Halo haloo, bagaimana pendapat kalian tentang bab ini? Kasih feedback yuk! Biar Pixie bisa menyusun cerita yang lebih menghibur lagi. Btw, ada yang bisa nebak apa larangan berikutnya? Langsung aja ketik di kolom komentar ya. Terima kasih sudah membaca ....
Sambil berkedip lembut, Jeremy mulai merapikan pakaian Ava. "Sekarang kau adalah kekasihku. Itu artinya kau adalah pilihanku, gadis terbaik yang pernah kutemui. Jadi, kau tidak boleh merasa kecil atau rendah diri lagi. Kau harus tegar dan percaya diri." Perasaan hangat melingkupi hati Ava. Lagi-lagi, Jeremy membuat permintaan yang jauh dari kata egois. "Aku tidak pernah merasa kecil," ucap Ava samar. Ia tidak mau dipandang menyedihkan oleh sang kekasih. "Kau yakin?" Jeremy beralih merapikan rambut yang berantakan akibat ulahnya. "Lalu mengapa kau membiarkan Eva menindasmu? Aku tidak suka menyaksikan itu." Mulut Ava membuka, tetapi tidak melontarkan kata. Jeremy benar. Di depan Eva yang selalu mendapat pembelaan ibunya, ia memang merasa kecil. "Lain kali, kalau ada yang menindasmu, jangan segan untuk melawan. Kau tidak perlu takut dengan konsekuensinya. Ada aku di belakangmu. Kalau lawanmu sulit dikalahkan, aku akan maju." "Tapi Eva adikku. Menyakitinya sama saja dengan menyakiti
Raut Jeremy seketika berubah tegang. "Apakah itu masalah serius?" Ava mengangguk. "Hatiku terasa mengganjal kalau tidak mengatakannya.""Apa?" Jeremy terdengar tidak sabar."Maaf kalau dulu aku sempat menganggapmu pria kaku yang dingin dan tidak berperasaan. Apalagi, saat pertemuan pertama kita, aku sempat mengumpat dan menyumpahimu. Padahal, kau hanya melakukan kewajibanmu. Akulah yang bersalah saat itu." Alis Jeremy mendesak dahi. "Aku ingat kalimat-kalimat kasarmu itu, tapi ... ternyata kau menilaiku begitu?" Sambil tersenyum kecut, Ava mengangguk. "Bukankah kau dulu juga menganggapku begitu? Gadis kaku yang egois dan tidak berperasaan? Jangan berpura-pura tidak ingat. Tatapanmu terhadapku dulu menggambarkannya dengan jelas." Jeremy mendenguskan tawa. Hatinya lega menyadari kekhawatirannya tadi ternyata berlebihan. "Baiklah, kurasa masalah itu sudah clear sekarang. Kita impas?" Sambil mengernyitkan dahi, Ava menggeleng. "Belum. Apakah kau ingat momen pertama kau berhadapan deng
"Mungkin dia sudah berdamai dengan Ava," celetuk Louis, manis. Bola matanya bergerak mengikuti Jeremy yang berjalan santai menelusuri jendela kaca. Saat pria itu mendorong pintu, barulah mereka tahu bahwa ia ternyata sedang menelepon. "Ya, aku sudah bertemu dengan si Kembar .... Baiklah, akan kusampaikan salammu kepada mereka. Kau beristirahatlah. Jangan sakit lagi. Dan jangan lupa makan .... Ya, sampai nanti malam." Mata semua orang membulat mendengar suara lembut Jeremy. Tidak hanya itu, senyumnya juga mengejutkan, dan binar matanya .... Jeremy terlihat jelas sedang jatuh cinta!"Apakah itu Ava?" sambar Louis ketika Jeremy menutup telepon. Pria itu tersenyum simpul. "Ya, Ava menitipkan salam kepada kalian." Jeremy menarik kursi lalu duduk. Sambil berkedip-kedip, ia mengamati mereka satu per satu. "Kenapa kalian memandangku begitu?""Apakah Paman dan Ava sudah berbaikan?" Emily mewakili keheranan semua orang. Sambil mengetuk ponselnya ke meja, Jeremy tersenyum misterius. "Sudah. K
"Kau beristirahatlah. Jangan sakit lagi. Dan jangan lupa makan." Suara Jeremy terdengar ringan. Ava tidak bisa menahan senyum mendengarnya. "Baiklah. Kau juga jangan terlambat makan. Sampai nanti malam." "Ya, sampai nanti malam." Usai menutup telepon, Ava menggigit bibir. Namun, pipinya tetap saja merentangkan senyum. "Ternyata, Jeremy manis dan perhatian sekali. Aku tidak akan pernah tahu kalau masih kukuh menolaknya." Dengan sebelah tangan mendekap ponsel, Ava memperhatikan tangannya yang lain. Tidak ada apa-apa di sana, tetapi mata Ava berbinar seolah berlian paling mahal di dunia ada di jari manisnya. "Kuharap aku bisa menjaga cincin ini dengan baik." Kemudian, sambil mengepalkan tangan, ia mengembuskan napas cepat. "Aku tidak boleh mengecewakan Jeremy. Aku adalah Ava yang berbeda sekarang. Aku lebih kuat, tegas, dan percaya diri." Saat Ava sedang fokus menanam sugesti, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Mengira itu Melanie, Ava pun membukanya. "Ya ... Senior Bryan?" Alis
"Ingat poin nomor dua, Ava. Kamu tidak boleh merasa kecil atau rendah diri. Jeremy ada di belakangmu. Jadi, jangan takut untuk melawan kalau ada yang menindasmu," ujar Ava berulang kali dalam hati. Kalimat-kalimat tersebut sudah seperti mantra baginya. Lima langkah dari gerbang, Ava mengembuskan napas cepat. "Kalian sudah siap?" Kepalanya menoleh sedikit. Dua orang pria di belakangnya menjawab dengan kompak, "Siap, Nona." Sambil menegakkan postur, Ava berjalan menghampiri sang adik. "Well, well ...." Eva melipat tangan di depan dada. Tatapannya sinis, bibirnya berkedut jijik. "Kukira kau sudah puas menindasku di butik. Ternyata, kau mau menindasku di sini juga?" Ava menghentikan langkah dengan raut tegas. Ia dan Eva kini hanya berjarak satu meter, terpisahkan oleh jeruji besi yang berukiran indah. "Jangan memutarbalikkan fakta atau mengada-ada. Aku tidak pernah menindasmu." Eva mendengus. "Kalau kau tidak bermaksud menindasku, lalu mengapa kau tidak mengizinkan aku masuk? Aku su
Langkah Ava sontak tertahan. Rahangnya berdenyut-denyut menahan kekesalan. "Kau bilang kau tidak datang membawa ancaman?" Ia berbalik dengan alis berkerut. "Kau sadar apa yang sedang kau lakukan? Kau mengancamku." Eva tersenyum licik. "Aku tidak mengancammu, Ava. Aku mengatakan apa yang akan terjadi selanjutnya jika kau masih kukuh melarangku masuk." "Aku akan menjelaskan kepada Ibu bahwa ini perintah Tuan Harper." "Menurutmu Mami peduli?" Eva menaikkan sebelah alis. Nada bicaranya seperti menantang. "Yang Mami inginkan adalah bertemu denganku. Mami pasti akan sangat kecewa begitu tahu kau menentang keinginannya." Sementara Ava menggertakkan geraham, Eva mendekatkan kepalanya hingga nyaris menyentuh celah gerbang. Ia sudah seperti narapidana yang mengintai ke luar. "Kau bilang tidak peduli jika Mami membencimu. Tapi bagaimana dengan kesehatan Mami? Kau masih ingin berbakti padanya, kan? Kalau begitu, ayo buka pintu." Air mata mulai terbit di mata Ava. Ia benci pada kebenaran yan
"Restu dariku?" Alis Nyonya Connor terangkat tinggi. Selang satu kedipan, ia mendesah pasrah. "Halusinasimu sudah parah sekali, Ava." Eva memasang tampang memelas. "Itulah yang kumaksud, Mami. Mami harus menegaskan Ava. Dia bisa semakin menjadi-jadi kalau tidak diberi peringatan keras." Nyonya Connor mengangguk samar. Tatapannya kemudian beralih kepada putri kandungnya. "Kalau kau masih terus menyebut hubunganmu dengan pria itu, kau lebih baik enyah dari hadapanku. Jangan harap aku mau memberi restu. Nasihatku saja tidak kau indahkan." Air mata Ava menebal. Namun, pada saat yang bersamaan, darahnya meletup-letup, terdesak tekanan jantung yang tersulut amarah. "Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya? Bagaimana kalau Tuan Harper menemui Ibu sekarang dan membenarkan semua yang kukatakan?" Nada bicaranya naik. Suaranya nyaris pecah. "Lalu kau akan membayar sandiwaranya dengan pelayanan ekstra nanti malam?" hasut Eva. Ava terkesiap. "Menurutmu, orang terpandang seperti Tuan Harper ma
Udara dalam paru-paru Eva bergemuruh. Hatinya panas, terpanggang cemburu. Bagaimana mungkin Ava bisa mendapatkan pria sesempurna Jeremy Harper? Ia merasa dunia sungguh tidak adil. "Lagi?" Ia mengulang kata terakhir dari Jeremy. Alisnya terangkat sinis. "Apakah maksud Anda, selama ini saya selalu menyakiti Ava?" Belum sempat Jeremy menjawab, Eva mendengus kesal. Matanya melirik sang Ibu seolah meminta pertolongan. "Mami, bagaimana ini? Ava telah berhasil membalikkan kebenaran. Padahal, selama ini Mami tahu sendiri kalau dialah yang menyakitiku. Pantas saja Tuan Harper menaruh hati dan berpihak padanya. Dia membuat Tuan Harper merasa iba dengan menjadikan aku penjahatnya." Mendengar pengaduan tersebut, mata Jeremy terbuka lebih lebar. Ia salut pada kegigihan Eva dalam menjatuhkan Ava. Gadis itu ternyata berkali-kali lipat lebih buruk dari Barbara zaman dulu atau bahkan Isabela. "Tuan Harper," suara Nyonya Connor menarik perhatian semua orang, "tolong jangan membuatku menjadi orang t