Share

S3| 121. Pikiran Kotor

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Ava sesekali terpejam. Akal sehatnya terancam hanyut. Sikap nakal Jeremy telah membuatnya terbuai. Namun, sebisa mungkin, ia berusaha untuk tetap waras.

"Jeremy, hentikan," pintanya di sela desah napas yang membara.

Tangannya mendorong pundak kekar di atasnya, berharap itu bisa menciptakan jarak. Namun ternyata, sentuhannya malah menambah bara. Jeremy perlahan merangkak turun, menjelajahi setiap jengkal dari tubuhnya. Udara di sekitar mereka bertambah panas. Ava pun semakin panik.

"Tidak! Jangan di situ. Jeremy?"

Ava mencoba bangkit. Namun, detik berikutnya, ia kembali berbaring. Sambil terpejam, ia menggigit bibir, menahan getaran yang berusaha melumpuhkan pikirannya.

"Bagaimana, Ava? Kau sudah mengambil keputusan? Cara mana yang kau pilih?" bisik Jeremy dengan suara yang menggelitik.

Ava menggeleng lemah. Perhatiannya terbagi oleh debar jantung dan darahnya yang berdesir.

"Kita tidak akan pernah bisa bersama, Jeremy. Karena itu, berhentilah. Kita tidak boleh melakukan ini."

"
Pixie

Halo haloo, bagaimana pendapat kalian tentang bab ini? Kasih feedback yuk! Biar Pixie bisa menyusun cerita yang lebih menghibur lagi. Btw, ada yang bisa nebak apa larangan berikutnya? Langsung aja ketik di kolom komentar ya. Terima kasih sudah membaca ....

| 1
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
SK Celey
jangan bikin Jeremy kehilangan Ava ya Thor... lanjut...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 122. Permintaan yang Manis

    Sambil berkedip lembut, Jeremy mulai merapikan pakaian Ava. "Sekarang kau adalah kekasihku. Itu artinya kau adalah pilihanku, gadis terbaik yang pernah kutemui. Jadi, kau tidak boleh merasa kecil atau rendah diri lagi. Kau harus tegar dan percaya diri." Perasaan hangat melingkupi hati Ava. Lagi-lagi, Jeremy membuat permintaan yang jauh dari kata egois. "Aku tidak pernah merasa kecil," ucap Ava samar. Ia tidak mau dipandang menyedihkan oleh sang kekasih. "Kau yakin?" Jeremy beralih merapikan rambut yang berantakan akibat ulahnya. "Lalu mengapa kau membiarkan Eva menindasmu? Aku tidak suka menyaksikan itu." Mulut Ava membuka, tetapi tidak melontarkan kata. Jeremy benar. Di depan Eva yang selalu mendapat pembelaan ibunya, ia memang merasa kecil. "Lain kali, kalau ada yang menindasmu, jangan segan untuk melawan. Kau tidak perlu takut dengan konsekuensinya. Ada aku di belakangmu. Kalau lawanmu sulit dikalahkan, aku akan maju." "Tapi Eva adikku. Menyakitinya sama saja dengan menyakiti

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 123. Jeremy Bisa Romantis

    Raut Jeremy seketika berubah tegang. "Apakah itu masalah serius?" Ava mengangguk. "Hatiku terasa mengganjal kalau tidak mengatakannya.""Apa?" Jeremy terdengar tidak sabar."Maaf kalau dulu aku sempat menganggapmu pria kaku yang dingin dan tidak berperasaan. Apalagi, saat pertemuan pertama kita, aku sempat mengumpat dan menyumpahimu. Padahal, kau hanya melakukan kewajibanmu. Akulah yang bersalah saat itu." Alis Jeremy mendesak dahi. "Aku ingat kalimat-kalimat kasarmu itu, tapi ... ternyata kau menilaiku begitu?" Sambil tersenyum kecut, Ava mengangguk. "Bukankah kau dulu juga menganggapku begitu? Gadis kaku yang egois dan tidak berperasaan? Jangan berpura-pura tidak ingat. Tatapanmu terhadapku dulu menggambarkannya dengan jelas." Jeremy mendenguskan tawa. Hatinya lega menyadari kekhawatirannya tadi ternyata berlebihan. "Baiklah, kurasa masalah itu sudah clear sekarang. Kita impas?" Sambil mengernyitkan dahi, Ava menggeleng. "Belum. Apakah kau ingat momen pertama kau berhadapan deng

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 124. Paman dan Ava Berpacaran?

    "Mungkin dia sudah berdamai dengan Ava," celetuk Louis, manis. Bola matanya bergerak mengikuti Jeremy yang berjalan santai menelusuri jendela kaca. Saat pria itu mendorong pintu, barulah mereka tahu bahwa ia ternyata sedang menelepon. "Ya, aku sudah bertemu dengan si Kembar .... Baiklah, akan kusampaikan salammu kepada mereka. Kau beristirahatlah. Jangan sakit lagi. Dan jangan lupa makan .... Ya, sampai nanti malam." Mata semua orang membulat mendengar suara lembut Jeremy. Tidak hanya itu, senyumnya juga mengejutkan, dan binar matanya .... Jeremy terlihat jelas sedang jatuh cinta!"Apakah itu Ava?" sambar Louis ketika Jeremy menutup telepon. Pria itu tersenyum simpul. "Ya, Ava menitipkan salam kepada kalian." Jeremy menarik kursi lalu duduk. Sambil berkedip-kedip, ia mengamati mereka satu per satu. "Kenapa kalian memandangku begitu?""Apakah Paman dan Ava sudah berbaikan?" Emily mewakili keheranan semua orang. Sambil mengetuk ponselnya ke meja, Jeremy tersenyum misterius. "Sudah. K

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 125. Poin Nomor Tiga

    "Kau beristirahatlah. Jangan sakit lagi. Dan jangan lupa makan." Suara Jeremy terdengar ringan. Ava tidak bisa menahan senyum mendengarnya. "Baiklah. Kau juga jangan terlambat makan. Sampai nanti malam." "Ya, sampai nanti malam." Usai menutup telepon, Ava menggigit bibir. Namun, pipinya tetap saja merentangkan senyum. "Ternyata, Jeremy manis dan perhatian sekali. Aku tidak akan pernah tahu kalau masih kukuh menolaknya." Dengan sebelah tangan mendekap ponsel, Ava memperhatikan tangannya yang lain. Tidak ada apa-apa di sana, tetapi mata Ava berbinar seolah berlian paling mahal di dunia ada di jari manisnya. "Kuharap aku bisa menjaga cincin ini dengan baik." Kemudian, sambil mengepalkan tangan, ia mengembuskan napas cepat. "Aku tidak boleh mengecewakan Jeremy. Aku adalah Ava yang berbeda sekarang. Aku lebih kuat, tegas, dan percaya diri." Saat Ava sedang fokus menanam sugesti, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Mengira itu Melanie, Ava pun membukanya. "Ya ... Senior Bryan?" Alis

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 126. Poin Nomor Dua

    "Ingat poin nomor dua, Ava. Kamu tidak boleh merasa kecil atau rendah diri. Jeremy ada di belakangmu. Jadi, jangan takut untuk melawan kalau ada yang menindasmu," ujar Ava berulang kali dalam hati. Kalimat-kalimat tersebut sudah seperti mantra baginya. Lima langkah dari gerbang, Ava mengembuskan napas cepat. "Kalian sudah siap?" Kepalanya menoleh sedikit. Dua orang pria di belakangnya menjawab dengan kompak, "Siap, Nona." Sambil menegakkan postur, Ava berjalan menghampiri sang adik. "Well, well ...." Eva melipat tangan di depan dada. Tatapannya sinis, bibirnya berkedut jijik. "Kukira kau sudah puas menindasku di butik. Ternyata, kau mau menindasku di sini juga?" Ava menghentikan langkah dengan raut tegas. Ia dan Eva kini hanya berjarak satu meter, terpisahkan oleh jeruji besi yang berukiran indah. "Jangan memutarbalikkan fakta atau mengada-ada. Aku tidak pernah menindasmu." Eva mendengus. "Kalau kau tidak bermaksud menindasku, lalu mengapa kau tidak mengizinkan aku masuk? Aku su

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 127. Menentang Eva

    Langkah Ava sontak tertahan. Rahangnya berdenyut-denyut menahan kekesalan. "Kau bilang kau tidak datang membawa ancaman?" Ia berbalik dengan alis berkerut. "Kau sadar apa yang sedang kau lakukan? Kau mengancamku." Eva tersenyum licik. "Aku tidak mengancammu, Ava. Aku mengatakan apa yang akan terjadi selanjutnya jika kau masih kukuh melarangku masuk." "Aku akan menjelaskan kepada Ibu bahwa ini perintah Tuan Harper." "Menurutmu Mami peduli?" Eva menaikkan sebelah alis. Nada bicaranya seperti menantang. "Yang Mami inginkan adalah bertemu denganku. Mami pasti akan sangat kecewa begitu tahu kau menentang keinginannya." Sementara Ava menggertakkan geraham, Eva mendekatkan kepalanya hingga nyaris menyentuh celah gerbang. Ia sudah seperti narapidana yang mengintai ke luar. "Kau bilang tidak peduli jika Mami membencimu. Tapi bagaimana dengan kesehatan Mami? Kau masih ingin berbakti padanya, kan? Kalau begitu, ayo buka pintu." Air mata mulai terbit di mata Ava. Ia benci pada kebenaran yan

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 128. Poin Nomor Satu

    "Restu dariku?" Alis Nyonya Connor terangkat tinggi. Selang satu kedipan, ia mendesah pasrah. "Halusinasimu sudah parah sekali, Ava." Eva memasang tampang memelas. "Itulah yang kumaksud, Mami. Mami harus menegaskan Ava. Dia bisa semakin menjadi-jadi kalau tidak diberi peringatan keras." Nyonya Connor mengangguk samar. Tatapannya kemudian beralih kepada putri kandungnya. "Kalau kau masih terus menyebut hubunganmu dengan pria itu, kau lebih baik enyah dari hadapanku. Jangan harap aku mau memberi restu. Nasihatku saja tidak kau indahkan." Air mata Ava menebal. Namun, pada saat yang bersamaan, darahnya meletup-letup, terdesak tekanan jantung yang tersulut amarah. "Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya? Bagaimana kalau Tuan Harper menemui Ibu sekarang dan membenarkan semua yang kukatakan?" Nada bicaranya naik. Suaranya nyaris pecah. "Lalu kau akan membayar sandiwaranya dengan pelayanan ekstra nanti malam?" hasut Eva. Ava terkesiap. "Menurutmu, orang terpandang seperti Tuan Harper ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 129. Lanjutkan Peran

    Udara dalam paru-paru Eva bergemuruh. Hatinya panas, terpanggang cemburu. Bagaimana mungkin Ava bisa mendapatkan pria sesempurna Jeremy Harper? Ia merasa dunia sungguh tidak adil. "Lagi?" Ia mengulang kata terakhir dari Jeremy. Alisnya terangkat sinis. "Apakah maksud Anda, selama ini saya selalu menyakiti Ava?" Belum sempat Jeremy menjawab, Eva mendengus kesal. Matanya melirik sang Ibu seolah meminta pertolongan. "Mami, bagaimana ini? Ava telah berhasil membalikkan kebenaran. Padahal, selama ini Mami tahu sendiri kalau dialah yang menyakitiku. Pantas saja Tuan Harper menaruh hati dan berpihak padanya. Dia membuat Tuan Harper merasa iba dengan menjadikan aku penjahatnya." Mendengar pengaduan tersebut, mata Jeremy terbuka lebih lebar. Ia salut pada kegigihan Eva dalam menjatuhkan Ava. Gadis itu ternyata berkali-kali lipat lebih buruk dari Barbara zaman dulu atau bahkan Isabela. "Tuan Harper," suara Nyonya Connor menarik perhatian semua orang, "tolong jangan membuatku menjadi orang t

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status