali. Anak-Anak baik-baik saja. Saat ini, mereka sedang makan dengan lahap." "Mana mereka?" Frank menghidupkan mode pengeras suara. "Anak-Anak, Nenek ingin bicara dengan kalian." Louis cepat-cepat menelan makanan di mulutnya. "Nenek!" Emily yang masih mengunyah hanya bisa melambaikan tangan. "Louis, bagaimana keadaanmu, Sayang? Kau baik-baik saja?" "Aku baik-baik saja, Nek. Nenek
"Ava, apakah adikmu sudah sampai di rumah?" Ava yang baru saja menyelimuti sang ibu pun bergeming. Selang satu tarikan napas, ia mengusahakan senyuman. "Kurasa Ibu mendengar semuanya tadi. Ibu pasti tahu kalau kami bertengkar lagi." "Meskipun begitu, tidak bisakah kamu tetap memperhatikannya? Dia adikmu. Tanyai dia apakah dia sudah sampai atau belum." Lengkung bibir Ava terasa getir. "Dia tidak mungkin mengangkat teleponku." "Kalau begitu, lewat chat saja. Katakan kalau ibu mengkhawatirkannya." Ava tak punya pilihan lain. Lagi-lagi, ia harus mengalah. Namun, mendapati nomor sang adik tidak aktif, kekesalannya berubah menjadi heran. Eva tidak pernah mematikan ponselnya dalam kondisi apa pun. "Bagaimana, Ava?" Usai perenungan singkat, Ava memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Dia sudah sampai di rumah. Dia tahu ibu bertanya. Jadi dia langsung menjawab dan mematikan teleponku." Nyonya Connor mengangguk samar. "Kalau begitu, aku bisa tidur sekarang." Melihat sang ibu terpejam tanp
"Apakah kau tidak belajar dari kesalahan?" desah Ava di sela deru napasnya yang tidak beraturan. "Aku ini lemah dan tidak punya keahlian. Misi dari Sophia saja gagal kuemban. Kenapa kau masih mau memberi tugas sebesar itu kepadaku?" "Karena aku tahu kau akan belajar dari kesalahan. Kau pasti ingat kecelakaan yang kau alami beberapa waktu lalu. Keluarga Moore tidak pernah main-main, Sayang. Dengan ancaman sebesar nyawa adikmu, apakah kau masih mau gagal?" Selang satu dengus tawa, Patricia berbisik, "Tidak. Kau tidak akan mau gagal." Air mata Ava mengalir di pipi. Akan tetapi, ia tidak menyekanya. Ia tidak punya tenaga lagi. Ia terlalu lelah mengemban dilema besar dalam hati. "Kalian mau apa kali ini? Menyuruhku menyuntik Melanie dengan obat yang salah lagi?" "Oh, tidak. Aku tidak tertarik dengan wanita itu. Dia terlalu kecil. Aku butuh mangsa yang lebih besar." "Siapa? Frank Harper? Kau tahu aku bukan lawan yang sebanding dengannya. Suamimu saja gagal mengalahkannya. Aku akan terk
Entah sudah berapa lama Ava bersembunyi, ia tidak berani melihat jam. Rasanya, ia ingin menghilang dari dunia, kabur dari pilihan berat yang tidak mau diambilnya. Sayangnya, ketika ia mulai tenang, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Mau tidak mau, Ava menyeka wajah dan memeriksa. "Nyonya Melanie?" "Apakah kau sudah melupakanku? Untung saja aku ini mandiri. Aku mengambil sarapan sendiri, minum obat sendiri, dan mendengarkan rekaman audio sendiri. Apa yang kau lakukan di sini? Kau sedang sakit?" Ava menyembunyikan wajahnya dalam bayang-bayang kepala. "Maaf, Nyonya. Saya memang kurang fit hari ini. Jadi, Anda sudah mengurus semuanya?" "Ya, aku bahkan menata rambutku sendiri pagi ini. Lihat! Bukankah ini cantik?" Melanie berputar dan menunjukkan kondenya. Ava ingin tersenyum tetapi gagal. "Cantik." Melanie tertawa kecil. "Pantas saja para pelayan tidak berhenti memandangku tadi. Omong-omong ... ini!" Melanie menyodorkan sebuah kotak kecil. "Aku mengambil paket dari Barbara tadi. T
"Kau yakin dirimu baik-baik saja?" bisik Jeremy lembut. Ava cepat-cepat memalingkan muka. "Aku baik-baik saja." "Tidak. Kau tidak baik-baik saja. Wajahmu sangat pucat. Kau tampak kelelahan. Kapan terakhir kau makan?" Ava meloloskan desah samar. Sedetik kemudian, matanya mengintip sinis. "Sudah kubilang aku baik-baik saja. Kenapa kau memaksaku mengaku kalau kondisiku tidak baik-baik saja?" Jeremy tertegun. Ia mengira dirinya salah lihat. Namun, setelah berkedip, pandangannya masih sama. Mata Ava memang merah dan basah. "Apakah sesuatu terjadi padamu? Ini ada hubungannya dengan Eva?" Kepala Ava sedikit terdorong mundur. Ketika tersadar, ia cepat-cepat menautkan alis. "Kenapa kau selalu menuduh adikku? Urusan kami tidak ada hubungannya denganmu. Berhentilah ikut campur." Ava menepis tangan Jeremy dengan gerak bahu. "Sekarang lepaskan aku dan jangan menggangguku lagi. Aku sudah sangat sibuk tanpa gangguan darimu." Jeremy terpaksa menurunkan tangannya dan membiarkan Ava berlalu. Nam