Terima kasih sudah membaca. Tunggu bab selanjutnya, yaa. Bakal lebih cetar!
"Restu dariku?" Alis Nyonya Connor terangkat tinggi. Selang satu kedipan, ia mendesah pasrah. "Halusinasimu sudah parah sekali, Ava." Eva memasang tampang memelas. "Itulah yang kumaksud, Mami. Mami harus menegaskan Ava. Dia bisa semakin menjadi-jadi kalau tidak diberi peringatan keras." Nyonya Connor mengangguk samar. Tatapannya kemudian beralih kepada putri kandungnya. "Kalau kau masih terus menyebut hubunganmu dengan pria itu, kau lebih baik enyah dari hadapanku. Jangan harap aku mau memberi restu. Nasihatku saja tidak kau indahkan." Air mata Ava menebal. Namun, pada saat yang bersamaan, darahnya meletup-letup, terdesak tekanan jantung yang tersulut amarah. "Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya? Bagaimana kalau Tuan Harper menemui Ibu sekarang dan membenarkan semua yang kukatakan?" Nada bicaranya naik. Suaranya nyaris pecah. "Lalu kau akan membayar sandiwaranya dengan pelayanan ekstra nanti malam?" hasut Eva. Ava terkesiap. "Menurutmu, orang terpandang seperti Tuan Harper ma
Udara dalam paru-paru Eva bergemuruh. Hatinya panas, terpanggang cemburu. Bagaimana mungkin Ava bisa mendapatkan pria sesempurna Jeremy Harper? Ia merasa dunia sungguh tidak adil. "Lagi?" Ia mengulang kata terakhir dari Jeremy. Alisnya terangkat sinis. "Apakah maksud Anda, selama ini saya selalu menyakiti Ava?" Belum sempat Jeremy menjawab, Eva mendengus kesal. Matanya melirik sang Ibu seolah meminta pertolongan. "Mami, bagaimana ini? Ava telah berhasil membalikkan kebenaran. Padahal, selama ini Mami tahu sendiri kalau dialah yang menyakitiku. Pantas saja Tuan Harper menaruh hati dan berpihak padanya. Dia membuat Tuan Harper merasa iba dengan menjadikan aku penjahatnya." Mendengar pengaduan tersebut, mata Jeremy terbuka lebih lebar. Ia salut pada kegigihan Eva dalam menjatuhkan Ava. Gadis itu ternyata berkali-kali lipat lebih buruk dari Barbara zaman dulu atau bahkan Isabela. "Tuan Harper," suara Nyonya Connor menarik perhatian semua orang, "tolong jangan membuatku menjadi orang t
"Ada apa, Papa?" "Apakah ada tugas baru untuk kami?" Si Kembar memasuki ruang CEO dengan penuh semangat. Namun, begitu mereka menoleh ke sofa tamu, mulut mereka ternganga lebar. "Ava?" Gadis pucat itu tersenyum kecil. "Halo, Kembar." Dua balita itu langsung menghampiri. Emily menggamit tangannya, sedangkan Louis berjalan mengitarinya. Bocah laki-laki itu sudah seperti pengamat yang berusaha menemukan keretakan pada sebuah patung. "Apakah kamu baik-baik saja, Ava? Aku dan Louis sangat mengkhawatirkanmu." Emily mendongak dengan alis berkerut. "Kurasa Ava tidak apa-apa, Emily. Dia terlihat sempurna." Louis meruncingkan telunjuk mungilnya hingga menusuk pinggang Ava. Ava menutupi tawa kecilnya dengan sebelah tangan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih telah mencemaskan aku." "Sama-sama, Ava." Si Kembar memeluk Ava. Mata mereka terpejam selama pipi mereka memberi sang gadis kehangatan. "Jadi, kenapa Paman mengajak Ava kemari? Siapa yang menjaga Nenek Melanie dan Nyonya Connor?" Loui
Jeremy sesekali mengalihkan pandangannya dari jalan. Wajah gadis di sebelahnya tampak sangat menyejukkan. Ava memang diam seperti biasanya. Namun, bibirnya melengkung kecil, menjadi candu bagi Jeremy. "Bagaimana tur singkatmu tadi?" Ava melirik dengan senyum yang lebih lebar. "Sangat menyenangkan. Louis dan Emily begitu pandai bicara. Mereka menjelaskan semuanya dengan sangat rinci, tapi tetap menyenangkan. Dan orang-orang di Savior ...." Ava menarik napas lebih dalam. Alisnya terangkat lebih tinggi, sama seperti pundaknya. "Ternyata, para karyawan sangat ramah. Mereka menyambutku dengan antusias. Memang ada beberapa orang yang berbisik-bisik. Tapi kata si Kembar, itu karena mereka mengagumiku. Mereka salut karena seorang perawat sederhana sepertiku bisa menaklukkan hatimu." "Jadi sekarang, kau sudah tahu bahwa yang kukatakan itu benar?" "Ya, aku tidak seharusnya berburuk sangka. Tidak semua orang memperlakukanku seperti Eva dan Ibu. Aku seharusnya lebih menghargai diriku sendiri
Jeremy tidak pernah tahu bahwa menunggu bisa jadi semenyenangkan ini. Meski tangannya memegang tablet, matanya terus tertarik pada Ava. Ia penasaran bagaimana penampilan akhir sang gadis setelah selesai dipoles—gadis yang dulu disebutnya kaku dan tidak menarik itu. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari Kara. "Paman, apakah Ava sudah selesai di-make over?" Membaca itu, Jeremy mendengus kecil. "Ini ulah Louis atau Emily? Atau keduanya?" Namun, jemarinya mengetik balasan. "Belum. Ada apa, Emily?" "Ini Louis, Paman. Kenapa Paman menduga aku Emily? Emily mana berani membajak ponsel Mama?" Jeremy menggeleng kecil. Hatinya tergelitik. Entah bagaimana, suara Louis terngiang dalam telinganya, seperti mengomel. "Maaf. Kukira kau Emily karena menggunakan kata make over." "Memangnya Emily saja yang tahu kata itu? Aku juga, Paman. Aku ini juga cerdas." Belum sempat Jeremy memikirkan balasan, pesan baru masuk lagi. "Apakah Paman tegang?" Alis Jeremy meninggi. "Kenapa kau bertanya begitu, Lou
Alis Ava terangkat tinggi. Kedipan matanya menyiratkan rasa malu. "Kenapa kau menanyakan itu? Bukankah yang penting, sekarang kita sudah bersama?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku sudah mengaku kapan aku mulai memperhatikanmu. Sekarang giliranmu. Kalau kau tidak mau, berarti jelas, kau yang lebih dulu memperhatikanku." Ava meloloskan tawa kecil. "Rasa percaya dirimu tidak berubah, hmm?" "Justru bertambah karena kau bersedia menerimaku. Jadi, kapan? Apakah saat pertama kita berpas-pasan di lorong itu?" "Pertama kalinya aku melihatmu?" Ava menghela napas cepat. "Tentu saja tidak." "Tapi kau diam-diam melirikku." "Itu karena aku mengira kau bodyguard mereka. Aku harus waspada padamu. Saat itu, kita bermusuhan, ingat?" Jeremy menyipitkan mata. "Lalu? Apakah saat aku membekukmu?" Ava menggeleng. "Saat itu, aku malah kesal setengah mati padamu. Bahkan sampai aku harus tinggal di rumahmu, aku masih menganggapmu menyebalkan." "Saat tahun baru itu?" Ava mengerutkan bibir. "Aku juga masih
Ava tersedak oleh keharuannya yang membeludak. Sambil menyeka sudut matanya, ia mengangguk. "Ya, mari menyatukan cerita kita dan membuat bagian baru yang lebih seru." Jeremy tak bisa menahan tawa. Sekalipun ia telah yakin akan mendapatkan jawaban itu, sensasinya tetap tidak bisa dipungkiri. Mereka sudah seribu kaki di atas bumi. Siapa sangka, hatinya masih bisa melambung lagi lebih tinggi. "Terima kasih, Ava. Terima kasih telah menerimaku." Jeremy pun memasangkan cincin ke jari manis Ava—cincin yang nyata. Kemudian, ia menyegelnya dengan kecupan. "Jangan pernah melepas ini sampai cincin baru datang nanti." Ava mengangguk tipis. "Ya, pasti. Aku akan menjaganya dengan baik." "Dan aku akan menjagamu dengan baik." Jeremy berdiri dan mengecup Ava dengan penuh cinta. Para pelayan tidak bisa lagi menahan gemas. Mereka meloloskan tawa, berbisik-bisik mengungkapkan kekaguman. Lalu, di sudut lain, dua balita melompat keluar dari persembunyian. Mereka mengenakan tuksedo dan gaun mungil. W
"Pertama," Jeremy menegakkan telunjuknya sekilas, "kau tidak boleh pergi ke dapur. Khusus untuk ruang makan, kau boleh memasukinya jika ada kami." Alis Eva meninggi. "Kenapa?" "Sekalipun kau adalah adik dari Ava, kau tetap orang asing bagiku. Aku baru mengenalmu, jadi tentu aku harus waspada. Aku tidak mau seseorang memasukkan racun ke dalam makananku." Eva mendengus cepat. "Apakah wajah cantik seperti ini memiliki aura pembunuh?" Jeremy berkedip kaku. "Aku selalu waspada. Zaman sekarang, seorang ibu saja bisa membunuh anaknya sendiri, apalagi orang lain?" Eva menggeleng-geleng. "Aku tidak mungkin melakukan itu. Apa untungnya bagiku?" "Kau iri kepada Ava. Bisa saja kau gelap mata dan berniat mencelakainya. Atau mungkin, kau menyimpan dendam terhadapku. Aku tidak pernah berpihak padamu." Eva tertawa sinis. "Aku tidak sejahat itu, Tuan Harper." "Kalau begitu, kau seharusnya tidak keberatan dengan aturan tersebut." "Bagaimana kalau aku lapar dan mau makan?" Eva mencari alasan. "