"Kau yakin dirimu baik-baik saja?" bisik Jeremy lembut. Ava cepat-cepat memalingkan muka. "Aku baik-baik saja." "Tidak. Kau tidak baik-baik saja. Wajahmu sangat pucat. Kau tampak kelelahan. Kapan terakhir kau makan?" Ava meloloskan desah samar. Sedetik kemudian, matanya mengintip sinis. "Sudah kubilang aku baik-baik saja. Kenapa kau memaksaku mengaku kalau kondisiku tidak baik-baik saja?" Jeremy tertegun. Ia mengira dirinya salah lihat. Namun, setelah berkedip, pandangannya masih sama. Mata Ava memang merah dan basah. "Apakah sesuatu terjadi padamu? Ini ada hubungannya dengan Eva?" Kepala Ava sedikit terdorong mundur. Ketika tersadar, ia cepat-cepat menautkan alis. "Kenapa kau selalu menuduh adikku? Urusan kami tidak ada hubungannya denganmu. Berhentilah ikut campur." Ava menepis tangan Jeremy dengan gerak bahu. "Sekarang lepaskan aku dan jangan menggangguku lagi. Aku sudah sangat sibuk tanpa gangguan darimu." Jeremy terpaksa menurunkan tangannya dan membiarkan Ava berlalu. Nam
Ava menggeleng lemah. "Kau tidak pernah menyakitiku." "Akulah yang menyakitimu," batinnya kemudian, pedih. "Lalu kenapa? Apa yang membuatmu sedih? Katakan padaku." Suara Jeremy belum pernah selembut itu. Namun, pertahanan Ava tetap kokoh. Ia enggan membeberkan rencana jahatnya. Malu. "Tidak bisakah kau membenciku?" bisik Ava lirih, sebelum melanjutkan dalam hati. "Itu baru terasa benar bagiku." Jeremy mengerutkan alis. "Kenapa kau bertanya begitu?" "Karena aku bukan orang baik. Aku pernah menjerumuskan orang lain demi kepentinganku sendiri. Aku egois." "Kenapa kau membahas masalah Sophia lagi? Apakah seseorang menyinggung masalah itu? Dia menyebutmu tidak pantas dekat dengan aku dan keluargaku karena hal itu?" Tangan Ava terkepal. Ia tidak berani membuka mulut. "Kalau itu yang membuatmu sedih, jangan. Abaikan saja perkataannya. Dia mungkin iri terhadapmu." Jeremy salah paham, tetapi Ava memandangnya sebagai kesempatan. "Bagaimana kalau yang dia ucapkan ternyata benar? Aku me
Gerakan Jeremy begitu lembut. Ia sama sekali tidak terkesan menuntut. Ia seperti mengerti kalau Ava terlalu terkejut untuk bisa menyambut. "Bagaimana?" desah Jeremy ketika ia mengembalikan jarak. "Apakah itu sudah cukup jelas bagimu?" Ava mengerjap. Bibirnya berkedut sebentar sebelum meloloskan bisikan. "Jelas apanya?" Suaranya terpelintir. "Ini." Jeremy menyentuh bibir Ava lagi. "Aku bukan pria yang mencium semua teman." Kemudian, ia mengulang kecupan di setiap penggal kata sambil memundurkan langkah Ava menuju ranjang. "Aku ... hanya ... mencium ... teman spesial." Ava terenyak ketika kakinya tidak bisa lagi bergerak ke belakang. Kedipan matanya bertambah canggung. Pipinya menghangat. "Jadi, kau bersedia membantuku?" "Ya. Apakah bukti yang kuberikan masih belum cukup untuk menghapus kekhawatiranmu?" Jeremy menaikkan sebelah alis. Tarikan napas Ava bertambah dalam. "Masalahnya ... permintaanku ini berat. Kau bisa saja berubah pikiran dan berbalik membenciku." Tiba-tiba, Jere
Ava kesulitan membuka matanya. Ketika berhasil, dua wajah bulat berkedip-kedip mengamatinya. "Kurasa Ava sudah bangun. Aku melihat bola matanya mengintip tadi, dan ada kedipan kecil!" Emily menggambarkan gerakan itu dengan telunjuk dan ibu jari. "Tapi kelopak matanya belum terangkat, Emily. Oh? Kau benar. Dia berkedip lagi!" Louis menoleh ke belakang. "Paman, Ava sudah bangun!" Jeremy pun muncul dengan alis berkerut. "Ava? Kau bisa mendengarku?" Tangannya mengelus pundak sang gadis, lembut. Ava mengerang, "Apa yang terjadi?" "Kau dilarikan ke rumah sakit karena pingsan. Semua orang jadi panik, termasuk Paman Jeremy. Padahal, dia sedang menggantikan Philip untuk menjaga kami. Karena dia mau segera menemuimu, kami ikut. Untung saja sekolah memberi izin." Emily mengangguk-angguk mendukung omongan sang kakak. "Apakah kamu baik-baik saja, Ava?" Jemari mungilnya mengusap wajah pucat sang gadis. Ava menggeleng. "Eva ...." "Kamu tidak perlu khawatir. Dia baik-baik saja." Jeremy mengang
Sembari meringis, Ava mendongak. Mendapati wajah sangar seorang pria, rasa sakitnya langsung tertutupi oleh keterkejutan. "Jeremy?" Sambil menggertakkan geraham, pria itu membungkuk, membantu Ava berdiri. Setelah itu, tatapan lasernya menghunus si perempuan kasar. "Apa hakmu mendorong Ava seperti tadi? Dia sudah berbaik hati datang menemuimu. Kau malah mengusir? Kau ini adik yang tidak tahu berterima kasih, rupanya?" Rahang Eva berdenyut-denyut mendengar sindiran itu. "Aku bukan adiknya. Dia sendiri yang membuangku." "Setengah jam yang lalu, Ava masih berbaring di ranjang rumah sakit. Dokter bahkan belum mengizinkannya pergi. Tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia lebih mencemaskan kondisimu dibandingkan dirinya sendiri." Namun, Eva menggerak-gerakkan kepala seolah tak peduli. "Tolong jangan percaya sandiwaranya, Tuan Harper. Dia bukan gadis baik hati seperti yang kau pikir." "Begitukah?" Sambil menarik napas berat, Jeremy menoleh ke samping. "Kau seharusnya mendengarkan saranku. T
Alis Ava mendesak dahi. Ia tidak menyangka Jeremy bisa berbicara segamblang itu di depan sang ibu. "A-apa maksud Anda, Tuan? Eva bisa berkata seperti itu karena saya menumpang di rumah Anda. Dia berpikir kita akrab. Dia salah paham." Jeremy mendesah pasrah. "Aku tidak suka berpura-pura, Ava. Hubungan kita tidak perlu ditutupi lagi." Ava tercengang. Belum sempat otaknya menelurkan kata, Jeremy meraih pergelangan tangannya, mengajaknya berputar menghadap Vivian. "Bu, aku dan Ava berencana menikah." Mulut Ava terbuka semakin lebar. Bola matanya bergerak-gerak mengamati keseriusan Jeremy, keterkejutan Vivian, dan debar jantungnya sendiri. "J-Jeremy ...." Tawa Vivian lebih dulu meledak. Kebahagiaan terpancar terang dari wajahnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Kalian berencana untuk menikah?" Sementara Ava mangap-mangap, Jeremy mengangguk tegas. "Ya, Bu. Aku sudah bertekad bulat untuk menjadikan Ava milikku." Ava mendesah tak percaya. Tangannya melambai-lambai. "Tunggu—" Akan te
Begitu melewati pintu masuk, wajah Ava berubah manyun. Napasnya berat, langkahnya melambat. "Bisa-bisanya dia mengatakan kami akan menikah? Memangnya kapan dia melamarku? Tidak—jangankan melamar, menyatakan cinta saja tidak pernah." Dengan bibir mengerucut, Ava menoleh ke belakang. Jeremy seperti sedang diceramahi oleh sang ibu. Dua balita di sana juga terlihat menggurui. "Tapi, apakah dia memang sebodoh itu?" Bicaranya kini terkesan iba. "Dia pasti mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Menikah denganku sama saja dengan menghancurkan reputasi dan masa depannya sendiri. Dia tidak terpikirkan oleh itu?" Kemudian, dengan kepala tertunduk, Ava lanjut berjalan. Gerakannya lesu dan lambat. "Dia seharusnya belajar dari kejadian di butik tadi. Dia harus mencari pasangan yang sebanding dengannya, bukan gadis yang membuatnya dipandang sebelah mata." Setelah mendesah panjang, Ava menegakkan kepala. "Kenyataan tidak seindah negeri dongeng. Pangeran dan rakyat jelata tidak akan bisa hid
Seperginya Ava, Nyonya Connor langsung membuang muka. Ia seperti tidak sudi menatap Jeremy. Akan tetapi, Jeremy malah berputar menghadapnya. Raut pria itu begitu tegas. Garis rahangnya tampak jelas dan tangannya mengepal keras. "Ava adalah putri kandung Anda sendiri, tapi mengapa Anda memperlakukannya seperti anak orang lain? Anda tidak kasihan kepadanya?" Bukannya merasa tersindir, Nyonya Connor malah mengangkat dagunya lebih tinggi. "Aku hanya bersikap objektif. Tidak peduli dia anakku atau bukan, kalau dia salah, tetap bersalah. Dia harus ditegur dan diberi pelajaran supaya sadar. Dia harus berhenti mempermalukan keluarganya." "Tapi, tuduhan Anda terhadap Ava tidaklah benar. Dia tidak bersalah." Nyonya Connor mendengus jijik. "Jangan membelanya. Itu malah membuatku semakin yakin bahwa kalian menjalin hubungan yang tidak sehat." "Saya tidak membelanya. Saya hanya mengatakan kebenaran." Tiba-tiba, telunjuk sang wanita terangkat ke depan wajah. "Jangan mentang-mentang kau sudah