Terima kasih sudah membaca
Sembari meringis, Ava mendongak. Mendapati wajah sangar seorang pria, rasa sakitnya langsung tertutupi oleh keterkejutan. "Jeremy?" Sambil menggertakkan geraham, pria itu membungkuk, membantu Ava berdiri. Setelah itu, tatapan lasernya menghunus si perempuan kasar. "Apa hakmu mendorong Ava seperti tadi? Dia sudah berbaik hati datang menemuimu. Kau malah mengusir? Kau ini adik yang tidak tahu berterima kasih, rupanya?" Rahang Eva berdenyut-denyut mendengar sindiran itu. "Aku bukan adiknya. Dia sendiri yang membuangku." "Setengah jam yang lalu, Ava masih berbaring di ranjang rumah sakit. Dokter bahkan belum mengizinkannya pergi. Tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia lebih mencemaskan kondisimu dibandingkan dirinya sendiri." Namun, Eva menggerak-gerakkan kepala seolah tak peduli. "Tolong jangan percaya sandiwaranya, Tuan Harper. Dia bukan gadis baik hati seperti yang kau pikir." "Begitukah?" Sambil menarik napas berat, Jeremy menoleh ke samping. "Kau seharusnya mendengarkan saranku. T
Alis Ava mendesak dahi. Ia tidak menyangka Jeremy bisa berbicara segamblang itu di depan sang ibu. "A-apa maksud Anda, Tuan? Eva bisa berkata seperti itu karena saya menumpang di rumah Anda. Dia berpikir kita akrab. Dia salah paham." Jeremy mendesah pasrah. "Aku tidak suka berpura-pura, Ava. Hubungan kita tidak perlu ditutupi lagi." Ava tercengang. Belum sempat otaknya menelurkan kata, Jeremy meraih pergelangan tangannya, mengajaknya berputar menghadap Vivian. "Bu, aku dan Ava berencana menikah." Mulut Ava terbuka semakin lebar. Bola matanya bergerak-gerak mengamati keseriusan Jeremy, keterkejutan Vivian, dan debar jantungnya sendiri. "J-Jeremy ...." Tawa Vivian lebih dulu meledak. Kebahagiaan terpancar terang dari wajahnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Kalian berencana untuk menikah?" Sementara Ava mangap-mangap, Jeremy mengangguk tegas. "Ya, Bu. Aku sudah bertekad bulat untuk menjadikan Ava milikku." Ava mendesah tak percaya. Tangannya melambai-lambai. "Tunggu—" Akan te
Begitu melewati pintu masuk, wajah Ava berubah manyun. Napasnya berat, langkahnya melambat. "Bisa-bisanya dia mengatakan kami akan menikah? Memangnya kapan dia melamarku? Tidak—jangankan melamar, menyatakan cinta saja tidak pernah." Dengan bibir mengerucut, Ava menoleh ke belakang. Jeremy seperti sedang diceramahi oleh sang ibu. Dua balita di sana juga terlihat menggurui. "Tapi, apakah dia memang sebodoh itu?" Bicaranya kini terkesan iba. "Dia pasti mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Menikah denganku sama saja dengan menghancurkan reputasi dan masa depannya sendiri. Dia tidak terpikirkan oleh itu?" Kemudian, dengan kepala tertunduk, Ava lanjut berjalan. Gerakannya lesu dan lambat. "Dia seharusnya belajar dari kejadian di butik tadi. Dia harus mencari pasangan yang sebanding dengannya, bukan gadis yang membuatnya dipandang sebelah mata." Setelah mendesah panjang, Ava menegakkan kepala. "Kenyataan tidak seindah negeri dongeng. Pangeran dan rakyat jelata tidak akan bisa hid
Seperginya Ava, Nyonya Connor langsung membuang muka. Ia seperti tidak sudi menatap Jeremy. Akan tetapi, Jeremy malah berputar menghadapnya. Raut pria itu begitu tegas. Garis rahangnya tampak jelas dan tangannya mengepal keras. "Ava adalah putri kandung Anda sendiri, tapi mengapa Anda memperlakukannya seperti anak orang lain? Anda tidak kasihan kepadanya?" Bukannya merasa tersindir, Nyonya Connor malah mengangkat dagunya lebih tinggi. "Aku hanya bersikap objektif. Tidak peduli dia anakku atau bukan, kalau dia salah, tetap bersalah. Dia harus ditegur dan diberi pelajaran supaya sadar. Dia harus berhenti mempermalukan keluarganya." "Tapi, tuduhan Anda terhadap Ava tidaklah benar. Dia tidak bersalah." Nyonya Connor mendengus jijik. "Jangan membelanya. Itu malah membuatku semakin yakin bahwa kalian menjalin hubungan yang tidak sehat." "Saya tidak membelanya. Saya hanya mengatakan kebenaran." Tiba-tiba, telunjuk sang wanita terangkat ke depan wajah. "Jangan mentang-mentang kau sudah
Sebelum Ava membuat harapannya rata dengan tanah, Jeremy menyela dengan tegas, "Aku juga tidak suka bermimpi. Karena itu, aku meminta kesempatan darimu. Aku akan membuat kenyataan sesuai dengan keinginan—kenyataan di mana kau tidak perlu lagi menangis ataupun menahan kecewa." Ava bergeming menatap sepasang mata yang penuh kesungguhan itu. Hati dan logikanya bertempur hebat. "Ayolah, Ava. Tidak mudah bagiku untuk memohon seperti ini. Jangan katakan kalau usahaku masih kurang. Perlukah aku berlutut di hadapanmu agar kau memberiku kesempatan?" "Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Apa strategimu untuk mengubah pemikiran ibuku? Memperbaiki hubunganku dengan Eva?" Kepala Jeremy nyaris terdorong ke belakang. Menyusun strategi bukanlah keahliannya. Itu bidang Frank. Selama ini, ia hanya meminta instruksi dan menjalankannya. "Kau masih bingung?" Jeremy berkedip, memaksa otaknya untuk menelurkan ide secara instan. "Aku akan mengumpulkan bukti untuk membantah tuduhan Eva terhadapmu." "Men
Ava sesekali terpejam. Akal sehatnya terancam hanyut. Sikap nakal Jeremy telah membuatnya terbuai. Namun, sebisa mungkin, ia berusaha untuk tetap waras. "Jeremy, hentikan," pintanya di sela desah napas yang membara. Tangannya mendorong pundak kekar di atasnya, berharap itu bisa menciptakan jarak. Namun ternyata, sentuhannya malah menambah bara. Jeremy perlahan merangkak turun, menjelajahi setiap jengkal dari tubuhnya. Udara di sekitar mereka bertambah panas. Ava pun semakin panik. "Tidak! Jangan di situ. Jeremy?" Ava mencoba bangkit. Namun, detik berikutnya, ia kembali berbaring. Sambil terpejam, ia menggigit bibir, menahan getaran yang berusaha melumpuhkan pikirannya. "Bagaimana, Ava? Kau sudah mengambil keputusan? Cara mana yang kau pilih?" bisik Jeremy dengan suara yang menggelitik. Ava menggeleng lemah. Perhatiannya terbagi oleh debar jantung dan darahnya yang berdesir. "Kita tidak akan pernah bisa bersama, Jeremy. Karena itu, berhentilah. Kita tidak boleh melakukan ini." "
Sambil berkedip lembut, Jeremy mulai merapikan pakaian Ava. "Sekarang kau adalah kekasihku. Itu artinya kau adalah pilihanku, gadis terbaik yang pernah kutemui. Jadi, kau tidak boleh merasa kecil atau rendah diri lagi. Kau harus tegar dan percaya diri." Perasaan hangat melingkupi hati Ava. Lagi-lagi, Jeremy membuat permintaan yang jauh dari kata egois. "Aku tidak pernah merasa kecil," ucap Ava samar. Ia tidak mau dipandang menyedihkan oleh sang kekasih. "Kau yakin?" Jeremy beralih merapikan rambut yang berantakan akibat ulahnya. "Lalu mengapa kau membiarkan Eva menindasmu? Aku tidak suka menyaksikan itu." Mulut Ava membuka, tetapi tidak melontarkan kata. Jeremy benar. Di depan Eva yang selalu mendapat pembelaan ibunya, ia memang merasa kecil. "Lain kali, kalau ada yang menindasmu, jangan segan untuk melawan. Kau tidak perlu takut dengan konsekuensinya. Ada aku di belakangmu. Kalau lawanmu sulit dikalahkan, aku akan maju." "Tapi Eva adikku. Menyakitinya sama saja dengan menyakiti
Raut Jeremy seketika berubah tegang. "Apakah itu masalah serius?" Ava mengangguk. "Hatiku terasa mengganjal kalau tidak mengatakannya.""Apa?" Jeremy terdengar tidak sabar."Maaf kalau dulu aku sempat menganggapmu pria kaku yang dingin dan tidak berperasaan. Apalagi, saat pertemuan pertama kita, aku sempat mengumpat dan menyumpahimu. Padahal, kau hanya melakukan kewajibanmu. Akulah yang bersalah saat itu." Alis Jeremy mendesak dahi. "Aku ingat kalimat-kalimat kasarmu itu, tapi ... ternyata kau menilaiku begitu?" Sambil tersenyum kecut, Ava mengangguk. "Bukankah kau dulu juga menganggapku begitu? Gadis kaku yang egois dan tidak berperasaan? Jangan berpura-pura tidak ingat. Tatapanmu terhadapku dulu menggambarkannya dengan jelas." Jeremy mendenguskan tawa. Hatinya lega menyadari kekhawatirannya tadi ternyata berlebihan. "Baiklah, kurasa masalah itu sudah clear sekarang. Kita impas?" Sambil mengernyitkan dahi, Ava menggeleng. "Belum. Apakah kau ingat momen pertama kau berhadapan deng